017 Jangan Menyakiti Non-Muslim – Terapi Nabi Mengikis Terorisme

40 HADITS SHAHIH
Terapi Nabi Mengikis Terorisme
Teladan Menebar Kedamaian dan Toleransi di Muka Bumi

Oleh: Khotimatul Husna

Tim Penyusun:
Ust. Imam Ghozali, Ustzh. Khoiro Ummatin,
Ust. M. Faishol, Ustzh. Khotimatul Husna,
Ust. Ahmad Shidqi, Ust. Didik L. Hariri,
Ust. Irfan Afandi, Ust. Ahmad Lutfi,
Ust. Syarwani, Ust. Alaik S., Ust. Bintus Sami‘,
Ust. Ahmad Shams Madyan, Lc.
Ust. Syaikhul Hadi, Ust. Ainurrahim.

Penerbit: Pustaka Pesantren

Hadits ke-17

Jangan Menyakiti Non-Muslim

 

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُبَيْرِ أَنَّ هِشَامَ بْنَ حَكِيْمٍ رَأَى نَاسًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ قِيَامًا فِي الشَّمْسِ فَقَالَ: مَا هؤُلَاءِ فَقَالُوْا: مِنْ أَهْلِ الْجِزْيَةِ فَدَخَلَ عَلَى عُمَيْرِ بْنِ سَعْدٍ وَ كَانَ عَلَى طَائِفَةِ الشَّامِ فَقَالَ هِشَامٌ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَقُوْلُ: مَنْ عَذَّبَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا عَذَّبَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى فَقَالَ عُمَيْرٌ خَلُّوْا عَنْهُمْ.

Dari ‘Urwah ibn-uz-Zubair diriwayatkan bahwa Hisyām bin Ḥakīm melihat seorang ahli dzimmah sedang berdiri di bawah terik matahari. Lalu, dia bertanya kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka berkata: Orang tersebut adalah seorang yang wajib membayar jizyah (pajak/upeti). Lalu Hisyām segera menemui ‘Umair ibn Sa‘īd yang bertanggungjawab terhadap orang-orang Syam. Hisyām berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh bersabda: “Siapa menyakiti manusia di dunia, Allah pasti akan menyiksanya di akhirat.” Maka, ‘Umair segera berteriak: “Bubarkan mereka!”.” (HR. Aḥmad).

 

Keterangan:

Islam sangat mengedepankan toleransi kepadan Non-Muslim, baik dalam peribadatan maupun kehidupan bermasyarakat. Larangan menyakiti Non-Muslim merupakan seruan Rasūlullāh yang harus dipatuhi kaum Muslim pada masa pemerintahannya. Jika ada yang melanggar seruan tersebut maka pemerintahannya akan menjatuhkan sanksi atau hukuman yang setimpal. Rasūlullāh selalu menyerukan untuk berbuat baik kepada dzimmi, orang-orang yang terikat dalam perjanjian, Non-Muslim, dan lain-lain, meski terkadang mereka tidak dapat dipercaya dan melanggar perjanjian.

Bahkan, Rasūl sendiri pernah ditegur oleh Allah karena keberpihakannya kepada seorang muslim Anshār dan menyalahkan lawannya yang Yahudi, padahal dia belum mengusut dan meminta keterangan dan bukti secara teliti dan mengeceknya hingga sempurna. Perlakuan Rasūl ini telah melukai dan menyakiti hati laki-laki Yahudi ini sehingga Allah mengecamnya.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Anshār, Thu‘mah bin Ubairaq dari Bani Zhafar bin al-Ḥārits, telah mencuri pakaian tetangganya yang bernama Qatādah bin an-Nu‘mān. Kemudian pakaian itu disembunyikannya kepada seorang laki-laki Yahudi bernama Zaid bin as-Samīn. Pakaian itu disimpan dalam karung yang berisi tepung. Karena karung itu berlubang, tepungnya pun berceceran di rumah orang Anshār itu hingga ke rumah orang Yahudi tadi. Lalu dicarinya baju itu oleh pemiliknya di rumahnya Thu‘mah (orang Anshār) itu, tetapi ia bersumpah dusta dengan nama Allah bahwa ia tidak mengambil bahkan tidak tahu. Rumah Thu‘mah itu pun ditinggalkannya dengan mengikuti bekas tepung itu hingga ke rumah orang Yahudi. Ternyata baju itu ia temui di sana, lalu ia mengambilnya dari orang Yahudi tadi. Orang Yahudi itu lalu berkata: “Pakaian itu telah diberikan kepada saya oleh Thu‘mah bin Ubairaq.”

