Hadits ke-1
عَنْ مَعْقَلٍ قَالَ: أُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) فَقَالَ: مَا مِنْ وَالٍ يَلِيْ رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَيَمُوْتُ وَ هُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري و مسلم).
Artinya:
Bersumber dari Ma‘qal, ia berkata: Aku beritakan kepadamu hadits yang kudengar dari Rasūlullāh s.a.w. Ia bersabda: “Tidak ada seorang pemimpin yang menjadi pemimpin kaum muslimin kemudian ia menipu rakyatnya (korupsi), kecuali Allah s.w.t. mengharamkan atasnya surga.” (H.R. Bukhārī dan Muslim).
Seorang pemimpin (orang yang diserahkan amanah) mempunyai tanggungjawab besar terhadap apa yang dipimpinnya. Presiden, bupati, camat, ketua RT/RW, sampai kepala rumah tangga, tak terkecuali. Tindakan sekecil apa pun yang dilakukan seseorang terkait kepemimpinannya, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Maka dari itu, seorang pemimpin yang membohongi dan menipu rakyat atau orang-orang yang dipimpinnya, akan ditolak oleh surga. Selama ia tidak meminta maaf dan bertaubat, pintu surga akan terkunci untuknya.
Yang dimaksud tindakan penipuan atau al-ghāsyi pada hadits di atas mencakup segala perbuatan yang melenceng dari garis hak dan kewajiban yang telah ditentukan bagi seorang pemimpin. Atau dalam pemahaman kontekstualnya, apa yang kita sebut sebagai tindakan korupsi. Efek negatif korupsi, serta peluang untuk melakukannya, selalu terkait dengan besarnya kewenangan yang diterima seseorang.
Oleh karena itu, dengan melihat hadits di atas, siapa pun yang kekuatan pengaruhnya mampu menentukan kehidupan orang lain, hendaknya berhati-hati dalam menggunakannya. Amanah sekecil apa pun haruslah dijalankan dengan standar kebenaran dan kesalehan. Dan siapa pun yang pernah berbohong kepada mereka yang dipimpinnya, segeralah meminta maaf. Agar kekuasaan, kewenangan, pengaruh yang dimiliki, yang pada dasarnya merupakan keistimewaan, tidak menjadi bumerang yang membawa diri ke jurang kenistaan.