Bagian IV
Pedoman Menyalurkan Hasrat Seksual dalam Pernikahan
Bersenggama Adalah Sedekah
Hadits ke-27
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ (ص) قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ ابْنِ ﺁدَمَ صَدَقَةٌ تَسْلِيمُهُ عَلَى مَنْ لَقِيَ صَدَقَةٌ وَ أَمْرُهُ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَ نَهْيُهُ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَ إِمَاطَتُهُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ وَ بُضْعَتُهُ أَهْلَهُ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ يَأْتِي شَهْوَةً وَ تَكُونُ لَهُ صَدَقَةٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ وَضَعَهَا فِي غَيْرِ حَقِّهَا أَكَانَ يَأْثَمُ (رواه ابو داود)
Diriwayatkan dari Abu Dzar dari Nabi yang bersabda: “Setiap pagi, setiap ruas tulang anak manusia akan bersedekah. Ketika ia mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya, ia telah bersedekah. Ketika mencegah kemungkaran, ia bersedekah. Ketika menyingkirkan duri dari jalanan, ia telah bersedekah. Dan ketika ia menyalurkan hasrat seks kepada istrinya, ia telah bersedekah.” Para sahabat bertanya: “Duhai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang yang menyalurkan nafsunya disebut bersedekah?” Nabi menjawab: “Bukankah ketika ia menyalurkannya di jalan yang tidak benar ia akan berdosa?” (HR. Abu Dawud)
Keterangan:
Tidak ada yang mutlak dalam hidup ini. Semua yang berada di atas bumi, baik yang terlihat atau tidak, senantiasa memiliki dua mata tombak: ia bisa membawa manfaat dan bisa pula menjadi madharat; ia bisa berdimensi ibadah dan bisa pula berdimensi maksiat. Dan semua itu, tergantung siapa dan bagaimana cara menggunakannya, serta niat apa yang ada dalam hatinya.
Orang yang begadang dari kafe ke kafe mungkin terlihat seperti orang ahli maksiat. Namun jika ternyata di dalam kafe tersebut ia berdialog dengan orang-orang agar mereka mendapat hidayah, atau menyadarkan kawan-kawannya yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, tentu saja kegiatannya itu menjadi sesuatu yang bernilai ibadah. Sebaliknya, orang yang setiap hari ke masjid, mengenakan serban dan mulutnya berbusa-busa oleh lafal al-Qur’an, namun kalau semua itu diniati untuk pamer dan riya, atau agar orang lain terkesan sehingga tunduk kepada dirinya, atau untuk tujuan-tujuan remeh duniawi yang lain, tentu Allah akan mencatatnya sebagai sebuah kemaksiatan. Sebagaimana nasihat Nabi: “Barang siapa mencari ilmu dengan tujuan (niat) agar membuat orang bodoh terkesan, atau untuk mendebat orang-orang alim, atau agar orang kebanyakan memandang wajahnya, maka ia berada di dalam neraka.” (HR. Ibnu Majah)
Demikian pula halnya dengan nafsu manusia. Nafsu makan, misalnya, ia dapat digunakan agar seseorang memperoleh nutrisi sehingga tetap sehat tubuhnya, dan dengan demikian akan kuat beribadah kepada Allah. Begitu pun dengan syahwat seksual. Ketika ia disalurkan di jalan yang benar (istri yang sah)—dengan niat membahagiakan istri, mengurangi kepenatan aktivitas sehari-hari (ibadah/kerja), atau dengan niat demi menjaga diri dari perangkap zina, atau demi tujuan memiliki anak saleh—tentu praktik senggama yang demikian berdimensi ibadah dan akan mendapatkan pahala yang tak terkira.
Alhasil, seorang muslim hendaknya pintar-pintar menata niatnya. Dengan niat yang benar dan baik, maka setiap desah nafas seseorang, setiap aktivitasnya, dan setiap gerak maupun diamnya akan menghasilkan pahala. Wallahu a’lam.