Bersabar karena Miskin, Bersyukur karena Kaya: Lebih Baik yang Mana?- Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – Agar Rezeki yang Mencarimu (1/2)

Rangkaian Pos: Bersyukur karena Kaya: Lebih Baik yang Mana?- Ibnu Qayyim al-Jauziyyah - Agar Rezeki yang Mencarimu

“Saat menuai keberhasilan, kita dianjurkan untuk bersyukur. Saat mengalami kegagalan, kita dianjurkan untuk bersabar. Ini pola pikir banyak orang. Apakah memang harus demikian? Tidakkah kita juga perlu saat berhasil, dan bersyukur saat gagal? Bersabar saat kaya, dan bersyukur saat miskin? Untuk menemukan jawabannya, cobalah simak paparan Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam suatu bab di kitabnya, Risālat-ul-Mustarsyidīn.”

11

BERSABAR karena MISKIN, BERSYUKUR karena KAYA: LEBIH BAIK yang MANA?

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H).

 

Siapakah yang lebih baik, orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Pendapat mana yang benar dalam persoalan ini? Pertanyaan ini menimbulkan perdebatan panjang antara orang kaya dan orang miskin. Masing-masing menggunakan dalil al-Qur’ān, sunnah, atsar, dan hujah yang tak terbantah.

Orang yang memperhatikan dengan saksama tentu sadar bahwa kedua kelompok sama-sama kuat dan sama-sama berlandaskan dalil-dalil yang tak terpatahkan dan mengandung kebenaran yang sebetulnya tidaklah bertentangan, bahkan semestinya diikuti di mana saja dan kapan saja.

Mereka membahas persoalan ini panjang lebar. Masing-masing kelompok pun menulis buku tentangnya. Mulai dari para fuqahā’, kaum miskin, kaum kaya, para sufi, para ahli hadits sampai ahli tafsir; semuanya membicarakan masalah ini. Ini tak lain karena masalah ini bersangkut paut dengan semua manusia.

Mereka sama-sama menyebutkan pendapat Imām Aḥmad yang diriwayatkan oleh Abul-Ḥusain dalam kitab at-Tammām. Dalam riwayat yang lebih shaḥīḥ, Imām Aḥmad berpendapat bahwa orang miskin yang bersabar lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur. Sedangkan dalam riwayat lain, Imām Aḥmad berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar. Pendapat yang terakhir diusung oleh banyak ulama, termasuk Ibnu Qutaibah.

Sedangkan pendapat pertama diusung oleh Abū Isḥāq ibn Syaqīla dan al-Walīd as-Sa‘īd, berdasarkan firman Allah:

أُولئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوْا وَ يُلَقَّوْنَ فِيْهَا تَحِيَّةً وَ سَلَامًا

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) lantaran kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (al-Furqān [25]: 75). Muḥammad ibn ‘Alī ibn al-Ḥusain berkata: “Maksud dari “tempat yang tinggi” dalam ayat ini adalah di surga, sedangkan maksud dari “kesabaran mereka” adalah kesabaran dalam menghadapi kemiskinan di dunia.”

Juga berdasarkan hadits riwayat Anas ibn Mālik r.a. bahwa Nabi s.a.w. berdoa:

اللهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا، وَ أَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا، وَ احْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, dan matikan aku sebagai orang miskin, dan kumpulkan aku dalam golongan orang miskin pada hari kiamat.

‘Ā’isyah r.a. pun bertanya: “Kenapa begitu, wahai Rasūlullāh?”

Beliau menjawab: “Mereka masuk surga empat puluh musim gugur lebih dulu ketimbang orang kaya. Wahai ‘Ā’isyah, jangan engkau tolak orang miskin meskipun hanya dengan (memberikan) sebutir kurma. Wahai ‘Ā’isyah, cintailah orang-orang miskin dan dekatkanlah dirimu dengan mereka agar Allah mendekatkan Diri-Nya denganmu pada hari kiamat.

Hemat saya, kedua dalil ini tak dapat dijadikan dasar argumentasi. Kata “sabar” dalam ayat tadi mencakup kesabaran orang yang bersyukur dalam berbuat ketaatan dan kesabarannya untuk tidak bermaksiat, tak hanya mencakup kesabaran orang yang diuji dengan kemelaratan atau hal lain dalam menghadapi bermacam cobaan.

Andaikan maksud ayat tersebut hanyalah sabar dalam menghadapi kemelaratan, tentu syukur menjadi terabaikan. Padahal, al-Qur’ān tak hanya menunjukkan pahala bagi orang yang bersabar, namun pula pahala bagi orang yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur,” serta “Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.”

Bahkan, Allah memberitahukan bahwa rida-Nya terkandung dalam syukur, sementara rida-Nya jauh lebih agung daripada pahala surga seisinya. Lagi pula, jika dikatakan bahwa Allah memberikan balasan berupa tempat yang tinggi di surga bagi orang-orang yang sabar atas kesabaran mereka, itu tak lantas menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan balasan serupa kepada orang-orang yang bersyukur.

Sedangkan hadits yang disebut tadi tak dapat dijadikan dalil dalam persoalan ini karena dua hal: Pertama, hadits itu tak dapat dijadikan dalil lantaran sanadnya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muḥammad ibn Tsābit al-Kūfī dari al-Ḥārits ibn Nu‘man, sementara al-Ḥārits riwayatnya tidak dipakai oleh para perawi shaḥīḥ. Al-Bukhārī menilai haditsnya “munkar”. At-Tirmidzī pun tidak menilai hadits ini shaḥīḥ atau ḥasan, atau mendiamkannya, tapi menilainya “gharīb”.

