Hadits ke-2
Pembantu Rasulullah Seorang Non Muslim
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ غُلاَمٌ يَهُوْدِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ (ص) فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ (ص) يَعُوْدُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيْهِ وَ هُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ (ص) فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ (ص) وَ هُوَ يَقُوْلُ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ.
Artinya:
Dari Anas, diriwayatkan bahwa seorang pemuda Yahudi berkhidmat kepada Rasulullah s.a.w. kemudian dia sakit. Rasulullah s.a.w. menyambanginya (mengunjunginya). Beliau duduk di sebelah kepalanya dan berkata: “Masuk Islam-lah.” Pemuda itu menoleh pada bapaknya yang berada di sisinya. Sang bapak berkata: “Ikutilah Abu Qasim (Rasulullah s.a.w.). Maka dia pun masuk Islam. Rasulullah s.a.w. kemudian keluar dan berucap: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (H.R. al-Bukhari).
Keterangan:
Manusia tidak bisa melepaskan diri dari bantuan orang lain. Dia hidup bermasyarakat. Saling menolong untuk meringankan beban penderitaan dan kewajiban sudah menjadi keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat mustahil secara mandiri seseorang bisa menjalani hidup. Nah, interaksi di sini tidak hanya terbatas kepada sesama pemeluk agama tertentu, tetapi juga acapkali menyeberang tapal (sempadan) batas agama.
Rekaman kisah di atas menggambarkan betapa Rasulullah s.a.w., yang walaupun seorang penyeru agama Islam, akan tetapi tidak membatasi cakrawala pergaulannya dengan sesama muslim. Sayap pergaulan beliau merentang sampai dengan orang Yahudi. Bahkan orang Yahudi itu diangakat sebagai pembantunya. Tanpa sungkan (segan) dan jengah (rasa malu) beliau menjalani hidup bersamanya. Apakah tidak ada orang muslim yang bersedia menjadi pembantunya? Tentu tidak demikian. Sebab, beberapa nama sahabat sempat singgah di rumah beliau yang mulia untuk berkhidmat pada keluarga agung ini.
Bahkan, mungkin para sahabat akan berduyun-duyun seumpama Rasulullah s.a.w. membuka lowongan pembantu di rumahnya. Akan tetapi, beliau sengaja menunjuk seorang pemuda Yahudi sebagai pembantu dengan misi memperkenalkan keluwesan dan keluhuran Islam. Islam tidaklah keras, akan tetapi dilandasi kasih sayang. Bukannya disebarkan dengan pedang, Islam didakwahkan melalui senyuman dan sorot (sinar, cahaya) mata cinta.