Hadits ke-12
Berdamai Dengan Non-Muslim
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيْهِ….وَ كَانَ النَّبِيُّ (ص) حِيْنَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ وَ أَهْلُهَا أَخْلَاطٌ مِنْهُمُ الْمُسْلِمُوْنَ وَ الْمُشْرِكُوْنَ يَعْبُدُوْنَ الْأَوْثَانَ وَ الْيُهُوْدُ وَ كَانُوْا يُؤْذُوْنَ النَّبِيَّ (ص) وَ أَصْحَابَهُ فَأَمَرَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ نَبِيَّهُ بِالصَّبْرِ وَ الْعَفْوِ فَفِيْهِمْ أَنْزَلَ اللهُ (وَ لَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ الآيَةَ). فَلَمَّا أَبَى كَعْبٌ بْنُ الْأَشْرَفِ أَنْ يَنْزِعَ عَنْ أَذَى النَّبِيَّ (ص) أَمَرَ النَّبِيُّ (ص) سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ أَنْ يَبْعَثَ رَهْطًا يَقْتُلُوْنَهُ فَبَعَثَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ وَ ذَكَرَ قِصَّةَ قَتْلِهِ فَلَمَّا قَتَلُوْهُ فَزَعَتِ الْيَهُوْدُ وَ الْمُشْرِكُوْنَ فَغَدَوْا عَلَى النَّبِيِّ (ص) فَقَالُوْا طُرِقَ صَاحِبُنَا فَقُتِلَ فَذَكَرَ لَهُمُ النَّبِيُّ (ص) الَّذِيْ كَانَ يَقُوْلُ وَ دَعَاهُمُ النَّبِيُّ (ص) إِلَى أَنْ يَكْتُبَ بَيْنَهُ كِتَابًا يَنْتَهُوْنَ إِلَى مَا فِيْهِ فَكَتَبَ النَّبِيُّ (ص) بَيْنَهُ وَ بَيْنَهُمْ وَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً صَحِيْفَةً.
“Dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Abdillāh ibn Ka‘b ibn Mālik dari ayahnya: “Ketika Nabi Muḥammad s.a.w. tiba di Madīnah bersama keluarganya, kaum Muslimin dan kaum musyrikin berbaur jadi satu; kaum Yahudi langsung mencela dan menyakiti hati Nabi dan sahabatnya lantaran hal itu. Allah meminta Nabi-Nya untuk bersabar dan memberi maaf. Ketika Ka‘b ibn al-Asyraf (dari kaum Yahudi) menolak mencabut penghinaannya atas Nabi, Nabi segera menyuruh Sa‘d ibn Mu‘ādz mengutus sekelompok sahabat untuk membunuh Ka‘ab tadi. Salah seorang sahabat yang diutus untuk membunuh adalah Muḥammad ibn Maslamah. Ka‘ab pun terbunuh. Kaum Yahudi pun berang, lalu mereka mendatangi Nabi: Teman kami, Ka‘ab, dibunuh; kami menuntut balas bagi yang membunuh. Akhirnya, Nabi dan kaum Yahudi serta kaum musyrikin sepakat untuk mengakhiri konflik dengan sebuah perjanjian tertulis.” (HR. Abū Dāwūd). (121)
Keterangan:
Islam selalu menganjurkan dialog dengan penganut agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani, yang banyak disebut dalam al-Qur’ān sebagai ahl-ul-kitāb (yang memiliki kitab suci). Kata ahl (keluarga) juga mengindikasikan adanya hubungan yang dekat antara umat Islam dengan non-muslim tersebut. Bahkan, dalam al-Qur’ān juga ditemukan kata-kata pujian yang ditujukan kepada kelompok tertentu dari umat Nasrani karena mereka bersedia menjalin hubungan dengan umat Islam. Firman Allah:
“Kau pasti dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Kami adalah Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka terdapat para pendeta dan rahib-rahib, serta mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. al-Mā’idah [5]: 82).
Kedekatan hubungan Muslim dan Non-Muslim sudah tampak pada masa pemerintahan Muḥammad, di antaranya dengan disepakatinya perjanjian damai yang disebut “Piagam Madīnah”. Piagam Madīnah yang dicetuskan Muḥammad ini telah mampu menjembatani dan mereformasi kultur patron-klien, sistem ekonomi kapitalistik, dan pola kepemimpinan despotik menuju masyarakat yang mementingkan investasi moral, inklusivitas, integritas dan kredibilitas, serta populis (memihak rakyat).
Kesepakatan damai yang telah disepakati dalam piagam ini pada akhirnya mampu membawa Madīnah menjadi negara kosmopolit di mana peradaban dan kebudayaannya tampak memancar ke seluruh penjuru dunia, sehingga disebut sebagai Madīnat-ul-Munawwarah (Kota Penuh Cahaya).
Keberhasilan Rasūl dalam memimpin dan membangun Madīnah dikarenakan dia mampu mempersatukan adanya berbagai perbedaan latar belakang masyarakat, baik agama, etnik, ras, atau antargolongan. Rasūlullāh selalu melakukan komunikasi dan dialog dengan rakyatnya, baik Muslim maupun Non-Muslim. Rasūl senantiasa memperlakukan secara adil pada siapa saja, bahkan kepada keluarganya sekalipun. Sikap Rasūlullāh yang mencerminkan pembela bagi semua golongan inilah yang menarik Non-Muslim untuk bersedia menjalin hubungan dan kesepakatan damai (mu‘āhid) dengan umat Islam. Rasūlullāh juga memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar perjanjian dengan mu‘āhid. Kewajiban selalu dijalankan dengan konsisten dan hak-hak para mu‘āhid dijamin dan dipastikan dipenuhi dengan adil. Di sinilah, umat Islam hendaknya meneladani sikap Nabi dalam berinteraksi dengan umat lain melalui “media perdamaian”.
Catatan: