Bersyukur Agar Nikmat Terus Terulur – Imam al-Ghazali – Agar Rezeki yang Mencarimu (1/4)

Rangkaian Pos: Bersyukur Agar Nikmat Terus Terulur - Imam al-Ghazali - Agar Rezeki yang Mencarimu

Bersyukur adalah keharusan. Tapi bersyukur jugalah pintu menuju dirasakannya nikmat-nikmat yang lain. Siapa bersyukur, ia bertambah makmur – karena syukur membuat nikmat terus terulur. Inilah inti dari bab terakhir kitab Minhāj al-‘Ābidīn ilā al-Jannah karya Ḥujjatul Islām Imām al-Ghazālī, pengarang Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang terkenal itu. Mari sambangi paparannya yang penuh ilmu dan nasihat.

4

Bersyukur Agar Nikmat Terus Terulur

Imām al-Ghazālī (450-505 H)

 

Engkau perlu bersyukur demi dua hal: pertama, agar nikmat yang besar berlanjut, dan kedua, agar tambahan nikmat terwujud. Tentang yang pertama, itu karena syukur adalah pengikat nikmat. Dengan syukurlah nikmat akan langgeng dan abadi. Dan dengan meninggalkan syukurlah nikmat akan hilang dan berlalu. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (ar-Ra‘d [13]: 11).

فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذَاقَهَا اللهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَ الْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

“…. tapi mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” (an-Naḥl [16]: 112).

مَا يَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَ آمَنْتُمْ

Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman.” (an-Nisā’ [4]: 147).

Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya ada hal-hal yang ditakuti nikmat-nikmat, seperti ditakutinya binatang buas, maka ikatlah nikmat-nikmat itu dengan syukur.

Tentang yang kedua, itu karena bila syukur menjadi pengikat nikmat, tentu buahnya adalah nikmat yang bertambah. Allah berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ

Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Ibrāhīm [14]: 7).

وَ الَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka.” (Muḥammad [47]: 17).

وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari rida) Kami, Kami akan tunjukkan mereka jalan-jalan Kami.” (al-‘Ankabūt [29]: 69). Sang Tuan ketika melihat si hamba telah menjalankan kewajibannya atas nikmat, Dia akan memberinya nikmat yang lain lagi dan memandangnya patut mendapat nikmat itu. Jika tidak, Dia akan memutus nikmat itu darinya.

Nikmat itu dua macam: nikmat dunia dan nikmat agama. Nikmat dunia pun dua macam: nikmat kesejahteraan dan nikmat keterlindungan. Nikmat kesejahteraan adalah bila Allah memberimu banyak kebaikan dan keberuntungan. Kesejahteraan ini pun dua macam: keadaan fisik yang normal, sehat walafiat; dan kepuasan syahwat berupa makan, minum, berbusana, kawin, dan sebagainya. Sedangkan nikmat keterlindungan adalah bila Allah menjauhkanmu dari kerusakan dan marabahaya. Nikmat ini pun dua macam: yang pertama dalam dirimu, ketika Allah menghindarkanmu dari cacat dan semua penyakit dan aib diri; dan yang kedua keterhalangan dari kesulitan berupa berbagai kendala yang mungkin menjumpaimu, atau sengaja dihadirkan padamu oleh manusia, jin, binatang buas, serangga atau sejenisnya.

Sedangkan nikmat agama juga dua macam: nikmat petunjuk (taufik) dan nikmat keterpiliharaan dari kesalahan (‘ishmah). Nikmat taufik adalah bila Allah memberimu petunjuk pertama-tama pada Islam, kemudian pada sunnah, kemudian pada ketaatan. Sementara nikmat “ketercegahan” adalah bila Allah mencegahmu pertama-tama dari kufur dan syirik, kemudian dari bid‘ah dan kesesatan, kemudian dari segala kemaksiatan.

Tidaklah ada yang bisa menghitung nikmat-nikmat itu kecuali Tuhan Yang Maha Tahu yang memberimu nikmat. Allah berfirman:

وَ إِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لَا تُحْصُوْهَا

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya.” (Ibrāhīm [14]: 34 dan an-Naḥl [16]: 18). Lestarinya segala nikmat ini setelah Dia berbuat baik kepadamu dengannya, dan bertambahnya nikmat itu dari segala pintunya, tidaklah bisa kamu hitung dan jangkau.

Semua nikmat tergantung pada satu hal, yaitu rasa syukur dan pujian kepada Allah. Dan pembiasaan yang sangat berguna untuk mewujudkan sikap syukur tanpa lalai barang sekejap pun, merupakan permata yang sungguh berharga. Allahlah pemilik petunjuk dengan segala karunia dan rahmat-Nya.

Apa itu Syukur?

Para ulama membedakan antara al-ḥamd (pujian) dan asy-syukr (syukur). Al-ḥamd itu semacam tasbih dan tahlil, sehingga merupakan tindakan lahir. Sedangkan asy-syukr itu sebentuk sabar dan pemasrahan (tafwīdh), sehingga merupakan tindakan batin. Asy-syukr lawannya adalah al-kufr (kufur), sedangkan al-ḥamd lawannya adalah al-lawm (celaan). Al-ḥamd itu lebih umum dan luas, sedangkan asy-syukr lebih spesifik dan sempit. Allah berfirman:

وَ قَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Dan sedikit sekali hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ [34]: 13).

Jelaslah bahwa makna keduanya bisa dibedakan. Al-ḥamd adalah pujian atas seseorang atas perbuatan baiknya – inilah yang dimaksud guru kita. Sedangkan tentang asy-syukr, para ulama memberi banyak pengertian. Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan: syukur adalah ketaatan dengan segenap anggota badan kepada Sang Pengatur segala ciptaan secara diam-diam ataupun terang-terangan. Sebagian syekh juga punya pandangan serupa. Ada yang mengatakan: syukur adalah mewujudkan ketaatan secara lahir dan batin; yang juga berarti menjauhi kemaksiatan secara lahir dan batin. Yang lain mengatakan: syukur itu menjaga diri dari melakukan maksiat kepada Allah, yakni menjaga hati, lisan dan tubuh sehingga tidak bermaksiat kepada Allah dengan salah satu dari ketiganya dalam bentuk apa pun. Perbedaan antara pendapat ini dan pendapat sebelumnya adalah: menjaga diri di sini memperkuat dan melengkapi pengertian menjauhi kemaksiatan; sementara menjauhi kemaksiatan tidak lain berarti tidak melakukan maksiat ketika ada dorongan untuk itu, dan ini tidak otomatis mengandung pengertian bahwa seorang hamba sibuk menjauhi kemaksiatan, dan mencegah diri dari kekufuran.

Guru kita berpendapat: sesungguhnya syukur adalah mengagungkan Sang Pemberi nikmat atas nikmat-Nya yang telah diterima, sampai di titik di mana hal ini mencegahnya dari menjauhi dan mengingkari-Nya. Tentang mengagungkan Sang Pemberi kebaikan atas kebaikan-Nya yang telah diterima – tentu benar kalau syukur itu juga kebaikan dari Allah, telah banyak saya uraikan di kitab Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn dan lainnya. Intinya, syukur dari seorang hamba adalah pengagungan yang mencegahnya dari menjauhi Tuhan yang berbuat baik kepadanya. Pengagungan ini dilakukan dengan mengingat selalu kebaikan-Nya. Baiklah keadaan orang yang bersyukur kala bersyukur, dan buruklah keadaan orang yang kufur kala ia kufur.

Sekurang-kurangnya yang diwajibkan Sang Pemberi nikmat dengan nikmat-Nya adalah agar nikmat ini tidak membuat hamba bermaksiat. Sungguh buruk keadaan orang yang menjadikan nikmat Tuhan justru sebagai senjata untuk membangkang kepada-Nya! Karenanya, seorang hamba wajib bersyukur dengan sebenar-benarnya, mengagungkan Allah s.w.t. hingga memagarinya dari pembangkangan kepada Allah dengan terus mengingat nikmat-Nya. Jika seorang hamba melakukan itu, ia telah melakukan sesuatu yang pokok dalam syukur. Kemudian ia perlu menindaklanjutinya dengan bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan dalam menegakkan penghambaan, karena hal ini termasuk hak-hak nikmat. Seorang hamba haruslah menjaga diri untuk tidak maksiat. Dan Allahlah pemberi petunjuk.

Nikmat Apa yang Perlu Disyukuri?

Nikmat yang perlu disyukuri adalah nikmat agama maupun nikmat dunia – berapa pun kadarnya. Sedangkan mengenai berbagai kesusahan dan musibah di dunia, yang menyangkut nyawa, keluarga, atau harta, para ulama berbeda pendapat tentang apakah hal ini juga harus disyukuri oleh seorang hamba. Ada yang mengatakan, hamba tidaklah harus bersyukur atas hal itu, namun ia wajib bersabar dalam hal itu. Syukur itu untuk nikmat, dan bukan selainnya. Yang lain berpendapat, tidak ada kesusahan yang tak disertai oleh nikmat-nikmat Allah. Karenanya, seorang hamba harus bersyukur atas nikmat-nikmat yang terkait dengan kesusahan itu – tak semata atas kesusahan itu ataupun nikmat-nikmat itu. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar r.a.: “Tidaklah aku diuji dengan suatu ujian kecuali Allah memberikan empat nikmat kepadaku, bisa jadi dalam hal agamaku, bisa jadi yang lebih besar dari itu, bisa jadi agar aku menjaga kerelaan, dan bisa jadi agar aku mengharap pahala karenanya.” Ada pula yang berkata: “Di antara nikmat-nikmat itu adalah bahwa kesusahan itu akan hilang, tidak permanen, dan bahwa itu berasal dari Allah ta‘ala bukan selain-Nya, dan kalaupun disebabkan oleh makhluk, sesungguhnya itu pemberian untukmu melalui perantaraannya, bukan benar-benar olehnya. Karena itu, seorang hamba patut bersyukur atas nikmat-nikmat yang menyertai kesulitan.”

Yang lain berpendapat – dan ini lebih tepat menurut guru kita: kesulitan dunia termasuk yang patut disyukuri oleh seorang hamba, karena kesulitan itu pada hakikatnya adalah nikmat juga. Alasannya, kesulitan itu membawakan hamba manfaat yang besar, pahala yang berlimpah, dan imbalan yang mulia, yang melenyapkan kesusahan akibat kesulitan itu. Nikmat apa yang lebih besar dari nikmat ini? Contohnya adalah seperti orang yang meminumkanmu obat pahit yang tak engkau sukai untuk menyembuhkan penyakit keras, mengoperasimu atau membekammu untuk menyembuhkan penyakit berat yang membahayakan, yang kemudian memulihkan dan membuat sehat badan. Maka, sakit yang engkau rasakan akibat minum obat terus-menerus, bedah operasi atau bekam, sejatinya adalah nikmat yang amat sangat. Kenyataannya memang begitu. Meskipun itu tak disukai, dibenci dan ditakuti, tapi engkau memuji orang yang menjalankan pengobatan itu padamu, bahkan engkau berbuat baik kepadanya lantaran mengubah keadaanmu. Seperti itu pulalah kesulitan hidup itu.

Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi s.a.w. memuji dan bersyukur kepada Allah atas kesulitan sebagaimana beliau bersyukur atas kesenangan, dengan mengatakan: “Al-ḥamdu lillāh ‘alā mā sā’a wa sarra (Segala puji bagi Allah atas hal yang menjengkelkan dan menggembirakan)” Tidakkah engkau tahu bahwa Allah berfirman:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ يَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“… karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (an-Nisā’ [4]: 19). Apa yang Allah sebut kebaikan, itu lebih banyak dari apa yang terjangkau oleh bayanganmu. Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa nikmat itu bukanlah kelezatan dan apa yang diri sukai sesuai karakternya. Nikmat itu sejatinya adalah apa yang menambah tinggi derajat. Karena itu, nikmat juga disebut sebagai pertambahan (ziyādah). Jika kesulitan menjadi sebab bertambah mulianya dan bertambah tingginya derajat seorang hamba, maka kesulitan itu pun sebenarnya adalah nikmat, meskipun engkau selalu menganggapnya kesulitan dan ujian berdasarkan lahiriahnya. Sadarilah hal ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *