“Bila kita perlu bertawakkal, berqanā‘ah, dan bersyukur, lantas bagaimanakah cara yang baik untuk mencari atau menjemput rezeki yang baik? Apakah berusaha segiat-giatnya bertentangan dengan tawakkal? Apakah berdiam diri adalah pilihan yang baik? Bila perlu berusaha, bagaimanakah sikap yang baik dalam bekerja dan berpencaharian? Untuk mengerti jawabannya, mari simak petuah Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī dalam kitabnya yang lain: at-Tanwīr fī Isqāth al-Tadbīr.”
6
Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī (648-709 H).
Ketahuilah, sikap tawakkal kepada Allah dalam urusan rezeki tidaklah bertentangan dengan usaha manusia. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Maka bertawakkallah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik.”
Rasūlullāh s.a.w. membolehkan kita berusaha mencari rezeki. Seandainya usaha atau kerja bertentangan dengan tawakkal, tentu Rasūlullāh s.a.w. akan melarangnya. Rasūlullāh tidak mengatakan: “Jangan mencari rezeki,” namun, “Carilah rezeki dengan cara yang baik.”
Seolah-olah ia mengatakan: “Apabila kau ingin mencari rezeki, carilah dengan cara yang baik,” yakni dengan tetap menjaga etika dan tetap berserah diri kepada-Nya.
Nabi s.a.w. membolehkan kita mencari rezeki, karena itu merupakan bagian dari usaha. Nabi s.a.w. juga bersabda: “Makanan yang paling halal dimakan seseorang adalah yang merupakan hasil usahanya sendiri.” Dan ada banyak hadis lain yang menunjukkan kebolehan manusia untuk berusaha, bahkan yang mendorong dan menganjurkan mereka untuk mencari rezeki.
Ada beberapa manfaat dalam usaha yang dilakukan manusia.
Pertama, Allah s.w.t. mengetahui bahwa hati manusia itu lemah, tidak mampu melihat pembagian-Nya, dan kurang yakin kepada-Nya. Karena itu, Dia membolehkannya berusaha agar kuat hatinya dan kukuh jiwanya. Jadi, usaha merupakan karunia Allah yang diberikan kepada manusia.
Kedua, usaha yang dilakukan seseorang dapat menjaga kehormatannya sehingga ia tidak merendahkan diri dengan meminta-minta sekaligus dapat memelihara imannya sehingga ia tidak mengemis kepada makhluk. Namun, ketahuilah bahwa tidak ada jasa manusia pada setiap yang Allah berikan kepadamu melalui usahamu. Sebab, ketika seseorang membeli darimu atau mengupahimu untuk melakukan sesuatu, sesungguhnya ia tidak sedang memberi. Ia memberimu agar ia sendiri mendapatkan keuntungan.
Ketiga, kesibukan kerja dapat menghindarkan seseorang dari maksiat dan dosa. Tidakkah kaulihat, ketika tidak bekerja di hari raya atau di hari libur, orang yang lalai melakukan berbagai perbuatan dosa dan tenggelam dalam maksiat kepada Allah?! Jadi, kesibukan kerja merupakan rahmat Allah s.w.t. untuk manusia.
Keempat, dalam kerja dan usaha terdapat rahmat dan karunia dari Allah bagi para ahli ibadah dan hamba yang sibuk menaati-Nya. Tanpa usaha para pekerja, para ahli khalwat tidak akan bisa berkhalwat dengan baik, dan para pejuang tidak bisa berjuang untuk Allah. Karena itu, Allah s.w.t. menjadikan usaha mereka sebagai bantuan bagi para ahli taat.
Kelima, Allah s.w.t. ingin agar orang beriman bersatu sesuai dengan firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara.” (al-Ḥujurāt [49]: 10) Usaha dan kerja merupakan sarana untuk saling mengenal dan untuk memunculkan cinta di antara mereka. Tidak ada yang menentang kerja kecuali orang yang bodoh atau hamba yang lalai dari Allah.
Ketika mengajak manusia ke jalan Allah, Rasūlullāh s.a.w. tak pernah sekalipun memerintahkan mereka untuk berhenti bekerja. Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka mengerjakan sesuatu yang diridai Allah s.w.t. seraya mengajak mereka menuju jalan hidayah. Al-Qur’ān dan Sunnah penuh dengan petunjuk yang menghalalkan usaha. Sungguh tepat ungkapan syair berikut:
Tidakkah kau tahu, Allah berkata kepada Maryam
Guncangkan pohon itu, kurma segar pasti kan gugur
Kalau mau, Dia akan langsung memberikan buah itu
Maryam tak perlu bersusah payah mengguncangnya
Namun, segala sesuatu membutuhkan sebab dan upaya.
Syair di atas mengacu kepada firman Allah:
وَ هُزِّيْ إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Gerakkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Maryam [19]: 25)
Pada Perang Uhud, Rasūlullāh s.a.w. mengenakan dua tameng dan memakan buah sejenis mentimun dengan kurma. Rasūl bersabda: “Ini untuk menangkal bahaya. Dan, tampaknya sudah cukup.”
Nabi s.a.w. juga bersabda: “Burung terbang di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” Hadits ini menegaskan pentingnya berusaha mencari rezeki.
Kepergiannya di pagi hari dan kepulangannya di waktu sore merupakan sebab dan usaha, sama seperti keluarnya manusia ke tempat kerja, kemudian pulang di sore ini. Kesimpulannya, dari sisi lahir kau harus berusaha dan bekerja, namun dari sisi batin, kau tidak boleh terfokus dan bergantung pada kerjamu. Bekerja dan berusahalah sesuai dengan ketetapan-Nya. Namun, jangan bersandar kepadanya karena kau mengetahui keesaan-Nya.
Mungkin kau bertanya: “Bagaimana cara mencari [atau meminta] rezeki dengan baik seperti sabda Nabi s.a.w.: “Maka, bertaqwalah kepada Allah dan carilah [pintalah] rezeki dengan baik.”
Ketahuilah, ada beberapa perwujudan dari sikap mencari rezeki dengan baik. Berikut ini kami paparkan sebagiannya sebagaimana yang Allah sampaikan melalui karunia-Nya.
Pertama, ketahuilah – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu – bahwa ada dua jenis manusia yang mencari rezeki. Jenis yang pertama adalah orang yang mencari rezeki dan tenggelam di dalamnya serta mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendapatkannya. Cara semacam ini akan memalingkannya dari Allah, karena apabila ia hanya memerhatikan rezeki, tentu tak ada hal lain yang menjadi perhatiannya. Syaikh Abū Madyan r.h. berkata: “Hati hanya memiliki satu arah perhatian. Jika kau mengarahkannya kepada sesuatu, ia pasti berpaling dari selainnya. Allah s.w.t. berfirman:
مَّا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهِ
“Allah tidak menjadikan untuk seseorang dua hati dalam rongga dadanya.” (al-Aḥzāb [33]: 4) Artinya, Dia tidak menjadikannya mampu mengarah pada dua arah yang berbeda. Ketika seseorang telah memusatkan perhatiannya pada sesuatu, tak ada hal lain dalam pikirannya selain sesuatu itu. Jika ia mengarahkan perhatiannya pada dua hal yang berbeda, niscaya salah satunya akan rusak dan cacat. Hanya Allah yang bisa memerhatikan segala hal dan ke semua arah pada waktu yang bersamaan tanpa menyebabkan cacat atau kekurangan pada yang diperhatikan-Nya. Allah s.w.t. berfirman: “Dia adalah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.” Artinya, Dia memerhatikan seluruh penduduk langit dan penuduk bumi. Perhatian-Nya kepada penduduk langit tidak melalaikan-Nya dari penduduk bumi. Sebaliknya, perhatian-Nya kepada penduduk bumi tidak melalaikan-Nya dari penduduk langit.
Karena itulah, Allah s.w.t. mengulangi penyebutan kata Tuhan pada ayat tersebut. Maknanya menjadi lain seandainya kata “Tuhan” tidak disebutkan. Penyebutan ulang itu dimaksudkan untuk menegaskan sifat Allah s.w.t. yang maha meliputi dan mengawasi segala sesuatu.
Jadi, kau bisa memahami bahwa MENCARI REZEKI DENGAN PENUH PERHATIAN SAMPAI-SAMPAI MELUPAKAN ALLAH BUKANLAH CARA YANG BAIK. SEBALIKNYA, CARA MENCARI REZEKI YANG BAIK ADALAH YANG TIDAK MELALAIKANMU DARI ALLAH.