BAB I
Pengarang Syaraḥ Dalā’il menukil pernyataan yang diberikan oleh Qādhī ‘Iyādh di dalam kitab asy-Syifā’, mengatakan:
“Maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk:
“Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan bershalawat kepadaku, niscaya perbuatan tersebut kurang sempurna.”
Dan didasarkan atas firman Allah s.w.t. di dalam Surat al-Insyirāḥ ayat 4, yang berbunyi:
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”
Tentang maksud ayat ini, sebagian ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits dari salah seorang sahabat, Abū Sa‘ad r.a., bahwa makna ayat tersebut adalah: “Tidaklah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula bersama-Ku.”
Di dalam salah satu hadits, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Belumlah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima-kasih kepada manusia.”
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
“Hai orang-orang yang beriman, ber-shalawat-lah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 56).
Demikianlah di antara fungsi shalawat seperti yang dikemukakan oleh pengarang kitab Syaraḥ Dalā’il.
Al-Madju al-Lughawiy menyebutkan di dalam kitab al-Qaul-ul-Badī‘ sebagai berikut:
“Kebanyakan orang mengucapan shalawat dengan tambahan kata “sayyidinā” sebelum nama baginda Nabi s.a.w., seperti: “Allāhumma Shalli ‘alā Sayyidinā Muḥammad.”
“Dalam kaitan ini perlu dijelaskan, pembacaan shalawat dengan tambahan kata “sayyidinā” itu tidak dilakukan di dalam shalat, karena mengikuti lafazh yang telah disebutkan dalam hadits-hadits yang shaḥīḥ. Sedangkan di luar shalat, Rasūlullāh s.a.w. mengingkari menyebut namanya dengan tambahan “sayyidinā” itu. Hal ini mungkin karena dua sebab: pertama karena tawādhu‘ (kerendahan hati) beliau, dan kedua karena beliau tidak mau dipuji atau disanjung secara langsung; atau karena sebab-sebab yang lain. Padahal, Rasūl s.a.w. sendiri telah menyatakan di dalam salah satu haditsnya, yang artinya: “Aku adalah sayyid (Penghulu) manusia”. Dan sabdanya tentang Ḥasan, cucunya: “Sesungguhnya putra-Ku ini adalah sayyid”. Dan sabda baginda untuk Sa‘ad bin Mu‘ādz r.a.: “Berdirilah untuk Sayyid kalian!”
Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan dengan jelas tentang kebolehan hal tersebut, sedangkan mengenai larangan atas hal itu justru masih memerlukan dalil.”
Dan Asnawī di dalam kitab Al-Muhimmāt mengemukakan ucapan Syaikh ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām, ia berkata: “Pada prinsipnya pembacaan shalawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafazh “sayyidinā”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahabb (sunnah).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Katakanlah oleh kalian: “Allāhumma shalli ‘alā Muḥammad.”
Dan sahabat Ibnu Mas‘ūd mengemukakan sebuah hadits yang bunyinya:
“Perbaguslah shalawat kepada Nabimu.”
Imām Ramlī dan Imām Ibnu Ḥajar sepakat, bahwa penambahan lafazh “sayyidinā” dalam shalawat atas Nabi s.a.w. baik dalam shalat maupun di luar shalat, hukumnya sunnah.
Dan ketika Imām Suyūthī ditanya orang tentang hadits yang artinya: “Janganlah kamu men-sayyid-kan aku dalam shalat!”, beliau menjawab: “Sebenarnya Rasūlullāh tidak menambahkan kata “sayyidinā” ketika mengajarkan shalawat kepada para sahabatnya, disebabkan oleh ketidaksukaan beliau pada kemegahan. Karena itulah dalam salah satu hadits, beliau mengatakan: “Aku adalah sayyid (Penghulu) manusia, dan tidak angkuh”.
Tetapi kita, sebagai umatnya, wajib menghormati dan mengagungkan beliau. Hal itu telah diajarkan Allah kepada kita dalam firman-Nya yang melarang kita menyebut Rasūlullāh s.a.w. dengan nama saja, yakni:
لَا تَجْعَلُوْا دُعَاءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضُكُمْ بَعْضًا.
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasūl di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (Q.S. an-Nūr: 63).
Apakah Nabi s.a.w. memperoleh manfaat dari pembacaan shalawat yang dilakukan oleh umatnya?
Jawaban atas pertanyaan di atas diberikan oleh pengarang kitab Jawāhir-ul-Ma‘ānī, Abul-‘Abbās at-Tijānī r.a.:
“Ketahuilah, bahwa Nabi s.a.w. itu sama sekali tidak membutuhkan kepada shalawat pada pahala amal umatnya yang dihadiahkan mereka kepadanya. Hal itu tidak lain disebabkan oleh kemurahan Tuhannya yang sangat berlimpah kepadanya, sehingga beliau tidak lagi memerlukan tambahan dari selain-Nya.” Ini dibuktikan oleh firman Allah:
وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Q.S. adh-Dhuḥā: 5).
Dan firman-Nya:
وَ كَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا.
“Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (Q.S. an-Nisā’: 113).
“Sekurang-kurang ganjaran yang akan diperoleh Nabi s.a.w. itu adalah, bahwa dari sejak beliau diutus sampai tiba Hari Kiamat, atas semua pahala amal tiap-tiap umatnya, beliau pun mendapatkan bagian yang sama tanpa dikurangi sedikit pun.”
Dari keterangan di atas, jelas sekali bahwa orang yang telah mendapat jaminan ganjaran yang sedemikian besar dari Allah s.w.t. itu, tentu tidak lagi membutuhkan tambahan shalawat dan hadiah amal dari umatnya. Sedangkan perintah Allah kepada umat agar membacakan shalawat kepada beliau adalah untuk memberitahu mereka akan ketinggian derajat beliau di sisi Allah, dan bahwa beliau adalah satu-satunya manusia pilihan yang paling utama di antara seluruh makhluk-Nya. Juga, dimaksudkan untuk memberitahukan kepada mereka bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seseorang kecuali dengan ber-tawassul dengan perantaraan baginda shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”