الْوَجْهُ الْخَامِسُ: أَنَّ فِيْ سُلُوْكِ الطَّرِيْقِ صُحْبَةُ الْمَشَايِخِ الْكُمَّلِ، وَ الْاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَ الْاِهْتِدَاءُ بِهَدْيِهِمْ، وَ قَدْ أَمَرَ اللهُ بِذلِكَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَ اتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ). (لقمان: 15).
Kelima, Dalam proses suluk di dalam tharīqah harus dibarengi suḥbah (berkumpul) dengan guru atau mursyid yang mumpuni, serta mengikuti petunjuk dan bimbingannya. Hal ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah s.w.t. dalam firman-Nya: “Ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqmān: 15).
قَالَ الْإِمَامُ زَرُّوْقُ: “وَ الْإِنَابَةُ لَا تَكُوْنُ إِلَّا بِعِلْمٍ وَاضِحٍ وَ عَمَلٍ صَحِيْحٍ وَ حَالِ ثَابِتٍ لَا يُنْقِضُهُ كِتَابٌ وَ لَا سُنَّةٌ.”
Imām az-Zarrūq berkata: “Inābah (Perjalanan kembali kepada Allah) tidak akan berhasil kecuali dengan ilmu yang jelas, amal yang benar, keadaan yang teguh, serta tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan Sunnah.”
الْوَجْهُ السَّادِسُ: أَنَّ سُلُوْكَ الطَّرِيْقِ يُنَوِّرُ بَصِيْرَةَ الشَّخْصِ وَ يَسْمُوْ بِهِمَّتِهِ حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ تَعَلُّقٌ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا يَكُوْنُ لَهُ اعْتِمَادٌ إِلَّا عَلَيْهِ؛ فَيَصِيْرُ مَصُوْنُ السِّرِّ عَنِ الْاِلْتفَاتِ إِلَى الْخَلْقِ مَرْفُوْعُ الْهِمَّةِ عَنْ تَأْمِيْلِهِمْ اِكْتِفَاءً بِالْحَقِّ مُتَحَقِّقًا بِالْحَقِيْقَةِ فِيْ جَمِيْعِ الْأَحْوَالِ، مَتَوَسِّمًا بِالشَّرِيْعَةِ فِي الْأَقْوَالِ وَ الْأَفْعَالِ.
Keenam, Sesungguhnya suluk dalam tharīqah dapat menerangi bashīrah (mata hati) seseorang, mengangkat derajatnya dengan hasrat kuatnya, hingga tiada lagi tempat bergantung selain kepada Allah s.w.t., tidak ada tempat bersandar kecuali kepada-Nya. Dengan begitu ia akan terjaga dari berpaling kepada makhluk, terhilangkan segala cita untuk condong kepada mereka. Sebab ia merasa cukup dengan yang Maha Ḥaqq, merasa mantap secara hakikat dalam setiap keadaannya. Setiap perkataan dan perbuatannya menunjukkan kesesuaian dengan syarī‘at.
وَ هذَا أَعْلَى مَا يُطْلَبُ مِنَ الْمُؤْمِنِ وَ إِلَيْهِ أَشَارَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ بِقَوْلِهِ لِابْنِ عَبَّاسٍ: (إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ). وَ بَايَعَ الصَّحَابَةُ – مِنْهُمْ ثَوْبَانُ مَوْلَاهُ وَ الصِّدَّيْقُ صَاحِبُهُ – عَلَى أَلَّا يَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا؛ وَ ذلِكَ لِرَفْعِ الْهِمَّةِ عَنِ الْخَلْقِ وَ الْاِكْتِفَاءِ بِالْاِلْتِجَاءِ إِلَى الْحَقِّ.
Inilah tingkatan paling tinggi yang diraih oleh setiap orang mu’min. Sebagaimana isyarat ḥadīts Nabi yang ditujukan untuk Ibnu ‘Abbās r.a.: “Jika engkau meminta sesuatu mintalah kepada Allah, jika engkau membutuhkan pertolongan, mintalah kepada Allah.” Para sahabat pun berbai‘at (mengikat janji), di antaranya sahabat Abū Bakar r.a. dan budaknya, untuk tidak meminta apapun kepada makhluk. Karena hanya dengan cara itulah ketergantungan terhadap manusia hilang dan mencukupkan diri terhadap rahmat Allah, Dzāt Yang Maha Benar.
الْوَجْهُ السَّابِعُ: أَنَّ فِيْ سُلُوْكِ الطَّرِيْقِ بِصُحْبَةِ شَيْخٍ مُرْشِدٍ عَارِفٍ خُرُوْجًا مِنْ رَعُوْنَاتِ النَّفْسِ وَ حِمَايَةً لِلْمُرِيْدِ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُهُ مِنَ الْوُصُوْلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ أَنْوَاعِ الْجَهْلِ وَ الْغُرُوْرِ وَ دَوَاعِي الْهَوَى الْمُوْقِعَةِ فِيْ ظُلْمَةِ الْقَلْبِ وَ إِطْفَاءِ النُّوْرِ.
Ketujuh, Dalam menempuh jalan tharīqah, melalui bimbingan bersama seorang mursyid yang ‘arif dapat mengeluarkan dari kecerobohan dan kesalahan diri. Menjaga sang murid dari perkara yang mencegah wushūl kepada Allah s.w.t. dari berbagai macam kebodohan, tipu daya dunia, dan dorongan hawa nafsu yang dapat mengantarkan pada gelapnya hati dan redupnya cahaya ilahi.
وَ لِهذَا قَالَ ابْنُ عَطَاءِ اللهِ فِيْ “لَطَائِفِ الْمِنَنِ”: “شَيْخُكَ هُوَ الَّذِيْ أَخْرَجَكَ مِنْ سِجْنِ الْهَوَى وَ دَخَلَ بِكَ عَلَى الْمَوْلَى. شَيْخُكَ هُوَ الَّذِيْ مَا زَالَ يَجْلُو مِرْآةَ قَلْبِكَ حَتَّى تَتَجَلَّى فِيْهِ أَنْوَارُ رَبِّكَ…
Dari itu Imām Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī r.a. dalam kitabnya “Lathā’if-ul-Minan” mengatakan: “Gurumu adalah orang yang dapat mengeluarkan dirimu dari belenggu hawa nafsu dan mengantarmu masuk ke dalam naungan Tuhan. Gurumu ialah sosok yang dapat menyingkirkan penghalang dalam hatimu, sehingga cahaya-Nya bersinar terang dalamnya.
وَ نَهَضَ بِكَ إِلَى اللهِ فَنَهَضْتَ إِلَيْهِ وَ سَارَ بِكَ حَتَّى وَصَلْتَ إِلَيْهِ وَ لَا زَالَ مُحَاذِيًا لَكَ حَتَّى أَلْقَاكَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَزُجَّ بِكَ فِيْ نُوْرِ الْحَضْرَةِ وَ قَالَ: هَا أَنْتَ وَ رَبُّكَ”. اهـــ.
Membangkitkan semangatmu menuju kepada Allah sehingga kau pun bangkit menuju-Nya. Hingga saat engkau sampai di hadapan-Nya dan senantiasa menghadap-Nya dan dirimu seakan larut dalam cahaya keharibaan-Nya. Seraya ia (gurumu) berkata: “Inilah dirimu di hadapan Tuhanmu.”
وَ قَالَ أَيْضًا: “إِنَّمَا يَكُوْنُ الْاِقْتِدَاءُ بِوَلِيٍّ دَلَّكَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَطْلَعَكَ عَلَى مَا أَوْدَعَهُ مِنَ الْخُصُوْصِيَّةِ لَدَيْهِ، فَطَوَى عَنْكَ شُهُوْدُ بَشَرِيَّتِهِ فِيْ وُجُوْدِ خُصُوْصِيَّتِهِ فَأَلْقَيْتَ إِلَيْه الْقِيَادَ فَسَلَكَ بِكَ سَبِيْلَ الرَّشَادِ يُعَرِّفُكَ بِرَعُوْنَةِ نَفْسِكَ، وَ يَدُلُّكَ عَلَى الْجَمْعِ عَلَى اللهِ، وَ يُعَلِّمُكَ الْفِرَارَ عَمَّا سِوَى اللهِ، وَ يُسَايِرُكَ فِيْ طَرِيْقِكَ حَتَّى تَصِلَ إِلَى اللهِ.
Imām Ibnu ‘Athā’illāh r.a. juga berkata: “Bahwa dalam proses mengikuti dan berguru kepada seorang wali (kekasih Allah) maka Allah akan menunjukkan dan menyingkapkan rahasia-Nya kepadamu melalui keistimewaan seorang wali tersebut. Sehingga tampak persaksianmu akan keistimewaan itu. Dan kau dapati bimbingannya hingga kau menapaki jalan yang benar, di mana kau bisa mengerti akan pemeliharaan jiwamu. Ia tunjukkan kamu untuk selalu bersama Allah dan berpaling dari selain-Nya, hingga kau bisa wushūl (sampai) ke hadirat-Nya.
يُوْقِفُكَ عَلَى إِسَاءَة نَفْسِكَ وَ يُعَرِّفُكَ بِإِحْسَانِ اللهِ إِلَيْكَ؛ فَيُفِيْدُكَ مَعْرِفَةَ إِسَاءَةِ نَفْسِكَ الْهَرَبَ مِنْهَا وَ عَدَمَ الرُّكُوْنِ إِلَيْهَا، وَ يُفِيْدُكَ الْعِلْمَ بِإِحْسَانِ اللهِ إِلَيْكَ الْإِقْبَالَ عَلَيْهِ وَ الْقِيَامَ بِالشُّكْرِ إِلَيْهِ وَ الدَّوَامِ عَلَى مَمَرِّ السَّاعَاتِ بَيْنَ يَدَيْهِ”.
Ia mengingatkan keburukan dirimu dan mengantarkanmu mengerti kebaikan Tuhan padamu. Dengan begitu, saat kau tau buruknya (keadaan) jiwamu menjadikanmu tidak nyaman dan lari menghindarinya. Kau pun memperoleh pengetahuan tentang segala kebaikan Tuhan kepadamu, menerima dan senantiasa bersyukur serta selalu bersama-Nya di sepanjang waktu.”
قَالَ: “فَإِنْ قُلْتَ: فَـأَيْنَ مَنْ هذَا وَصْفُهُ لَقَدْ دَلَّلَتْنِيْ عَلَى أَغْرَبِ مِنْ عُنَقَاء مَغْرِبِ؟!
Imām Ibnu ‘Athā’illāh r.a. berkata: “Bila kau bertanya: di manakah seorang guru dengan kriteria seperti ini, yang engkau telah tunjukkan tentang orang yang lebih sulit untuk ditemukan dari unaqā’ maghrib. (301)?”
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُعْوِزُكَ وُجُوْدُ الدَّالِّيْنَ وَ إِنَّمَا يُعْوِزُكَ وُجْدَانُ الصِّدْقِ فِيْ طَلَبِهِمْ. جِدْ صِدْقًا تَجِدْ رُشْدًا، وَ تَجِدُ ذلِكَ فِيْ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى، قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: (أَمَّنْ يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ) (النمل: 62). وَ قَالَ تَعَالَى: (فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ). (محمد: 21).
Ketahuilah bahwa yang terpenting dari itu semua adalah bukan adanya berbagai petunjuk kriteria seorang guru, tapi sejauh mana engkau bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Bersungguh-sungguhlah dalam mencari, maka petunjuk akan menghampiri. Hal ini sesuai dengan dua ayat dalam al-Qur’ān: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya.” (QS. an-Naml: 62). “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muḥammad: 21).
فَلَوِ اضْطَرَرْتَ إِلَى مَنْ يُوْصِلُكَ إِلَى اللهِ اضْطِّرَارَ الْظَّمْآنِ إِلَى الْمَاءِ وَ الْخَائِفِ إِلَى الْأَمْنِ لَوَجَدْتَ ذلِكَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ وُجُوْدِ طَلَبِكَ. وَ لَوِ اضْطَرَرْتَ إِلَى اللهِ اضْطِرَارَ الْأُمِّ لِوَلَدِهَا إِذَا فَقِدَتْهُ، لَوَجَدْتَ الْحَقَّ مِنْكَ قَرِيْبًا وَ لَكَ مُجِيْبًا وَ لَوَجَدْتَ الْوُصُوْلَ غَيْرَ مُتَعَذِّرٍ عَلَيْكَ وَ لَتَوَجَّهَ الْحَقُّ يَتَيَسَّرُ ذلِكَ عَلَيْكَ. اهـــ
Jikalau engkau merasakan kesusahan dalam mencari seseorang yang dapat membimbingmu menuju Allah, seperti sulitnya orang yang kehausan terhadap air, dan orang yang ketakutan yang mencari perlindungan. Maka kau akan dapati dirimu semakin dekat dengan apa yang kau cari. Ketika kau dapati dirimu bersusah payah merangkak menuju Allah, seperti halnya kecemasan seorang ibu tatkala kehilangan anaknya, maka semakin dekatlah Allah Yang Maha Ḥaqq bagimu, menyambut kehadiranmu. Lalu engkau pun sampai pada Allah (wushūl) tanpa merasakan kesukaran, sebab Allah telah mempermudah jalanmu.
الْوَجْهُ الثَّامِنُ: أَنَّ فِيْ سُلُوْكِ الطَّرِيْقِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللهِ وَ الْاِسْتِعَانَةُ بِصُحْبَةِ الشَّيْخِ عَلَى ذلِكَ، وَ لَا شَكَّ أَنَّ الذِّكْرَ يُصَفِّي الْقُلُوْبَ وَ يَدْعُوْ إِلَى اطْمِئْنَانِهَا كَمَا قَالَ تَعَالَى: (أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبَ). (الرعد: 28).
Kedelapan, Sesungguhnya dalam suluk tharīqah ialah memperbanyak berdzikir kepada Allah dan meminta pertolongan lewat pengabdian kepada guru atau mursyid. Tak diragukan lagi bahwa berdzikir kepada Allah dapat membersihkan hati dan memberikan ketenangan tiada kira. Seperti yang termaktub dalam firman Allah: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d: 28).
فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يُقَيِّدْهُ بِحَدٍّ وَ لَا شَرْطٍ وَ لَا نِهَايَةٍ حَيْثُ قَالَ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كثِيْرًا، وَ سَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا). (الأحزاب: 41-42)، وَ كُلُّ أَمْرٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ فِي الْقُرْآنِ جَعَلَ لَهُ حَدًّا وَ شَرْطًا وَ نِهَايَةً إِلَّا الذِّكْرَ.
Allah s.w.t. tidak membatasi dzikir dengan batasan, syarat, maupun ujung pangkalnya, sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. al-Aḥzāb: 41-42).
فَلِهذِهِ الْوُجُوْهِ الَّتِيْ ذَكَرْنَاهَا وَ غَيْرِهَا كَانَ سُلُوْكُ طَرِيْقِ التَّصَوُّفِ وَاجِبًا وَ الْاِنْخِرَاطُ فِيْ سِلْكِ أَهْلِهِ أَمْرًا لَازِمًا.
Dari kesemua dalil argumentasi yang telah kami paparkan, maka dapat disimpulkan bahwa menempuh jalan tashawwuf (bertharīqah) adalah wajib. Dan masuk ke dalam tharīqah para ahli tashawwuf adalah sebuah keharusan.
وَ نَحْنُ لَا نُنْكِرُ أَنَّهُ دَخَلَ فِي الطَّرِيْقِ دُخَلَاءُ أَدْعِيَاءُ وَ جُهَلَاءُ أَغْبِيَاءُ، اتَّخَذُوا الطَّرِيْقَ سُلَّمًا لِتَحْصِيْلِ أَغْرَاضِهِمْ وَ شَهَوَاتِهِمْ، وَ ابْتَدَعُوْا فِيْهِ بِدْعًا مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ، وَ زَعَمُوْا أَنَّهُمْ أَهْلُ الْحَقِيْقَةِ يَجُوْزُ لَهُمْ مَا يَكُوْنُ مُحَرَّمًا فِي الشَّرِيْعَةِ وَ كَذَبُوْا.
Kami juga tidak mengingkari bahwa dalam praktek tharīqah ini di dalamnya terdapat orang-orang yang asal-asalan, orang yang menuduh hal yang tidak benar, orang-orang bodoh dan tidak berilmu. Mereka menjadikan tharīqah hanya sebagai batu loncatan untuk memenuhi keinginan mereka, memuaskan nafsu mereka serta membuat suatu bid‘ah yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan Allah s.w.t. Mereka menyangka bahwa merekalah ahli hakikat yang boleh atas mereka apa-apa yang diharamkan oleh syarī‘at, mereka telah berdusta.
فَإِنَّ الشَّرِيْعَةَ وَ الْحَقِيْقَةَ صِنْوَانٌ وَ مَا خَالَفَتِ الشَّرِيْعَةُ الْحَقِيْقَةَ قَطٌّ إِلَّا فِيْ نَظَرٍ جَاهِلٍ.
Padahal syarī‘at dan hakikat adalah dua hal yang tidak mungkin saling bertentangan kecuali dalam penilaian orang bodoh.
فَمِثْلُ هؤُلَاءِ لَيْسُوْا مِنَ الصُّوْفِيَّةِ فِيْ شَيْءٍ، وَ أَوَّلُ مَنْ يَبْرَأُ مِنْهُمُ الصُّوْفِيَّةُ، وَ مِنَ الظُّلْمِ الْبَيِّنِ أَنْ يَعْتَرِضَ بَعْضُ النَّاسِ بِفِعْلِ هؤُلَاءِ الْجَهْلَةِ وَ يَجْعَلَهُ حُجَّةً عَلَى التَّصَوُّفِ وَ الصُّوْفِيَّةِ.
Orang-orang seperti mereka ini bukanlah termasuk kalangan shūfī. Mereka inilah yang merusak pandangan awam tentang kaum shūfī dan tashawwuf. Termasuk sebuah kezhaliman yang besar adalah ketika sebagian orang mulai melakukan dan mengikuti orang-orang bodoh di atas, sembari mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah representasi dari tashawwuf dan shūfī itu sendiri.
فَمَا التَّصَوُّفُ إِلَّا اتِّبَاعُ الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ، وَ مَا الصُّوْفِيَّةِ إِلَّا قَوْمٌ جَاهَدُوْا أَنْفُسَهُمْ. فَهَدَاهُمُ اللهُ (وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا، وَ إِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ). (العنكبوت: 69).
Sungguh tiadalah tashawwuf kecuali mengikuti al-Qur’ān dan Sunnah. Dan bukanlah kalangan shūfī, kecuali mereka yang memerangi hawa nafsunya. Semoga Allah s.w.t. memberikan petunjuk kepada mereka: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-‘Ankabūt: 69).