16 Menghindari Onani atau Masturbasi – Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual

40 HADITS SHAHIH
Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual
Oleh: Bintus Sami‘ ar-Rakily

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: Bagian 2 - Kiat-kiat Nabawi dalam Mengendalikan Hasrat Seksual

Menghindari Onani atau Masturbasi

(Istimnā’)

Hadits ke-16

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: سَبْعَةٌ لَا يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيْهِمْ، وَلَا يُجْمِعُهُمْ مَعَ الْعَالِمِيْنَ، يُدْخِلُهُمُ النَّارَ أَوَّلَ الدَّاخِلِيْنَ إِلَّا أَنْ يَتُوْبُوْا، إِلَّا أَنْ يَتُوْبُوْا، فَمَنْ تَابَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِ: النَّاكِحُ يَدَهُ، وَالْفَاعِلُ وَالْمَفْعُوْلُ بِهِ، وَالْمُدْمِنُ بَالْخَمْرِ، وَالظَّارِبُ أَبَوَيْهِ حَتَّى يَسْتَغِيْثَا، وَالْمُؤْذِيْ جِيْرَانَهُ حَتَّى يَلْعَنُوْهُ، وَالنَّاكِحُ حَلِيْلَةَ جَارِهِ (رواه البيهقي)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw. yang bersabda: “Ada tujuh orang yang Allah enggan melihat mereka pada hari kiamat, tidak berkenan membersihkan (dosa-dosa) mereka, dan tidak berkenan pula mengumpulkan mereka bersama orang-orang yang ‘alim. Sebaliknya, Allah justru melemparkan mereka ke neraka sebagai orang-orang yang paling awal masuk neraka. Kecuali jika mereka mau bertobat, kecuali jika mereka mau bertobat, maka semoga Allah akan mengabulkan tobatnya. Tujuh orang itu adalah: 1) orang yang menikahi tangannya sendiri; 2) homoseks/lesbi yang menjadi subjek; 3) maupun homoseks/lesbi yang menjadi objek; 4) orang yang meminum khamr; 5) seorang anak yang memukul orang tuanya hingga keduanya berteriak meminta tolong; 6) orang yang menyakiti para tetangga hingga mereka mengutuknya, dan; 7) orang yang berzina dengan tetangganya.” (HR. al-Bukhari)

Keterangan:

Secara umum, Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan fitrahnya. Sebagaimana telah disebutkan di depan, salah satu fitrah manusia adalah memenuhi kebutuhan seksual. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan seksual ini, Islam telah memberikan aturan, yakni dengan menyalurkannya dalam sebuah lembaga bernama pernihakan.

Akan tetapi, bagaimanakah halnya jika seseorang belum mampu menikah, sementara hasrat seksualnya meluap-luap? Seperti yang telah kita bahas bersama, pada hadits-hadits di depan Rasulullah telah memberikan kiat-kiat kepada umatnya untuk melakukan tindakan pencegahan dari perbuatan zina. Di antaranya adalah dengan menjaga pandangan mata, dengan berpuasa, menjaga zina-zina kecil, menghindari pacaran, mencegah diri dari berkhalwat, berpuasa alias menjaga perut, dan lain-lain.

Meskipun demikian, karena dorongan seksual terkadang demikian sulit dikendalikan, ditambah lagi dengan gebyar globalisasi yang begitu menghanyutkan, sebagian di antara pemuda-pemudi Islam ada yang kemudian mengambil jalan pintas dengan melakukan onani atau masturbasi (istimna’). Jika demikian, bagaimanakah sebenarnya hokum onani atau masturbasi ini?

Sebelumnya, marilah kita membaca kembali firman Allah:

Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya, yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna, yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri mereka atau budak yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-Mu’minūn: 1-7)

Dari ayat ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud “mencari yang di balik itu” adalah menyalurkan hasrat seksual di luar pernikahan: mulai dari berzina, homoseks, lesbian, dan termasuk pula onani atau masturbasi. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi’I dan Imam Malik, hokum istimna’ (onani) adalah haram.

Pendapat kedua imam besar ini diperkuat pula oleh bukti-bukti penelitian kontemporer. Menurut para ahli, onani atau masturbasi termasuk perbuatan yang memiliki efek-efek negative bagi pelakunya. Orang yang terbiasa melakukan perbuatan tersebut, biasanya tidak sanggup lagi menahan sedikit gejolak hasrat seksnya. Bukankah jika nafsunya sudah biasa diumbar, ia akan kesulitan untuk mengendalikannya? Apa yang ada dalam pikirannya hanya seks dan seks. Karenanya, benarlah jika ayat di atas menyebutkan orang-orang yang seperti ini sebagai “orang-orang yang melampaui batas”.

Efek buruk lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Syah Waliyullah ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balihgah, pelaku onani biasanya juga akan terkena dampak psikologis. Perasaan malu, kotor, dan berdosa akan menghinggapi sehingga dapat menggerogoti rasa percaya diri. Belum lagi efek negative terhadap kesehatan badan, terutama jika perbuatan tersebut kerap dilakukan. Badan orang yang kerap melakukannya akan lemah, organ reproduksinya dapat saja menjadi tidak normal, sel telur (sperma) menjadi berkurang sehingga hidupnya menjadi lesu.

Meskipun terbutki memiliki madharat, beberapa ulama yang lain mencoba mengemukakan pendapat yang lebih moderat. Di antarannya adalah Ibnu Hazm azh-Zhahiri yang mengatakan bahwa hokum masturbasi adalah makruh. Artinya, siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala, namun jika ia melakukannya ia tidak berdosa.

Menurutnya, mani adalah sesuatu yang terkadang berlebih, dan karenanya ia boleh dikeluarkan. Bahkan hal itu diibaratkan dengan memotong daging lebih (kangker). Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. al-Baqarah: 29).

Sementara itu, ulama golongan ketiga, yakni para ulama dari Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih memilih jalan tengah. Menurut mereka, hokum asal dari onani adalah haram dan terlarang. Namun apabila nafsu seksual seseorang berlebih, dan jika tidak disalurkan dengan jalan beronani kemungkinan besar ia terjerumus ke dalam perzinaan, maka pada saat yang demikian beronani diperbolehkan. Tentu saja, ketentuan ini berlaku setelah orang tersebut melaksanakan kiat-kiat menahan diri dari gejolak seksual yang diajarkan oleh Rasulullah sebagaimana telah disebutkan di depan.

Jadi, menurut ulama golongan ketiga ini, hokum onani adalah haram. Namun demi menghindari keharaman yang lebih besar, maka bolehlah seseorang melakukannya. Inilah prinsip yang dalam ushul fiqh disebut akhdzu bi akhaff adh-dhararain (mengambil kerusakan yang paling ringan).

Alhasil, pemuda pemudi muslim dituntut bertanya kepada hati nuraninya masing-masing. Apakah ia sudah melakukan tips-tips mengendalikan gejolak seksual yang diteladankan Rasul dalam hadits-hadits terdahulu ataukah belum? Jika sudah, apakah ia masih mampu mengendalikan hasratnya dari jebakan zina ataukah nafsunya tetap meluap-luap? Jika masih meluap, apakah beronani dapat menjadi solusi baginya atau tidak? Dan seterusnya.

Secara umum, jalan yang paling aman tentu saja menghindari perbuatan onani dan masturbasi. Sebab, perbuatan tersebut kerap menguras energy seorang pemuda dari perbuatan-perbuatan yang positif. Alangkah banyaknya energi dan pikiran yang terbuang sia-sia dalam perbuatan tersebut. Apalagi, hadits ke-16 di atas telah menempatkan masturbasi sebagai salah satu dosa yang mendapat ancaman sangat mengerikan, yakni “masuk neraka paling awal”. Dalam hadits riwayat al-Baihaqi dari jalur Anas bin Malik disebutkan pula sebuah ancaman yang tak kalah mengerikan: “Orang yang menyenggama tangannya akan bangkit pada hari kiamat, sementara tangannya dalam keadaan hamil.Wallahu a’lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *