Ketahuilah, musuh sejatimu, yaitu syaithan, akan senantiasa mengganggumu ketika kau berada dalam keadaan yang telah Allah tetapkan untukmu. Kemudian syaithan membisikkan buruknya keadaan itu sehingga kau menghendaki keadaan lain di luar yang telah ditetapkan Allah. Akibatnya, kau selalu gelisah dan hatimu selalu keruh. Syaithan akan mendatangi orang yang bekerja dan mengatakan kepadanya: “Jika kau meninggalkan pekerjaanmu dan khusyuk beribadah, tentu kau akan mendapatkan cahaya dan kebeningan hati. Itulah yang dialami si fulan dan si fulan.” Sementara, Allah tidak menetapkannya sebagai ‘ābid yang melulu beribadah. Ia tak mampu melakukannya. Kebaikannya hanya ada dalam kerja. Jika ia mengikuti bisikan syaithan dan meninggalkan pekerjaannya, imannya akan goyah dan keyakinannya akan runtuh. Akhirnya, ia meminta-minta kepada manusia dan merisaukan urusan rezeki sehingga terputuslah hubungannya dengan Allah. Itulah yang diinginkan musuhmu, syaithan. Ia mendatangimu layaknya seorang penasihat sehingga kau mengamini ajakannya. Seandainya ia datang dalam rupa yang lain, tentu kau akan menolaknya. Sama halnya, syaithan mendatangi Ādam dan Ḥawwā’ bak seorang penasihat. Allah menuturkan:
وَ قَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخَالِدِيْنَ. وَ قَاسَمَهُمَا إِنِّيْ لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ
“Syaithan berkata: “Tuhan tidak melarang kelian mendekati pohon ini melainkan agar kalian tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (di surga).” (Syaithan) bersumpah kepadanya: “Aku termasuk yang memberikan nasihat kepada kalian berdua.” (al-A‘rāf [7]: 20-21).
Pada orang yang melulu beribadah, syaithan membisikkan hasutan yang berbeda: “Sampai kapan kau enggan bekerja? Jika kau tidak bekerja, kau akan mengharapkan milik orang lain dan hatimu diliputi ketamakan. Tanpa kerja, kau tidak akan bisa membantu dan mendahulukan kepentingan orang lain, serta tidak akan mampu menunaikan kewajibanmu. Keluarlah dari keadaanmu yang selalu menunggu pemberian makhluk. Jika kau bekerja, orang lainlah yang akan menunggu pemberianmu.” Begitulah syaithan membisikkan godaannya.
Mungkin hamba yang digoda syaithan itu selalu berada dalam kelapangan ketika ia tidak meminta kepada makhluk. Ia tetap berada dalam ahwal itu sampai tergoda untuk kembali mencari dunia sehingga ia mengalami kekeruhan dan diliputi kegelapan. Sementara, orang lain yang senantiasa menggeluti dunia kerja keadaannya lebih baik dari dirinya, karena tidak pernah berpaling dari jalan yang ditempuhnya atau menyimpang dari jalan yang ditempuhnya atau menyimpang dari arah tujuannya. Pahamilah hal ini dan berpegang teguhlah kepada Allah s.w.t. “Siapa yang berpegang teguh kepada Allah, berarti ia telah mendapat petunjuk ke jalan yang lurus.”
Tujuan syaithan adalah agar manusia tidak rida atas keadaan yang Allah tetapkan untuknya. Ia berusaha mengeluarkan mereka dari pilihan Allah menuju pilihan mereka sendiri.
KETAHUILAH, KETIKA ALLAH MEMASUKKANMU KE DALAM SUATU KEADAAN, DIA PASTI AKAN SELALU MEMBANTUMU. NAMUN, JIKA KAU MASUK KE DALAMNYA DENGAN KEMAUAN SENDIRI, DIA AKAN MEMBIARKANMU. Allah berfirman:
وَ قُلْ رَّبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَ أَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَ اجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا
“Katakan: “Wahai Tuhan, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (al-Isrā’ [17]: 80).
Cara masuk yang benar adalah yang sesuai dengan keinginan-Nya, bukan dengan keinginanmu. Begitu pula cara keluar yang benar. Tuhan ingin agar kau tetap berada dalam keadaan yang Dia tetapkan untukmu sampai Dia sendiri mengeluarkanmu darinya.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa kau tidak perlu berusaha dan bekerja. Pengertian yang benar adalah bahwa usaha dan pekerjaan tidak boleh dijadikan sandaranmu. Atau bahwa biarkanlah pekerjaan yang meninggalkanmu, bukan dirimu yang berusaha beralih ke keadaan tanpa pekerjaan.
Seseorang mengatakan: “Aku meninggalkan pekerjaan ini dan itu. Namun, aku kembali lagi mengerjakan ini dan itu. Kemudian, ketika aku ditinggalkan oleh pekerjaan, aku tak lagi kembali kepadanya.”
Suatu kali aku menemui Syekh Abul-‘Abbās al-Mursī, sementara aku punya keinginan untuk meninggalkan asbāb (usaha), dan mengabdikan seluruh waktuku untuk beribadah, tidak disibukkan dengan ilmu lahir. Aku mengatakan kepadanya: “Hanya itulah cara untuk sampai kepada Allah.”
Namun, tanpa merespons ucapanku ia bercerita: “Aku punya seorang kawan di kota Qus. Namanya Ibn Nasyi. Ia seorang Syaikh yang juga berprofesi sebagai wakil hakim. Ia merasa telah mendapatkan ilmu hakikat melalui diriku sehingga ia berkata: “Syaikh, bolehkah aku meninggalkan pekerjaanku agar bisa terus menyertaimu?” Kukatakan kepadanya: “Bukan begitu caranya. Tetaplah dalam posisi yang Allah berikan kepadamu. Bagian untukmu yang Allah berikan lewat diriku pasti akan sampai kepadamu.”
Kemudian Syaikh menatapku seraya berkata: “Itulah ahwal kaum shiddīqīn. Mereka keluar dari sesuatu ketika Allah s.w.t. sendiri yang mengeluarkan mereka.” Mendengar kisah itu, aku (Ibn ‘Athā’illāh) segera beranjak dari hadapannya. Allah telah membersihkan lintasan pikiran itu dari hatiku seperti ketika aku menanggalkan sehelai pakaian. Dan aku pun rela dengan kedudukan yang Allah berikan kepadaku. Kutemukan kelapangan dengan berserah diri kepada Allah s.w.t.
Keadaan orang seperti itu digambarkan oleh Rasūlullāh s.a.w.: “Mereka adalah satu kaum; orang-orang yang duduk bersama mereka tidak akan merasa kecewa.”
Ketiga, meminta rezeki dengan baik adalah memintanya kepada Allah s.w.t. dan jangan jadikan apa yang kau inginkan sebagai tujuan doamu. Permintaanmu itu sesungguhnya hanyalah sarana untuk bermunajat kepada-Nya. Karena itu, Syaikh Abul-Ḥasan r.h. berkata: “KETIKA BERDOA, JANGAN PUSATKAN PERHATIANMU PADA TERPENUHINYA HAJATMU SEHINGGA KAU TERHIJAB DARI ALLAH. TETAPI ARAHKANLAH PERHATIANMU HANYA PADA MUNAJATMU KEPADA-NYA.”
Diceritakan bahwa Mūsā a.s. berkeliling di tengah Bani Isrā’īl seraya berkata: “Siapa yang bisa membantuku membawakan risalah Tuhan?” Ia bertingkah semacam itu agar bisa lama-lama bermunajat kepada-Nya.
Keempat, mencari rezeki dengan baik adalah yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa jatahmu telah ditetapkan dan akan mendatangimu, bukan permintaan dan usahamu yang mengantarkanmu kepadanya. Dengan demikian, ketika meminta dan berusaha kau benar-benar larut dalam lautan ketakberdayaan dan kelemahan.
Atau, mencari rezeki dengan baik adalah yang dilakukan untuk menunjukkan pengabdianmu. Diceritakan bahwa Samnun r.h. berkata:
Dalam diriku, tak ada tempat bagi selain-Mu
Maka, ujilah aku dengan apa pun yang Kau mau.
Maka ia diuji dengan penyakit sembelit, tak bisa kencing. Pada awalnya, ia tahan dan bersabar merasakan derita penyakit itu, namun sakitnya bertambah parah. Hari kedua, ia berusaha tetap bersabar, namun sakitnya semakin hebat. Begitu pun pada hari ketiga dan keempat. Semakin hari, sakitnya semakin berat. Di pagi hari keempat, tiba-tiba seorang muridnya datang dan berkata: “Tuan, semalam aku mendengar suaramu di sungai Tigris. Kau sedang meminta tolong kepada Allah dan memohon agar Dia mengangkat penyakitmu.” Lalu datang orang kedua, ketiga, dan keempat seraya mengungkapkan hal yang sama. Padahal, ia sama sekali tidak pernah berdoa seperti itu. Lalu ia sadar bahwa itu semua merupakan isyarat dari Allah agar ia berdoa. Maka, ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya: “Doakanlah pamanmu yang pembohong ini!”
Kelima, meminta rezeki dengan baik adalah meminta kepada Allah sesuatu yang bisa mencukupimu, bukan yang melenakanmu. Jangan menghendaki sesuatu secara berkelebihan. Nabi s.a.w. mengajarkan doa yang baik: “Ya Allah, jadikanlah makanan keluarga Muḥammad sekadar bisa mencukupi.”
Tercelalah orang yang meminta lebih dari cukup. Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda: “Tidaklah tercela selama meminta sesuatu yang bisa mencukupi.”
Dalil tentang hal ini, perhatikanlah ucapan Rasūlullāh s.a.w. kepada Tsa‘labah ibn Hatib yang berkata: “Wahai Rasūlullāh, berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku harta.”
Mendengar permintaan itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Wahai Tsa‘labah, sedikit yang mampu kau syukuri lebih baik daripada banyak yang tak mampu kau syukuri.”
Tsa‘labah kembali mengulang permintaannya, namun kembali ia mendapat jawaban yang sama: “Sedikit yang mampu kau syukuri lebih baik daripada banyak yang tak mampu kau syukuri.”
Pada kali ketiga, Rasūlullāh memenuhi permintaannya dan kemudian mendoakannya sesuai pilihan Tsa‘labah. Akibat dari memilih sendiri dan tidak mematuhi Rasūlullāh s.a.w., harta Tsa‘labah bertambah amat pesat sehingga ia lalai menunaikan shalat yang biasanya ia lakukan bersama Rasūlullāh s.a.w. Ia hanya mengikuti shalat Jumat. Lalu, kambing dan hewan ternak lainnya berkembang semakin banyak sehingga ia pun tak bisa mengikuti shalat Jumat. Dan, ketika utusan Rasūlullāh s.a.w. datang untuk mengambil zakatnya, Tsa‘labah berkata: “Zakat itu tak ubahnya pajak atau semacamnya.” Ia enggan membayar zakat. Cerita ini sangat terkenal. Lalu, Allah s.w.t. menurunkan ayat tentangnya: “Di antara mereka ada yang berjanji kepada Allah:
وَ مِنْهُمْ مَّنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَلَمَّا آتَاهُمْ مِّنْ فَضْلِهِ بَخِلُوْا بِهِ وَ تَوَلَّوْا وَّ هُمْ مُّعْرِضُوْنَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِيْ قُلُوْبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوْهُ وَ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ
“Jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, tentu kami akan bersedekah dan termasuk orang yang saleh.” Namun, setelah Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada mereka, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Mereka orang yang senantiasa membelakangi. Sebagai akibatnya, Allah memunculkan kemunafikan pada hati mereka sampai mereka bertemu dengan Allah karena mereka telah mengingkari janji mereka kepada Allah dan karena mereka selalu berdusta.” (at-Taubah [9]: 75-77).