16 Iman Adalah Faktor Pencegah Korupsi – Agar Anda Terhindar dari Jerat Korupsi

40 HADITS SHAHIH
Agar Anda Terhindar dari Jerat Korupsi

Oleh: Syarwani


Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Hadits ke-16

Iman Adalah Faktor Pencegah Korupsi.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ (ص) إِلَّا قَالَ: لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَ لَا دِيْنَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ. (رواه أحمد).

Artinya:

Bersumber dari Anas bin Mālik, ia berkata: Tidak berpidato kepada kami Nabi s.a.w., melainkan (isi) pidatonya adalah: “Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah dan tidak (sempurna) agama orang yang tidak memenuhi janji.” (H.R. Aḥmad).

Keterangan:

Secara bahasa, amānah berarti “dapat dipercaya”. Kata “amānah” sendiri (bahasa ‘Arab) masih seakar dengan kata “īmān”. Oleh karena itu, antara amanah dan iman mempunyai kaitan yang sangat erat. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang, maka semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya.

Pengertian lain “amānah” adalah memelihara dan mengembalikan sebuah titipan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Adapun pengertian titipan yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian luas, meliputi segala kewajiban dan nikmat yang diberikan Allah s.w.t. kepada hamba-Nya. Seseorang bisa disebut memiliki sifat amanah, jika kewajibannya sebagai seorang hamba ditunaikan dengan baik dan nikmat yang diberikan kepadanya dijalankan sesuai dengan etika moral yang menyertainya. Jika nikmat etika moral yang menyertainya. Jika nikmat itu berupa makanan, maka etika terkait makanan harus dijalankan sejak upaya memperoleh sampai memanfaatkannya. Juga jika berupa jabatan, sejak usaha meraih dan menjalankannya haruslah tidak menyimpang dari etika yang mengikutinya, dan lain-lain.

Antara nikmat dan kewajiban terdapat hubungan yang saling berkelindan. Karena nikmat, bagaimanapun juga adalah hak seorang hamba dari Tuhannya. Oleh karena itu, munculnya konsekuensi transenden dari pencapaian dan penggunaan nikmat adalah keniscayaan. Hak yang tidak diikuti pelaksanaan kewajiban, seperti kita tahu, adalah korupsi. Dengan demikian, seorang pejabat yang melakukan penyelewengan terhadap nikmat jabatannya, tidak hanya telah bertindak korup dan khianat kepada sesama, tetapi juga kepada Allah, Sang Pemberi dan Pemilik Nikmat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *