Hadits ke-5
Agama Ḥanīf dan Inklusif
قَوْلَ النَّبِيُّ (ص): أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ.
“Sabda Nabi Muḥammad s.a.w.: “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR. al-Bukhārīi) (51)
Keterangan:
Pada prinsipnya, fitrah yang paling mendasar dari setiap manusia yang juga menjadi aspek yang melatari keagamaan adalah adanya pandangan hidup yang ḥanīf atau lurus. Ke-ḥanīf-an agama ini menjadi ciri semua ajaran yang telah dibawa para rasul dahulu selain Muḥammad. Sebagaimana firman Allah:
“Kami telah wahyukan kepada engkau (Muḥammad), hendaknya engkau ikuti ajaran (millah) Ibrāhīm sebagai seorang yang hanif. Dia bukanlah tergolong kaum musyrik.” (QS. an-Naḥl: 123).
Dalam kitab al-Qur’ān, Ibrāhīm disebut sebagai tidak termasuk Yahudi atau Nasrani karena pada masa Muḥammad umat Yahudi dan Nasrani cenderung eksklusif, sektarian, dan komunal. Mereka mengklaim agama mereka satu-satunya agama kebenaran, meskipun pada dasarnya klaim seperti ini bisa menjangkiti umat agama lain, termasuk kaum Muslimin sendiri.
Sebutan atas Ibrāhīm sebagai “Bapak Monoteisme” juga menandakan bahwa setiap ajaran yang diajarkan para rasul memiliki keterkaitan, yakni sebagai ajaran yang mengakui keesaan Tuhan dan pandangan hidup yang lurus.
Hadits di atas menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang ḥanīf merupakan rahmat bagi seluruh alam. Islam diturunkan untuk semua manusia tanpa membedakan kelamin, warna kulit, golongan, bangsa, dan seterusnya. Islam membawa misi perdamaian bagi seluruh umat manusia. Ke-ḥanīf-an Islam inilah yang memberikan “pengakuan” perbedaan terhadap keyakinan lain dengan wujud inklusivisme.
Catatan: