Ketahuilah, tulisan ini tak menyebut semua yang saya ketahui tentang nilai penting dari nikmat ini. Kalaupun saya habiskan ribuan halaman untuk masalah ini, tentu yang saya ketahui lebih banyak lagi dari itu, meskipun saya juga menyadari apa yang saya ketahui dibanding apa yang tidak saya ketahui seperti ludah di atas samudra luas. Tidakkah engkau menyimak firman Allah kepada Nabi:
مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتَابُ وَ لَا الْإِيْمَانُ
“Sebelumnya engkau tidaklah mengerti apakah kitab (al-Qur’ān) itu dan apakah iman itu.” (asy-Syūrā [42]: 52). Allah juga berfirman kepadanya:
وَ عَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَ كَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا
“… dan (Allah) telah mengajarimu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangatlah besar.” (an-Nisā’ [4]: 113). Dan Allah juga berfirman:
بَلِ اللهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيْمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“… sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (al-Ḥujurāt [49]: 17).
Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi berkata kepada orang yang mengucap alḥamdulillāh atas nikmat Islam: “Sungguh engkau memuji Allah atas nikmat yang agung. (riwayat Ibnu Abid-Dunyā), dan bahwa ketika utusan Nabi Yūsuf menghadap Nabi Ya‘qūb, ia bertanya kepada utusan ini: “Dalam agama apa aku meninggalkannya?” Utusan ini menjawab: “Dalam agama Islam.” Lalu Nabi Ya‘qūb pun berkata: “Sekarang sempurnalah nikmat untukku.”
Ada ulama yang berkata bahwa perkataan yang paling dicintai oleh Allah dan paling mantap ungkapan syukurnya di sisi Allah adalah ucapan: “alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah yang memberi kita nikmat dan menunjukkan kita kepada agama Islam.”
Engkau tak boleh melupakan syukur atas Islam, ataupun terlena karena sudah memeluk Islam, mendapatkan pengetahuan tentang Allah, mendapatkan petunjuk, dan dilindungi dari dosa. Sebab, tidak boleh kita terlena ataupun lalai dalam segala keadaan. Segala sesuatu bergantung pada hasil akhirnya.
Sufyān ats-Tsaurī pernah berkata: “Siapa saja yang merasa tenang-tenang dengan agamanya, sudah terlepaslah agamanya.” Guru saya pernah berkata: “Jika engkau mendengar tentang keadaan orang kafir dan kekalnya mereka di neraka, maka jangan tenang-tenang saja dengan keadaan dirimu. Ini penuh risiko. Engkau tidak tahu apa jadinya nanti, dan apa yang digariskan untukmu di atas sana. Maka jangan terlena dengan luangnya masa, karena di baliknya tersembunyi bahaya.”
Ada ulama yang berkata: “Wahai orang-orang yang terlena dengan keterlindungan dari dosa, sesungguhnya di balik itu ada berbagai macam petaka. Allah beri Iblis berbagai macam perlindungan tapi ia benar-benar dilaknat-Nya. Allah beri Bal‘am cahaya kewalian tapi ia benar-benar dalam memusuhi-Nya.”
Diriwayatkan dari ‘Alī r.a. bahwa ia berkata: “BERAPA BANYAK ORANG YANG TERUS SAJA MENUMPUK KEMAKSIATAN PADAHAL SUDAH DIBERI KEBAIKAN. BERAPA BANYAK ORANG YANG MASIH SAJA MERASA SAKIT HATI PADAHAL DIRINYA DIPUJI-PUJI. DAN BERAPA BANYAK ORANG YANG MASIH SAJA MERASA TINGGI HATI PADAHAL KEBURUKAN-KEBURUKANNYA SEMATA TERTUTUPI.”
Dzun-Nūn ditanya: “Apa yang paling membuat hamba tertipu?” Ia menjawab: “Kemurahan hati dan kebaikan dari Allah.” Itulah mengapa Allah berfirman:
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ
“... akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (al-A‘rāf [7]: 182, al-Qalam [68]: 44). Seorang ahli makrifat berkata, itu maksudnya: akan Kami limpahi mereka nikmat tetapi Kami lupakan mereka dari bersyukur.
Ketahuilah bahwa setiap engkau semakin dekat dengan Allah, maka semakin berbahaya dan sulit keadaanmu, hubunganmu dengan Allah lebih intens dan mendalam, dan risiko yang engkau hadapi semakin besar. Sebab, semakin tinggi sesuatu, semakin berbahaya bila sampai terjatuh.
Oleh karena itu, tidak boleh kita terlena ataupun lalai untuk bersyukur, dan berdoa sepenuh hati agar tetap berada dalam keadaan yang semestinya. Ibrāhīm ibn Adham pernah berkata: “Bagaimana engkau bisa merasa tenang-tenang saja padahal Ibrahim a.s. berdoa:
وَ اجْنُبْنِيْ وَ بَنِيَّ أَنْ نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“….dan jauhkan aku dan anak-cucuku dari menyembah berhala.” (Ibrāhīm [14]: 35) dan Yūsuf a.s. berdoa:
تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا
“… dan wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim...” (Yūsuf [12]: 101). Sufyān ats-Tsaurī selalu berkata: “Ya Allah, selamatkan, selamatkan,” seolah-olah ia sedang di atas kapal dan takut kapalnya tenggelam.
Muḥammad ibn Yūsuf berkata: “Aku bersama Sufyān ats-Tsaurī suatu malam, lalu ia menangis semalam suntuk. Aku pun bertanya: “Apakah engkau sedang menangisi dosa-dosa?” Lalu ia mengambil seutas jerami dan berkata: “Dosa itu lebih ringan bagi Allah daripada jerami ini. Aku hanya merasa takut kalau-kalau Allah melepas keislamanku dan kemauanku untuk berlindung kepada-Nya.” Aku juga mendengar orang bijak berkata: “Seorang nabi bertanya kepada Allah tentang masalah Bal‘am yang terjauhkan dari agamanya setelah berbagai kebaikan dan kemuliaan yang diberikan kepadanya. Allah pun berkata: “Karena ia tidak pernah bersyukur kepada-Ku atas apa yang Aku berikan kepadanya walau sehari saja. Kalau saja ia mau bersyukur kepada-Ku atas hal itu sekali saja, Aku tidak akan menjauhkannya.”
Karena itu waspadalah dan terus bersyukur, dan pujilah Allah atas nikmat-nikmatNya dalam hal agama. Yang paling tinggi adalah nikmat Islam dan nikmat makrifat. Yang paling kecil adalah nikmat petunjuk untuk bertasbih atau nikmat terlindungi dari mengatakan sesuatu yang tak ada gunanya. Mudah-mudahan Allah menyempurnakan nikmat-nikmatNya kepadamu dan tidak mengujimu dengan pahitnya kehilangan nikmat-nikmat itu. Sebab, yang paling menyesakkan adalah penghinaan setelah penghormatan, penjauhan setelah pendekatan, perpisahan setelah pertemuan. Allah-lah Yang Maha Mulia lagi Maha Penyayang.
Sekarang, jika engkau sudah merenungkan dengan baik pemberian-pemberian Allah yang besar dan mulia kepadamu, yang tak bisa engkau hitung dan bayangkan banyaknya; engkau sudah lewati lembah ujian yang sulit dan berat, lalu engkau sudah dapatkan pengetahuan dan wawasan, engkau tersucikan dari dosa kecil dan dosa besar, engkau sudah lampaui berbagai rintangan, engkau sudah tampik berbagai godaan, engkau sudah berhasil mendapatkan semangat, dan engkau sudah selamat dari berbagai bahaya. Betapa banyak kemuliaan karakter dan ketinggian derajat yang telah engkau dapat – dari pencernaan dan pemahaman rohani hingga kedekatan dan kemuliaan. Lalu engkau merenungkannya dengan kemampuan akal dan petunjuk yang engkau peroleh, bersyukur kepada Allah atas besarnya kekuatanmu sehingga Allah menyibukkan lidahmu untuk memuji-Nya, memenuhi hatimu dengan pengagungan terhadap-Nya, memberimu pembatas yang memisahkanmu dari maksiat terhadap-Nya, memotivasimu untuk berkhidmat kepada-Nya semampumu, dengan mengakui ketidakmampuan mendatangkan nikmat dan kebaikan yang menjadi hak-Nya. Dan setiap kali engkau lalai, letih, atau khilaf untuk bersyukur kepada-Nya, engkau kembali berusaha dan memohon dengan sangat dan sepenuh hati kepada-Nya dengan berkata: “Ya Allah, wahai penolongku, Engkau dulu telah melimpahkan kebaikan kepadaku meski aku tak layak untuk itu, maka kini aku berharap kepada-Mu menggenapkan kebaikan itu untukku;” engkau meminta kepada-Nya seperti para kekasih-Nya yang telah menemukan mahkota hidayah-Nya, mencecap manisnya makrifat, sehingga mereka cemas kalau-kalau diri mereka akan merasakan nyerinya dijauhkan dan dihinakan, diasingkan dan disesatkan, merasakan pahitnya perpisahan dan kehilangan, lalu mereka merendah memohon pertolongan dengan sangat di pintu-Nya, dan berseru dalam kesunyian:
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَ هَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (Ᾱli ‘Imrān [3]: 8).
Ayat ini maksudnya – wallāhu a‘lam – adalah: Kami telah dapati nikmat dari-Mu, tapi kami berharap mendapat nikmat yang lain lagi. Engkaulah Yang Maha Senang dan Sering Memberi. Maka sebagaimana Engkau telah beri kami nikmat istimewa dulunya, berilah kami rahmat sempurna nantinya.
Tidakkah engkau tahu bahwa doa pertama yang diajarkan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang Dia pilih di antara makhluk-Nya adalah: ihdinash-shirāth-al-mustaqīm, berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus. Artinya: buatlah kami tetap dan terus berada di jalan yang lurus. Begitulah kita merendah memohon kepada-Nya. Ini karena jalan ini penuh tantangan.
Ada yang mengatakan bahwa orang-orang bijak menyimpulkan ada lima sumber musibah: sakit tatkala bepergian, miskin semasa tua, mati saat muda, buta setelah mata sehat, dan dimusuhi orang setelah kenal dekat. Tetapi, seorang penyair memberi ungkapan yang lebih baik: segala sesuatu yang berpisah denganmu ada gantinya, tapi Allah tak ada gantinya bila engkau berpisah dengan-Nya.
Demikian pula setiap nikmat yang Allah limpahkan kepadamu, kekuatan yang Allah berikan kepadamu untuk melewati rintangan, agar Dia bisa terus memberimu dan menambah bagimu lebih dari apa yang engkau inginkan dan angankan.
Bila engkau sudah melakukan perenungan itu semua, engkau telah melewati rintangan berbahaya ini, dan berhasil meraih dua perbendaharaan mulia: istiqāmah dan istizādah (meminta pertambahan nikmat Allah). Sehingga, engkau tidak khawatir akan hilangnya nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepadamu, dan engkau tidak khawatir akan terlambatnya penambahan nikmat-nikmat yang melebihi harapanmu yang belum Allah berikan kepadamu. Saat itulah engkau termasuk orang yang ‘ārif, ‘ālim, dan suci.
“Syukur melibatkan hati, lisan, dan semua anggota badan. Terlibatnya hati berarti hati menyembunyikan kebaikan dari semua makhluk, dan menghadirkannya dalam keteringatan kepada Allah ta‘ālā, dan ia tidak melupakannya. Sedangkan terlibatnya lisan berarti meluncurlah dari lisan kalimat syukur dengan berbagai pujian yang mengindikasikan syukur itu. Sedangkan terlibatnya anggota badan adalah dengan menggunakan nikmat Allah untuk ketaatan kepada-Nya, dan menghindari maksiat dengan menggunakan nikmat-Nya.”Imām al-Ghazālī.