Urusan itu kemudian diajukan kepada Rasūl untuk mendapatkan keputusan siapakah di antara mereka yang jadi pencurinya. Banu Zhafar, yaitu para pembela Thu‘mah (orang Anshār) itu, berusaha mengeksploitir perasaan belas kasih Rasūl untuk kepentingan mereka karena mereka orang-orang Islam. Mereka juga mengeksploitir perasaan kebencian Rasūl terhadap Zaid bin as-Samīn karena ia adalah orang Yahudi. Mereka berusaha menyesatkan Rasūl dari fakta dan meyakinkan dia bahwa orang Yahudi itulah pencurinya.

Di samping itu, mereka menegaskan: Apabila orang Yahudi itu dibebaskan maka akan membawa malu semua kaum muslimin. Rasūl hampir merasa puas dengan alasan mereka sebelum mengusut keterangan secara tuntas dan sebelum menyelesaikan kasus ini sebagaimana mestinya secara hati-hati dan teliti. Kemudian Rasūl berhasil menguasai perasaannya, dan dapat mencapai kebenaran, lalu orang Yahudi itu dibebaskan. Allah lalu menegur Nabi dengan firman-Nya:

Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu; dan janganlah kamu menjadi penantang orang yang tidak bersalah karena membela orang-orang yang berkhianat. Mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu berdebat membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Adalah Allah Maha Meliputi atas apa yang mereka kerjakan. (QS. an-Nisā’: 105-108).

Firman Allah yang lain:

Siapa melakukan kesalahan atau dosa, lalu dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah berarti ia berbuat suatu kebohongan dan dosa nyata. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tapi mereka tidak menyesatkan siapa pun melainkan diri mereka sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakan sedikitpun kepadamu. Dan juga karena Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah padamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Adalah karunia Allah sangat besar untukmu. (QS. an-Nisā’: 112-113).

Selain itu, Rasūl juga pernah bersabda: “Siapa memusuhi non-muslim, ia telah memusuhi aku.” Rasūl juga mempertegas larangan membunuh ahli dzimmah:

Ketahuilah, siapa membunuh seorang mu‘āhid (terikat janji dengan negara Islam) yang telah beroleh jaminan perlindungan dari Allah dan Rasūl-Nya, berarti ia (si pembunuh) tadi telah melanggar ketetapan Allah; kelak ia tidak akan mencium bau surga yang beraroma 70 jenis buah-buahan.” (HR. Tirmidzī).

Di antara pemimpin muslim yang tegas menyerukan agar tidak menyakiti dan berbuat zalim kepada non-muslim adalah Khalīfah ‘Umar. Ketika kaum muslimin berhasil menaklukkan Bait-ul-Muqaddas, Khalīfah ‘Umar berkata:

“Inilah apa yang ‘Umar berikan kepada penduduk Elia berupa keamanan; dia memberi keamanan bagi mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, yang telah rusak maupun yang masih utuh, dan seluruh urusan agamanya. Sesungguhnya, gereja-gereja mereka tidak boleh dihentikan dari kegiatan, tidak boleh diruntuhkan, tak boleh dikurangi, demikian juga kekayaannya; tidak boleh dikurangi juga salib-salib mereka atau sedikit pun dari harta mereka.”

Demikianlah teladan dari Rasūl mulia yang diikuti para khalīfah setelahnya dalam hal memimpin umat. Kepemimpinan yang bersih dan adil ini menyuburkan tenggang rasa dan toleransi tinggi antarumat beragama sehingga kesejahteraan dan keamanan bisa dengan mudah diwujudkan.

 

Catatan:

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *