Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Moh. Ilyas Ruhiat (1/4)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

Rais Am Syuriyah PBNU ke-6

KH. MOH. ILYAS RUHIAT

AJENGAN Ilyas, begitulah KH. Moh. Ilyas Ruhiat biasa dipanggil. Dia adalah Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang berdarah Sunda atau berasal dari Jawa Barat, dan Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi meskipun tidak tamat. Penampilannya yang teduh dan murah senyum menjadikannya diterima semua kalangan. Walau menjadi pengasuh pesantren besar, Ajengan Ilyas adalah juga seorang guru negeri atau PNS-sesuatu yang agak ‘asing’ di dunia pesantren.

TENTANG AJENGAN RUHIAT

Cipakat adalah nama salah satu desa di wilayah Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Desa ini pernah dipimpin oleh H. Abdul Ghofur tahun 1917. Abdul Ghofur dikaruniai 11 anak darı 3 istri. Dia ingin memiliki anak yang menguasai agama secara mendalam dan ingin mendirikan pesantren. Di antara anaknya yang tampaknya dapat memenuhi keinginannya adalah Ruhiat, salah satu putra dari istrinya yang bernama Umayah. Ruhiat lahir tanggal 11 November 1911.

Abdul Ghofur mengirim Ruhiat ke Pesantren Cilenga di Singaparna yang saat itu diasuh oleh Kiai Sobandi. Kiai Sobandi ini pernah belajar di Mekkah dan menjadi murid Syaikh Mahfuzh al-Turmusi. Di pesantren yang paling terkenal di Singaparna ini Ruhiat belajar sejak tahun 1922 hingga 1926. Dua tahun berikutnya Ruhiat belajar di sejumlah pesantren di Jawa Barat, yaitu Pesantren Sukaraja Garut di bawah asuhan Kiai Emed, Pesantren Kubang Cigalontang Tasikmalaya di bawah asuhan Kiai Abbas Nawawi, dan Pesantren Cintawana di bawah asuhan Kiai Toha. Tokoh yang disebut terakhir ini juga merupakan murid Syaikh Mahfuzh al-Turmusi.

Ruhiat menikah dengan Aisyah, putri pasangan H. Muhammad Sayuti (lurah Desa Cikunten, Singaparna) dan Sarimaya. Setelah menikah, pasangan Ruhiat dan Aisyah sempat kembali ke Pesantren Cilenga untuk kembali memperdalam ilmu agama. Selanjutnya, Ruhiat diberi tanah 1 hektar oleh ayahnya, Abdul Ghofur, di Cipasung yang menurutnya pantas untuk didirikan pesantren. Baru tahun 1931 Ruhiat dan istrinya menempati rumah baru di Cipasung.

Karena akan mendirikan pesantren, Ruhiat dibekali beberapa santri oleh Kiai Sobandi. Ruhiat juga melakukan pendekatan dengan warga Cipasung, bahkan menikahkan anaknya, Mumun Maemunah, dengan Saifulmillah yang merupakan anak dari pasangan H. Uzer dan Hj. Niah. Uzer adalah salah satu tokoh masyarakat setempat. Maka, ketika Ruhiat berniat membangun masjid, ia memiliki dukungan yang kuat dan masyarakat setempat langsung mendukungnya. Ruhiat juga menikahi Badriyah binti Kokasih/Abang Engko. Abang Engko adalah seorang petani sukses di Cipancur, Sariwangi.

Setelah merasa diterima masyarakat, Ruhiat mendirikan pesantren di daerah itu dengan nama Pesantren Cipasung pada tahun 1932. Orang-orang sekitar mulai menyebutnya dengan Ajengan Ruhiat. Para pemuda yang ingin memperdalam agama segera menuju Pesantren Cipasung. Yayasan Pesantren Cipasung dibentuk tahun 1967 yang dalam struktur kepengurusannya melibatkan warga sekitar, misalnya sebagai pelindung adalah Kepala Desa Cipakat. Namun sejak tahun 1985, Ajengan Ilyas, anak Ajengan Ruhiat, tidak lagi meneruskan struktur kepengurusan seperti itu. Yayasan Pesantren Cipasung hanya dipimpin oleh keluarga besar Ajengan Ruhiat karena jumlah mereka yang semakin banyak.

Ajengan Ruhiat juga terlibat dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika dilaksanakan Muktamar NU ke-5 di Pekalongan tahun 1930, Ajengan Ruhiat hadır bersama Ajengan O. Hulaimi. Saat itulah Ajengan Ruhiat berkenalan dengan KH. A. Wahid Hasyim, putra Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asya’ri. Dari perkenalannya ini, keduanya menjadi sahabat dekat sehingga Kiai Wahid kerap kali mampir ke Pesantren Cipasung. Pada tahun 1960-an Ajengan Ruhiat menjadi Rais Syuriyah PCNU Cipasung dengan wakil rais anaknya sendiri, Ajengan Ilyas. Di tingkat pusat, Ajengan Ruhiat pernah menjadi A’wan (anggota pleno) Syuriyah PBNU periode 1954-1956 dan 1956-1959.

Pada masa menjelang dan setelah kemerdekaan, Ajengan Ruhiat sempat merasakan udara pengap penjara. Tak kurang 4 kali pendiri Pesantren Cipasung ini masuk perjara, yaitu 17 November 1941 hingga 10 Januari 1942, selama 3 hari bulan Februari 1942, 2 bulan pada tahun 1944, dan selama 9 bulan pada tahun 1948-1949. Ini adalah di antara bukti bahwa umat Islam, khususnya para kiai dengan santri-santrinya, memiliki peran besar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan penjajah.

Ajengan Ruhiat termasuk orang yang telah berfikir maju untuk jamannya. Ketika masih tabu pendidikan umum di lingkungan pesantren, Ajengan Ilyas mempelopori berdirinya beberapa lembaga pendidikan formal di lingkungan Pesantren Cipasung. Tahun 1949 didirikan Sekolah Pendidikan Islam (SPI) yang 4 tahun selanjutnya berubah menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Islam. Tahun 1954 berdiri Sekolah Rendah Islam, lalu berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar, dan kemudian menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI). Tahun 1969 didirikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Islam.

Untuk tingkat perguruan tinggi, tahun 1965 didirikan Fakultas Tarbiyah Pendidikan Tinggi Islam Cipasung yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Cipasung (LAIC). Tahun 1969 berdiri Sekolah Persiapan (SP) IAIN Sunan Gunung Djati cabang Cipasung, kemudian tahun 1978 berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri. Bahkan, Fakultas Tarbiyah yang didırıkan tahun 1965 ini mendahului IAIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang baru berdırı tahun 1968.

Dari kedua istrinya, Ajengan Ilyas dikaruniai 27 anak yang beberapa di antaranya meninggal ketika masih kecil. Istri pertama, Aisyah, memberinya 14 anak, yaitu Endang Hasan, Moh. Ilyas, Mumun Maemunah, Abdul Wahıd (alm), Dudung Abdul Halim, Zubaedah (alm), Siti Sa’adah (alm), Jauharatul Mardliyah, Abun Bunyamin, Euis Hasanah, Ido Hamidah, Cucu Habibah, Acep Adang, dan Agus Saeful Bahri.

Kemudian istri kedua, Badriyah, memberinya 13 anak, yaitu Hapsoh (alm), Hindasah (alm), Zaenab Muflihah, Strojul Munir (alm), Yusuf Amin (alm), Holisoh (alm), Fatimah (alm), Koko Komaruddin, Ubaidillah, Atiyah, Laila Suroya, Mahmudah (alm), dan Neneng Madinah.

Ajengan Ilyas yang dibicarakan dalam buku ini adalah anak ke-2 Ajengan Ruhiat dari istri pertamanya, Aisyah. Ajengan Ruhiat meninggal tahun 1977. Lalu Pesantren Cipasung Tasikmalaya diasuh oleh Ajengan Ilyas atau KH. Moh. Ilyas Ruhiat.

ASAL-USUL KELUARGA

Ajengan Ilyas bernama lengkap Mohammad Ilyas Ruhiat. Dia adalah putra ke-2 pasangan KH. Ruhiat dan Hj. Aisyah, pendiri Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ajengan Ilyas lahir 8 tahun setelah berdirinya NU (didırıkan tanggal 31 Januarı 1926), yaitu 31 Januari 1934 yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1353.

Nama ‘Mohammad Ilyas’ diberikan kepadanya sebagai bentuk tafa’ul kepada tokoh NU yang pernah menjadi Menteri Agama pada masa Orde Lama, KH. Mohammad Ilyas (w. 1970). Adapun nama ‘Ruhiat’ yang ada di bagian akhir namanya adalah kependekan dari nama sang ayah, Ajengan Ruhiat. Tanggal lahir Ajengan Ilyas ditulis oleh sang ayah di salah satu halaman kitab kuning koleksinya. Maklum saat itu belum ada akte sehingga peristiwa penting, seperti tanggal kelahiran sang anak, cukup ditulis di situ.

Ketika masih kecil, Ajengan Ilyas dipanggil dengan sebutan Endang Ilyas oleh masyarakat sekitar. Kata ‘endang’ adalah sebutan untuk anak kiai di tanah Sunda. Panggilan ‘endang ini barangkali tidak jauh berbeda dengan ‘gus’ bagi masyarakat Jawa atau ‘lora’ bagi masyarakat Madura.

Ajengan Ilyas diasuh oleh ibunya hingga berumur 2 tahun. Berikutnya Ajengan Ilyas diasuh oleh Mak Imon yang rumahnya tidak jauh dari Pesantren Cipasung. Meskipun dekat dengan rumahnya, Ajengan Ilyas jarang pulang, terus bersama Mak Imon. Menginjak usia 5 tahun, Ajengan Ilyas diajak Mak Imon ke rumah Abang Engko dı Cipancur, Sariwangi, tidak jauh dari Singaparna. Abang Engko adalah ayah Badriyah, istri kedua Ajengan Ruhiat. Abang Engko

(bersambung)