BAB SATU
Sungguh sangat besar perhatian Allah pada hak-hak kedua orang tua (ibu-bapak), sampai-sampai Allah menyertakan kebaktian kepada kedua orang tua dan berbuat kebaikan kepada mereka berdua itu setelah beribadat dan bertauhid meng-Esa-kanNya. Allah s.w.t. berfirman:
وَ اعْبُدُوا اللهَ وَ لَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan hendaklah berbakti (berbuat baik) kepada kedua orang-tua!” (QS. an-Nisā’ [4]: 36).
Dan Allah berfirman:
وَ قَضى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا إِلَّا إِيَّاهُ وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu (Allah) telah menetapkan supaya kamu sekalian jangan menghambakan diri kecuali hanya kepada-Nya dan kepada kedua orang-tua supaya berbakti (berbuat baik).” (QS. al-Isrā’ [17]: 23).
Dan Allah berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Katakanlah hai Muḥammad! Kemarilah! Aku akan membacakan kepadamu sekalian tentang apa yang Tuhanmu mengharamkannya atas kamu sekalian, yaitu bahwa kamu sekalian janganlah menyekutukan sesuatu apapun pada Tuhanmu (Allah) dan berbaktilah (berbuat baik) kepada kedua orang-tua.” (QS. al-An‘ām [6]: 151).
Birr-ul-Wālidain artinya: Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang-tua, berusaha memenuhi hak-haknya, selalu mentaatinya, menjauhi berbuat buruk kepadanya dan selalu berbuat sesuatu yang dapat menjadikan keridhaannya. Berbakti kepada keduanya itu merupakan kewajiban, terkecuali jika keduanya sampai mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, karena sesungguhnya tiada kewajiban taat kepada makhluq dalam bermaksiat kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Oleh karena itu, kita mengerti bahwa taat kepada kedua orang-tua itu merupakan kewajiban yang amat tinggi dan merupakan sebagian jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan durhaka kepada kedua orang-tua itu termasuk dosa-dosa besar dan setinggi-tinggi dosa.
Dalil qath‘ī telah menetapkan bahwa keluarga dan kerabat itu memiliki hak yang harus dipenuhi, adapun hak mereka yang harus dipenuhi adalah menghubungi mereka, memenuhi hak-haknya, menjauhkan diri dari memutuskan hubungan dengan mereka.
Orang yang paling utama harus didekati dan lebih diakrabi tidak lain adalah kedua orang-tuamu, karena beliaulah yang menjadi sebab keberadaanmu dan yang membesarkanmu, dan merekalah yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepadamu. Maka tidak aneh bila dikatakan bahwa hak mereka terhadap dirimu berlipat-ganda dibanding yang lain. Pertanggungjawabanmu baginya lebih besar, pendapat mereka berdua harus lebih dihormati. Siapa lagi yang lebih besar kewajibannya untuk berbakti kepada kedua orang-tua selain daripada anak? Untuk itu Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda:
لَنْ يَجْزِيَ وَلَدٌ عَنْ وَالِدِهِ حَتَّى يَجِدَهُ مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ. (رواه مسلم و أبو داود).
“Belumlah mencukupi kewajiban anak kepada orang-tuanya sehingga anak itu mendapati ayahnya atau ibunya sebagai hamba sahaya lalu membelinya kemudian dimerdekakannya.” (HR. Muslim dan Abū Dāwūd).
Allah telah mewajibkan kepada seseorang untuk berbakti kepada kedua orang-tuanya. Bahkan dalam kitab suci Allah telah memuji sebagian pesuruh-pesuruhNya karena kebaktiannya kepada kedua orang-tuanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yaḥyā a.s. yang tersebut dalam firman Allah:
وَ بَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَ لَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
“Dan ia itu (Yaḥyā) berbakti kepada kedua orang-tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam [19]: 14)
Dan demikian pula Nabi ‘Īsā:
وَ بَرًّا بِوَالِدَتِيْ وَ لَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا
“Dan aku berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku orang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam [19]: 32)
Dan keadaan Nabi Yūsuf:
وَ رَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
“Dan ia mempersilahkan ibu-bapaknya duduk ke atas singgasana.” (QS. Yūsuf [12]: 100)
Sedang keadaan Nabi Ismā‘īl sebagai dijelaskan dalam al-Qur’ān, sewaktu menanggapi perintah Allah untuk menyembelih anaknya, maka Ismā‘īl berkata:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ
“Aduhai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu! In syā’ Allāh engkau akan mendapati aku termasuk orang yang berlaku sabar.” (QS. ash-Shāffāt [37]: 102)
Di antara riwayat yang lain menjelaskan:
وَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّيْ أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَ لَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ: أُمِّيْ. قَالَ: قَابِلِ اللهَ فِيْ بِرِّهَا فَإِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَ مُعْتَمَرٌ وَ مُجَاهِدٌ
رواه أبو يعلى و الطبراني بإسناد جيد
“Dan ada seseorang yang datang menghadap Rasūlullāh s.a.w. lalu berkata: “Sesungguhnya saya ingin berjihad, tetapi saya tidak mampu melakukannya, lalu bagaimana? Maka beliau bersabda: Apakah masih ada seorang di antara dua orang tuamu yang masih hidup? Orang itu menjawab: Ya, tinggal ibuku. Beliau bersabda: Berbaktilah kepada Allah dengan jalan berbakti kepada ibumu! Jika kamu melaksanakannya yang demikian, maka kamu memperoleh nilai berhaji, berumrah dan berjihad.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Ya‘lā dan ath-Thabrānī dengan isnād jayyid).
وَ عَنْ طَلْحَةَ السَّلَمِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ أُرِيْدُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: أُمُّكَ حَيَّةٌ؟ قُلْتُ، نَعَمْ. قَالَ: إِلْزَمْ رِجْلَهَا فَثَمَّ الْجَنَّةُ
رواه الطبراني
“Dan dari Thalḥah as-Silmy r.a. ia berkata: Saya datang menghadap Nabi s.a.w. lalu berkata: Wahai Rasūlullāh! Sungguh saya ingin berjihad fī sabīlillāh! Beliau bersabda: “Apakah ibumu masih hidup?” Saya menjawab: Ya, ia masih hidup. Beliau bersabda: “Bersimpuhlah engkau di kakinya (tetap melayaninya), di sanalah surga.”
(H.R. ath-Thabrānī)
وَ قَالَ رَجُلٌ لِرَسُوْلِ اللهِ: مَنْ أَحَقَّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبُوْكَ.
رواه البخاري و مسلم
“Dan ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: Siapakah manusia yang paling berhak memperoleh kebaikan perlayananku? Beliau menjawab: Ibumu. Ia bertanya: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Ayahmu.”
(H.R. al-Bukhārī dan Muslim).