Kedua, seandainya hadits tersebut shaḥīḥ, tetap saja tidak menunjukkan maksud orang-orang yang menggunakannya sebagai dalil. Sebab, kefakiran yang disukai oleh Allah dari hamba-Nya bukanlah fakir harta, melainkan perasaan “fakir” (butuh) akan Allah, yakni perasaan sesal yang mendalam (atas dosa-dosa), perasaan tunduk, rendah, hina, dan khusyuk di hadapan-Nya. Perasaan fakir seperti ini tidak menafikan kekayaan harta, dan tidak pula mengharuskan seseorang untuk menjadi orang melarat. Pasalnya, penyesalan yang mendalam dan perasaan butuh akan keagungan, kemuliaan, kebesaran asma dan sifat-sifat Allah jauh lebih utama ketimbang kemiskinan berupa ketiadaan harta.

Kesabaran orang untuk tidak bermaksiat kepada Allah atas dasar ketaatan, pilihan sendiri, dan rasa takut serta cintanya kepada Allah lebih mulia ketimbang kesabaran orang miskin lagi lemah. Buktinya, Allah telah mengaruniakan kekayaan dan kerajaan kepada banyak nabi dan rasūl-Nya tanpa mengeluarkan mereka dari kelompok orang-orang yang fakir akan Allah.

Imām Aḥmad meriwayatkan dari Yazīn ibn Hārūn, dari al-Jarīrī, dari Abū Sulail yang bercerita: “Nabi Dāūd a.s. pernah masuk (masjid) dan melihat sekelompok orang Bani Isrā’īl sedang duduk melingkar. Dia pun duduk bersama mereka dan berkata: “Aku ini orang fakir di tengah orang-orang fakir.” Padahal, Allah telah menganugerahinya kerajaan, kekayaan, kekuatan, sekaligus kenabian.

Abul-Ḥasan berkata, Abū Barzah al-Aslamī meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Orang-orang miskin dari kalangan muslim akan masuk surga empat puluh musim gugur lebih dulu sebelum orang-orang kaya, sampai-sampai pada hari kiamat orang-orang kaya berandai-andai kalau seandainya dulu di dunia mereka adalah orang miskin.

Hadits ini memang terbukti berasal dari Nabi s.a.w. dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, antara lain Abū Hurairah, ‘Abdullāh ibn ‘Umar, Jābir ibn ‘Abdullāh, Abū Sa‘īd, dan Anas ibn Mālik. Namun, masuk surganya orang miskin lebih dulu dalam hadits ini tidak menunjukkan bahwa derajat mereka lebih tinggi daripada orang kaya, melainkan hanya menunjukkan bahwa orang miskin tak memiliki harta yang perlu dihisab, sehingga tentu saja lebih cepat masuk surga.

Tak ayal, seorang pemimpin yang adil juga akan lambat masuk surga karena ia harus dihisab lebih dulu. Begitu pula orang kaya yang bersyukur. Lambatnya mereka masuk surga bukan berarti derajat mereka lebih rendah daripada orang miskin. Kalaupun benar orang-orang kaya akan berangan-angan seandainya dulu mereka miskin di dunia, angan-angan ini juga tidak mesti menunjukkan kerendahan derajat mereka. Sama halnya dengan angan-angan seorang hakim yang adil pada hari kiamat, andai dulu ia tidak pernah memutuskan perkara dua orang yang berperkara, karena hisabnya sangat berat.

Abul-Ḥasan berkata, Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. berdiri di antara para sahabatnya, lalu bertanya: “Siapaka manusia yang terbaik?
Salah seorang sahabat menjawab: “Orang kaya yang memberikan hak dirinya dan hartanya.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Betapa beruntungnya orang yang seperti itu, tapi bukan dia. Manusia terbaik adalah orang mukmin yang miskin, yang memberi (sedekah) dengan susah payah.

Hadits ini tidak disebutkan sanadnya sehingga perlu dicermati. Lagi pula, hadits yang tidak diketahui kondisinya tidak dapat dijadikan dalil. Seandainya shaḥīḥ, hadits ini tetap tak bisa dijadikan dalil (bagi orang yang mengunggulkan orang miskin) karena hanya menunjukkan keutamaan orang miskin yang bersedekah dengan susah payah, sehingga menyatu pada dirinya kemiskinan orang-orang yang sabar dan kekayaan orang-orang yang bersyukur. Orang itu menghimpun dua faktor keutamaan, sehingga tak perlu disangsikan lagi kalau dialah yang paling utama di antara tiga macam orang. Satu dirham orang itu dapat mengalahkan seratus ribu dirham orang lain, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Satu dirham mengungguli seratus ribu dirham.

Para sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bagaimana mungkin satu dirham mengungguli seratus ribu dirham?”
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Seseorang hanya mempunyai dua dirham, lalu dia sedekahkan satu dirham. Sedangkan orang lain mempunyai harta melimpah, lalu dia sedekahkan seratus ribu dirham dari hartanya itu.

Al-Baihaqī menyebutkan hadits dari jalur ats-Tsaurī – Abū Isḥāq – al-Ḥārits dari ‘Alī r.a. yang menceritakan: “Tiga orang mendatangi Nabi s.a.w. Salah seorang dari mereka berkata: “Aku punya seratus ons dan aku sedekahkan sepuluh onsnya.” Yang lain berkata: “Aku punya seratus dinar lalu aku sedekahkan yang sepuluh dinar.” Yang satu lagi berkata: “Aku punya sepuluh dinar lalu aku sedekahkan satu dinar.” Rasūlullāh s.a.w. pun berkata: “Kalian semua sama, masing-masing menyedekahkan sepersepuluh hartanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *