Hadits ke-29
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: بَعَثَنِيْ رَسُوْلُ اللهُ (ص) إلَى الْيَمَنِ فَلَمَّا سِرْتُ أَرْسَلَ فِيْ أَثْرِيْ فَرُدِدْتُ فَقَالَ: أَتَدْرِيْ لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ لَا تَصِيْبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِيْ فَإِنَّهُ غُلُوْلٌ. (وَ مَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) لِهذَا دَعَوْتُكَ فَامْضِ لِعَمَلِكَ. (رواه الترمذي).
Artinya:
Bersumber dari Mu‘ādz bin Jabal yang berkata: “Rasūlullāh s.a.w. telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda: “Apakah engkau tahu mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa idzin saya, karena hal itu adalah ghulūl (korupsi). Barang siapa melakukan ghulūl, ia akan membawa barang ghulūl itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. at-Tirmidzī).
Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulūl tidak terbatas pada ruang lingkup korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam peringatan Rasūlullāh s.a.w. kepada Mu‘ādz, yang diangkat menjadi Gubernur Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di bawah kekuasaannya tanpa idzin Rasūlullāh s.a.w. (dalam arti, tanpa ketentuan yang berlaku). Jika hal itu tetap dilakukan, itulah korupsi.
Pesan Rasūlullāh s.a.w. di atas wajar, karena umumnya, para pejabat cenderung berbuat korup. Maka dari itu, dengan memperhatikan pesan Rasūl kepada Mu‘ādz, jabatan seharusnya bukan sesuatu yang layak diperebutkan. Dengan jabatan, seseorang mudah terjerumus kepada perbuatan dosa.