Hadits ke-1
Agama Itu Jalan Petunjuk
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَ مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ.
Dirwayatkan dari Abū Hurairah bahwa Nabi Muḥammad bersabda: “Siapa mengajak ke jalan petunjuk baginya pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan siapa mengajak (ke jalan) kesesatan, ia akan peroleh dosa sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim). (11)
Keterangan:
Firman Allah dalam al-Baqarah ayat 62:
“Orang-orang mu’min, Yahudi, Nasrani, dan Shabi‘in: siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Pada dasarnya, semua agama adalah petunjuk yang mengajak manusia pada kebaikan. Tidak satu pun agama mengajak pada kesesatan, kejahatan, dan kerusakan. Semua kebaikan agama bertujuan untuk mencapai keridhaan Tuhan, tanpa terkecuali. Setiap penganut agama meyakini kebenarannya masing-masing, dan keyakinan memang tidak bisa dipaksakan. Untuk itu, antarpenganut agama hendaknya menghargai keyakinan orang lain (toleran).
Mari kita reungkan lagi firman Allah ini: “Tidak ada paksaaan di dalam agama” (QS. al-Baqarah: 206). Firman-Nya yang lain: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS. al-Kāfirūn: 6).
Demi memelihara kerukunan beragama sikap toleransi harus dikembangkan untuk menghindari konflik. Biasanya konflik antar-umat beragama disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain. Sebagai makhluk yang diberi kelebihan untuk membaca, memahami, menganalisis, dan menafsirkan wahyu Tuhan, terkadang manusia sering melampaui wewenangnya tersebut. Sebagai penafsir dan penyeru ajaran Tuhan, manusia terkadang merasa “mewakili” Tuhan dalam menentukan kebenaran, surga, dosa, pahala, dan lain-lain, bahkan memvonis kelompok lain sebagai sesat. Bila manusia sudah merasa “menjadi” Tuhan dengan menjustifikasi kelompok lain sebagai sesat maka sifat congkak akan menghinggapinya lalu menghalalkan segala macam cara untuk menghancurkan keyakinan yang lain.
Sikap eksklusif dalam beragama inilah yang menghancurkan kerukunan kehidupan beragama. Sikap ini selalu menutup kemungkinan kebenaran the other. Eksklusifisme jelas bertentangan dengan Islam yang selalu menyerukan diolog, ishlāḥ, dan musyāwarah dalam menjaga hubungan sosial.
Islam selalu mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) ketimbang sikap benci dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan atau mendiskreditkan kelompok lain. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari yang mengolok-olok.” (QS. al-Ḥujurāt: 10).
Selain itu, Islam senantiasa mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan. Perbedaan agama dan keyakinan merupakan sunnatullāh yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Allah menciptakan keragaman dan kemajemukan (plural) agar umat manusia saling mengenal dan menjalin persaudaraan. Di dalam konteks hubungan sosial, tidak ada kebenaran tunggal yang paling berkuasa atas yang lain. Dominasi kebenaran hanya milik dan wilayah Tuhan semata. Manusia tidak berhak “merangkap” sebagai Tuhan dengan mengaku paling benar lalu menstigma yang lain sebagai salah dan wajib dimusuhi serta masuk neraka.
Catatan: