15 Menjaga Perut dan Berpuasa – Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual

40 HADITS SHAHIH
Teladan Nabi Menyalurkan Hasrat Seksual
Oleh: Bintus Sami‘ ar-Rakily

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: Bagian 2 - Kiat-kiat Nabawi dalam Mengendalikan Hasrat Seksual

Menjaga Perut dan Berpuasa

Hadits ke-15

… وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخاري)

… Siapa saja yang belum mampu (menikah), hendaknya ia berpuasa. Sebab, dalam puasa terdapat tali pengekang.” (HR. al-Bukhari)

Keterangan:

Sangat jelas dari sabda Nabi di atas bahwa salah satu kiat penting untuk mengendalikan nafsu syahwat adalah dengan berpuasa. Nabi mengatakan puasa sebagai wijā’ (penulis menerjemahkannya dengan: tali pengekang). Menurut para ahli bahasa, wijā’ didefinisikan sebagai radhdh al-khashiyatain (menumbuk/meremukkan buah pelir), atau radhdh ‘urūqihima (mengurangi produksi sperma buah pelir). Sementara, dalam Kamus al-Munawwir, wijā’ diartikan sebagai “penawar/penekan nafsu syahwat”.

Perlu diketahui bahwasanya makanan, minuman, dan apa saja yang masuk perut memiliki pengaruh yang sangat besar bagi seseorang. Menurut para ahli kesehatan, pola makan menjadi factor utama yang dapat memicu berbagai penyakit mematikan, seperti stroke, penyakit jantung, ginjal, gangguan liver, dan lain-lain. Demikian pula, menurut para spiritualis (sufi), makanan jugalah yang memicu berbagai penyakit rohani, seperti tidak bisa khusyuk, susah mencapai kemakrifatan, bersarnya nafsu, rasa berat melakukan ibadah, dan lain-lain. Oleh karena itu, dua pakar dari dua dunia yang berbeda ini sama-sama menganjurkan diet yang sehat, yang dalam istilah sufi disebut hifzh al-bathn (menjaga perut).

Apa yang dikemukakan para ahli tersebut sangat logis. Sebab, makanan yang masuk ke dalam tubuh akan diserap ke dalam darah. Kita tahu, darah ini kemudian menyebar ke seluruh tubuh, termasuk ke dalam jantung dan otak. Padahal, makanan tersebut membawa karakter-karakter tertentu, sehingga dapat dipastikan berpengaruh terhadap kerja jantung (qalb: pusat spiritualitas) dan otak (pusat intelektualitas). Oleh karena itu, dalam salah satu sabdanya, Rasulullah pernah menegaskan: “Inna asy-syaithān yajrī majra ad-dami: sesungguhnya setan masuk ke dalam manusia melalui jalan darah.” (HR. Bukhari). Dalam sabda Rasulullah yang lain disebutkan: “Tidaklah seorang anak manusia memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim). Dalam hadits Sahl bin Sa’d, Rasulullah mengingatkan keterkaitan nafsu makan dengan nafsu syahwat itu dengan sabdanya: “Siapa saja yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya (mulut); juga menjamin untukku apa yang berada di antara dua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. al-Bukhari)

Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan hasrat seksual, peran pola makan dan penuhnya perut ini sudah tidak diragukan lagi. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Ghazali membahas keterkaitan “nafsu perut” dengan “nafsu syahwat” dalam satu bab tersendiri, dengan kupasan yang panjang lebar dan dalam. Bagi yang tertarik untuk mendalaminya, silakan membuka Ihya’ Ulumiddin pada Kitab Kasr asy-Syahwatain (Jilid 3, halaman 109-145).

Termasuk dalam menjaga perut adalah menjaga diri dari makanan-makanan yang sudah terbutki dapat meningkatkan dan memperkuat syahwat, seperti daging, telor, sate kambing, dan lain-lain. Tentu saja, akan lebih baik lagi jika seseorang melakukan puasa, sebab, puasa akan menjadi tameng seseorang dari dua sisi: mengurangi faktor negatif yang masuk lewat makanan dan mengurangi faktor negatif yang masuk lewat panca indera. Sebagaimana kita ketahui, ketika seseorang berpuasa, ia tidak hanya dituntut untuk mengosongkan perutnya saja, tetapi juga menjaga diri dari perbuatan maksiat (yang mana memandang lawan jenis dan berkhalwat, misalnya, termasuk di dalamnya).

Wallāhu a’lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *