Bagian III
Penyaluran Hasrat Seksual yang Terlarang
Orang yang Zina Berarti Tidak Beriman
Hadits ke-17
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ (ص) لَا يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمَنٌ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang pezina memiliki iman saat ia melakukan zina. Seorang peminum khamr juga tidak memiliki iman saat ia meminum khamr. Tidak pula seorang pencuri melakukan pencurian sementara ia orang yang beriman.” (HR. al-Bukhari)
Keterangan:
Dalam wacana yang berkembang di masyarakat, zina tidak dikategorikan sebagai penyelewengan seksual. Mungkin hal ini disebabkan karena para dokter dan psikolog tidak menganggapnya sebagai suatu kelainan. Sepanjang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, slama dua pihak yang terlibat melakukannya atas dasar mau sama mau, tak masalah. Toh, keduanya masih dalam tahap normal, masih dalam bingkai heteroseksual.
Pendapat yang telah umum ini tentu sangat berbahaya di satu sisi, dan sangat bertentangan dengan prinsip Islam di sisi lain. Dalam uraian ini, penulis ingin menegaskan bahwa menurut Islam, berzina adalah suatu kelainan seksual. Asumsi ini setidaknya dapat ditinjau dari tiga sisi.
Pertama, perbuatan zina berarti melanggar aturan yang telah digariskan dalam Islam, bertentangan dengan agama, berlawanan dengan prinsip-prinsip keimanan. Semua orang yang mengakui Islam sebagai agamanya dan orang yang imannya normal, tentu akan menganggap buruk perbuatan zina ini. Oleh karena itu, berzina adalah perbuatan yang tidak normal, dan karenanya, merupakan perbuatan yang menyimpang dan sebuah kelainan.
Kedua, perbuatan zina—sebagaimana akan kita bahas pada hadits ke-21—diakui atau tidak, adalah pebuatan yang sangat bertentangan dengan nurani manusia. Setiap orang tidak ingin anak perempuannya terlibat zina. Suami yang normal akan marah jika istrinya ditiduri orang lain. Anak yang sehat secara psikologis akan mengutuk jika ibunya dizinai orang. Demikian pula, semua orang akan mengecam ketika saudara perempuannya digauli lelaku hidung belang. Ini semua sudah menjadi bukti bahwa zina adalah sebuah penyelewengan seksual; suatu perbuatan di luar kenormalan.
Ketiga, perbuatan zina adalah pintu awal dari penyelewengan seksual yang lebih besar, seperti homoseksual atau lesbian. Orang yang telah melakukan zina berpotensi menganggap remeh batas-batas syar’I yang berkaitan dengan perilaku seksual. Hal ini mungkin disebabkan karena matinya hati, atau karena fungsi yang (karena rasa putus asa sebab merasa dirinya kotor) membuatnya berkata: “Terlanjur basah, mandi sekalian saja: terlanjur berdosa, mencebur ke kedalaman dosa sekalian”. Ketika sikap demikian sudah bercokol, maka ia akan menganggap biasa perbuatan zina itu. Dan ketika perbuatan zina telah menjadi kebiasaan, mungkin karena merasa bosan, ia tergoda mencoba hal-hal lain yang dianggapnya sebagai variasi. Di sinilah, ia dapat tercebur ke dalam perbuatan yang lebih terlarang, semisal homoseks, liwath (sodomi), dan penyelewengan seksual yang lain.
Terkait dengan hal ini, sungguh pernyataan Rasulullah dalam hadits ke-17 di atas, begitu miris dan menakutkan. Bagaimana tidak? Dengan sangat jelas, Rasul mengeluarkan orang yang berzina dari golongan orang-orang yang beriman. Meskipun ulama mengatakan bahwa orang yang berzina tidak otomatis menjadi kafir, patutlah direnungkan bahwa mereka sepakat menghukumi perbuatan zina sebagai sebuah dosa besar yang sejajar dengan menyekutukan Tuhan (syirik).
Dalam QS. al-Furqan, Allah bahkan menegaskan bahwa orang yang berzina, selain tidak diakui sebagai hamba Tuhan, tidak diakui sebagai para penyembah Tuhan (‘Ibād-ur-raḥmān), juga akan mendapat adzab yang berkali lipat:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (‘ibād-ur-raḥmān) ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, … Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya akan mendapat dosa, dengan adzab yang dilipatgandakan pada hari kiamat…” (QS. al-Furan: 63-69).
Mengapa Allah dan Rasul-Nya menganggap orang yang berzina sebagai orang yang tidak beriman? Tidak lain, karena zina adalah perbuatan yang sangat dikecam oleh Allah. Ketika seseorang berani melanggar perbuatan yang sangat terlarang itu, secara tidak langsung berarti ia telah menganggap Tuhan tidak ada. Seakan-akan ia menganggap Allah tidak melihat perbuatannya. Seolah-olah, ia beranggapan bahwa kamar yang gelap dan terkunci mampu membuat Pandangan-Nya terhalangi. Padahal, tidak ada satu sudut pun di muka bumi yang tidak terendus oleh pengawasan Allah yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.
Wallahu a’lam.