Hadits ke-23
Kerjasama Non-Muslim dengan Sistem Bagi Hasil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُوْدَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوْهَا وَ يِزْرَعُوْهَا وَ لَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا.
Diriwayatkan dari Muḥammad ibnu Muqātil, dari ‘Abdullāh, dari ‘Ubaidullāh, dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar, Rasūlullāh s.a.w. pernah memberi orang-orang Yahudi (penduduk Khaibar) sebidang tanah untuk digarap dan separo dari hasilnya untuk mereka.” (HR. al-Bukhārī). (231).
Keterangan:
Islam memotivasi untuk sebuah pekerjaan di bidang pertanian dan perkebunan. Bahkan al-Qur’ān juga menjelaskan proses mendasar dalam mengelola tanah yang dikaruniakan Allah kepada manusia, seperti bagaimana hujan turun dan mengaliri seluruh permukaan bumi, tanah yang subur ditanami, angin yang menyebarkan benih, juga bagaimana tanam-tanaman bisa tumbuh. Mari kita simak firman Allah:
“Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya; di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang; dan biji-bijian yang berkulit, berbunga-bunga, dan harum baunya. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs. ar-Raḥmān: 10-13).
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Rasūl telah mempraktikkan pekerjaan di bidang pertanian dengan sistem bagi hasil (muzāra‘ah).
Selain itu, hadits di atas juga mengindikasikan diperbolehkannya seorang non-muslim menjadi partner dalam kerja sama bagi hasil.
Praktik muzāra‘ah merupakan sistem kerja sama bagi hasil yang diizinkan dalam Islam. Muzāra‘ah diperkenankan apabila pemilik tanah menyerahkan tanahnya pada penggarap untuk ditanami. Alat pertanian, benih, dan binatang ternak yang digunakan menggarap tanah bisa berasal dari pemilik tanah atau si penggarap. Pada akhirnya, baik pemilik tanah maupun si penggarap memperoleh bagian yang sama besar dari hasil buminya.
Dalam kondisi tertentu, sistem bagi hasil tidak diperkenankan dalam Islam karena adanya kerugian yang diderita salah satu pihak dari pelaku kerja sama, baik pemilik tanah atau penggarap. Bagi hasil yang tidak diperkenankan ini disebut mukhābarah. Sistem ini dilarang karena pemilik menentukan ukuran tertentu atas hasil panennya, sedang penggarap hanya memperoleh sisanya. Jika tanah yang digarap tidak menghasilkan maka penggarap akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, Rasūl menggariskan agar kedua belah membagi keseluruhan hasil panennya, banyak maupun sedikit.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkn Rāfi‘ bin Khadj:
“Kami bekerja di bidang pertanian lebih dari siapa pun di Madīnah. Kami biasa menggarap sebagian tanah yang dibatasi khusus untuk diberikan kepada pemiliknya. Kadang tanaman di areal tersebut diserang hama, dan di bagian yang lain tetap aman, atau sebaliknya. Rasūl lalu melarang praktik bagi hasil yang seperti ini.” (HR. al-Bukhārī).
Islam sangat memperhatikan konsep keseimbangan dan keadilan dalam praktik bagi hasil. Pemilik tanah dilarang mengedepankan arogansinya demi menentukan bagian hasil yang lebih besar untuknya. Demikian juga, penggarap tanah harus pula dengan kejujuran hati mengolah dan melaporkan hasilnya kepada pemilik tanah. Di sini berlaku sebuah kaidah: keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Catatan: