25-26 Pahala Besar Bagi yang Dapat Menjaga Kemaluan – Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual

40 HADITS SHAHIH
Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual
Oleh: Bintus Sami‘ ar-Rakily

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: Bagian 3 - Penyaluran Hasrat Seksual yang Terlarang

Pahala Besar Bagi yang Dapat Menjaga Kemaluan

Hadits ke-25

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَن النَّبِيِّ (ص) قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَ شَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَ رَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَ رَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَ تَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَ رَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَ جَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ … (رواه الشيخان)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi Saw yang bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan berada dalam naungan Allah pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Tujuh golongan tersebut yaitu: 1). Seorang pemimpin yang adil; 2). Pemuda yang tumbuh dalam peribadatan kepada Tuhannya; 3). Seseorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid; 4). Seorang lelaki yang dirayu oleh perempuan yang terpandang lagi cantik, namun ia berkata: Aku takut kepada Allah” (Muttafaq ‘alaih).

 

Hadits ke-26

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَ حَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَ أَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ (رواه ابن ماجه)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika seorang perempuan mengerjakan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia suka.” (HR. Ibnu Mājah)

Keterangan:

Demikian besarnya janji Allah kepada orang-orang yang mampu menjaga kemaluannya. Bagaimana tidak? Di saat para makhluk harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di gurun Mahsyar, di saat mereka kepanasan karena tidak ada naungan yang menyejukkan, Allah justru turun tangan langsung dengan menaungi tujuh orang yang diistimewakan-Nya. Salah satunya adalah seorang pemuda yang dirayu oleh perempuan yang cantik lagi terpandang, namun dia justru menolaknya dan berkata: “Maaf, aku takut kepada Allah!”.

Allah sangat mengistimewakan orang-orang yang seperti ini karena merekalah orang yang benar-benar beriman. Sebagaimana tersirat dalam firman Allah:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang benar-benar beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya, yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, yang menunaikan zakat, dan yang menjaga kemaluannya.” (QS. al-Mu’minūn: 1-5).

Orang-orang yang mampu menjaga farji dan kemaluannya karena Allah, dijanjikan ganjaran surga, bahkan diberi hak prerogatif untuk masuk dari pintu yang mana pun sebagaimana hadits ke-26 di atas. Artinya, ia bebas memilih surga tingkat ke berapa pun. Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Saw bersabda: “Jaminlah untukku enam perkara sehingga aku jamin kalian dengan surga. Jujurlah ketika kalian berkata-kata. Tepatilah ketika kalian berjanji. Sampaikanlah amanat ketika kalian diberi amanat. Jagalah kemaluan kalian. Dan tahanlah tangan kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Abu Dunya, Ibnu Hibban, dan al-Hakim).

Tanbīh: Bertobat dari Zina

Bagaimanakah jika seseorang terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan dosa zina? Apa yang harus dilakukannya? Pertobatan sejati adalah jawabannya. Yakni, mencabut dirinya dari dosa itu selekas-lekasnya dan kembali kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya. Ia berpaling dari kemaksiatan, lalu menambal kemaksiatan itu dengan amal saleh sebanyak-banyaknya. Semoga dengan demikian, Allah akan mengampuninya.

Ada baiknya jika pada bagian ini, penulis menyadur—dari beberapa riwayat yang ada—sebuah pertobatan yang menggetarkan:

Pada suatu hari, sebagaimana biasa, Rasulullah duduk di dalam masjid bersama para sahabat. Pengajian baru saja hendak dimulai ketika tiba-tiba datanglah seorang perempuan memasuki masjid.

Rasulullah pun sejenak diam, dan diam pula para sahabat. Sementara itu, perempuan tersebut bergerak dengan perlahan, berjalan dengan penuh gentar takut, seakan keraguan melingkupi dirinya. Seakan ada suatu pergolakan besar pada dirinya. Sedetik lamanya perempuan itu berhenti, namun sedetik kemudian langkahnya mantap mendekati Rasulullah dan para sahabat. Ia buang jauh-jauh rasa malu, demi kebenaran dan kesucian. Ia lemparkan segenap penilaian dan cacian manusia, dia lupakan aib dan cercaan yang nantinya ditimpakan manusia kepadanya. Sampai di depan Rasul, dia berdiri di hadapan beliau. Lalu dengan suara pelan dan bergetar mengabarkan: “Wahai Rasulullah, sucikanlah saya! Saya telah berzina.”

Mendengar suara si perempuan yang menghiba, tertunduklah semua mata. Rasulullah pun memalingkan wajahnya, seakan-akan beliau tidak pernah mendengar sesuatu. Beliau berharap bahwa kata-kata si perempuan hanyalah khayalan, dan berharap dia mencabut ucapannya. Akan tetapi, perempuan dari daerah Ghamid—suatu distrik di Juhainiyah—itu adalah perempuan istimewa. Seorang perempuan yang salehah, yang imannya telah menancap dalam dadanya. Harapan Rasulullah itu pun sia-sialah.

Maka, Rasulullah berkata, “Pergilah engkau.”

Perempuan itu berbalik dan pergi.

Pada hari berikutnya, perempuan itu datang kembali. Katanya, “Wahai Rasul, sucikanlah saya. Sungguh saya telah berzina.”

“Pulanglah!” demikian jawaban Rasulullah, sama seperti hari sebelumnya.

Tidak kenal menyerah, pada hari berikutnya si perempuan kembali menghadap. “Wahai Rasul, saya telah berzina. Sucikanlah dosa-dosa saya. Mungkin engkau akan menyuruh saya pulang seperti kemarin-kemarin. Mungkin engkau akan memerintahkan saya pergi sebagaimana engkau lakukan kepada Ma-iz bin Malik (11). Demi Allah, saya telah mengandung karena perzinaan kotor yang saya lakukan.”

Maka, Nabi pun bersabda, “Pulanglah engkau. Hingga engkau melahirkannya.”

Bulan demi bulan pun berlalu. Setelah genap sembilan bulan, perempuan itu datang kembali membawa bayinya dan berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah saya dari dosa zina. Lihatlah, saya telah melahirkan bayi yang saya kandung. Sesuai janjimu sembilan bulan yang lalu, sekarang sucikanlah dosa saya itu.”

Nabi pun melihat kepada anak si perempuan, sementara hati beliau tercabik-cabik karena merasakan sakit dan sedih. Siapa yang akan menyusui bayi tersebut jiga ibunya mati dirajam? Siapakah yang akan mengurusi keperluan si jabang bayi jika hukuman mati atas pezina ditegakkan atas ibunya? Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Nabi bersabda, “Pulanglah engkau, susuilah dia hingga engkau menyapihnya.”

Perempuan itu pun kembali ke rumahnya. Dengan penuh kasih, dia susui anaknya itu, hari demi dari, bulan demi bulan. Dan sepanjang waktu, semakin dekat masa penyapihan, semakin kuat pula keimanan bercokol dalam dadanya. Teguh, seteguh gunung-gunung menghujam ke bumi.

Tepat pada hari penyapihan, si perempuan pun datang kembali menghadap sang Nabi. Di pangkuannya, duduk seorang anak kecil yang lucu dengan tangan memegang potongan roti. “Wahai Rasul, sesuai saranmu, saya telah menyapihnya. Sudikah kiranya engkau sekarang mensucikan dosa saya?”

Sungguh sangat menakjubkan. Iman yang bagaimanakah yang membuatnya berbuat demikian! Kurang lebih tiga tahun semenjak dosa zina diakuinya, dia masih tegak berdiri, meminta dirinya dirajam demi gugurnya dosa zina yang terlanjur diperbuatnya.

Nabi mengambil si anak, lalu berpaling kepada para sahabat. Sabdanya, “Siapakah yang mau mengadopsi anak ini? Siapa saja yang mengurus dan membesarkannya seperti anaknya sendiri, maka ia akan menjadi temanku di surga nanti.” Seorang sahabat pun maju, mengambil anak itu dari tangan Rasulullah.

Nabi kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam, disucikan dari dosa zina. Dibuatlah lubang. Dimasukkanlah si perempuan ke dalamnya dan ditimbun setinggi dada. Lalu orang-orang pun merajamnya dengan lemparan batu-batu.

Ketika Khalid bin Walid melemparkan batunya, sepercik darah si perempuan terciprat mengenai tubunya. Spontan, Khalid mengutuk dengan sumpah serapah. Mendengarnya, Rasulullah bersabda, “Wahai Khalid, janganlah engkau mencacinya. Demi Tuhan yang menggenggam nyawaku, sungguh dia telah bertobat dengan suatu pertobatan yang seandainya seorang pemungut cukai (22) bertobat dengannya maka ia akan diampuni.”

Lalu Rasulullah memerintahkan orang-orang menshalatinya, lalu mayat perempuan itu dikuburkan. (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah sendiri ikut menshalatinya, lalu Umar bin Khattab berkata, “Wahai Rasulullah, engkau menshalati seorang pezina?”

Jawab Nabi, “Sungguh dia telah bertobat dengan sebuah pertobatan yang jika tobatnya itu dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, maka tobat itu akan mecukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah tobat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah?”

Demikianlah kisah menggetarkan tentang pertobatan yang sebenar-benarnya (taubatan nashuha). Rasa takut kepada siksa Allah membuat si perempuan bertekad mati demi kesucian dirinya. Jerat-jerat setan dan nafsu syahwat memang telah menjerumuskannya ke dalam kubangan dan kehinaan zina. Akan tetapi, kemudian dia berdiri dengan gagah dari dosanya itu, bangkit menghadap Tuhannya dengan keimanan yang menggelora di dalam dada. Wallau a’lam.

 

***

Sampai halaman ini, kita telah membahas kiat-kiat mengendalikan hasrat seksual bagi mereka yang belum dapat menyalurkannya karena belum memiliki pasangan yang sah. Kita juga telah mengupas bagaimana ancaman besar bagi siapa saja yang melampiaskan hasrat seksualnya pada tempat yang keliru; dan sebaliknya, pahala besar bagi orang-orang yang mampu mejaga kemaluannya. Pada bagian selanjutnya, penulis in sya Allah akan mengurai kiat-kiat menyalurkan hasrat seksual, yang tentunya dikhususkan bagi mereka yang sudah menikah. Oleh karena itu, penulis tidak menganjurkan bagi yang belum menikah untuk membacanya.

***

Catatan:

  1. 1). Ma’iz bin Malik adalah seorang sahabat yang pernah menghadap Rasulullah beberapa saat sebelumnya. Ma’iz mengaku dirinya telah berbuat zina, menyerahkan kepada Rasulullah untuk disucikan dosa-dosanya. Rasul menolak, hingga Ma’iz mengikrarkan pengakuan sampai empat kali. Akhirnya, atas perintah Rasul, Ma’iz dirajam sebagai bentuk pertobatannya dari zina.
  2. 2). Perbuatan para pemungut cukai dianggap dosa besar karena kezaliman mereka pada saat itu. Mereka kerap mengambil harta rakyat dengan zalim dan menyalurkan harta pungutan tersebut untuk kepentingan pribadi mereka sendiri.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *