“Kalau begitu,” kata saya, “Mari kita luruskan persepsi dan pikiran mereka. Nah, bagaimana sebenarnya bentuk hakikimu seperti yang diciptakan Allah?” *1
“Menurut hemat saja, bentuk kami seperti yang diciptakan Allah s.w.t., tidaklah banyak berbeda dari bentuk manusia, kecuali beberapa perbedaan kecil di sana-sini. Kepala kami, misalnya, sedikit lebih besar dalam bandingannya dengan tubuh kami, bila dibandingkan dengan perbandingan kepala dan tubuh kalian. Mata kami memanjang dan tidak bulat seperti mata kalian. Di antara kami ada yang mempunyai mata memanjang ke arah atas, dan ada pula yang sedikit miring ke arah dahi, mirip mata lazimnya orang-orang Cina atau Jepang di kalangan kalian. Ada yang perlu dicatat. Yakni, mata kami tidak sipit seperti mata manusia, tetapi lazimnya besar dan lebar seperti mata rusa, namun dengan bentuk yang memanjang.”
“Selama ini ada anggapan bahwa mata kalian selamanya merah,” kata saya: “Apakah benar begitu?”
“Tidak selamanya demikian,” jawabnya, “Mata kami, sebagaimana halnya dengan mata manusia, banyak sekali macamnya. Ada mata yang berwarna hitam, kuning, coklat tua, persis seperti mata manusia, sekalipun hitamnya berbeda dengan hitamnya mata kalian. Mata hitam kami cenderung keputih-putihan. Anggapan bahwa mata kami selalu merah, bisa jadi diakibatkan oleh adanya sinar-sinar halus yang memancar dari mata kami, yakni sinar yang selamanya cenderung berwarna merah. Ia tidak menakutkan bagi siapa yang menatapnya, bahkan di situ terdapat suatu keindahan.”
“Sedangkan telinga kami,” lanjutnya, “dua-duanya mirip telinga kuda, khususnya dalam hal bentuknya yang runcing. Ada pula di antara kami yang telinganya mirip telinga kucing. Kalau manusia mengamati secara cermat, telinga kucing, sesungguhnya, juga mirip dengan telinga kuda. Karena itu, kalau ada di antara kami yang berbicara dan menyerupakan diri dalam bentuk-bentuk tertentu, maka yang paling mereka sukai adalah kucing, kuda, atau harimau.” (192).
“Soal hidung”, paparnya lebih lanjut: “maka hidung kami terletak di tengah-tengah wajah kami. Persis seperti hidung manusia. Hanya saja ia tidak mancung seperti hidung kalian. Lazimnya hidung kami pesek atau bulat, mirip hidung laki-laki dan wanita Filipina.”
“Jinn Muslim memanjangkan janggutnya, karena mengikuti petunjuk Nabi Muḥammad s.a.w. Terhadap mereka yang wajahnya tidak berjanggut, kami sebut wajahnya dengan “wajah gentong”.”
Rambut kepala kami sangat tebal, dan lebih tebal lagi pada kaum wanita jinn. Di kalangan kaum laki-laki, rambut kami terasa lebih kasar, dan dalam skala besar lebih banyak yang botak. Rambut kaum wanita, bagi kami, sangat, sangat panjang. Dan itu, merupakan lambang kecantikan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang rambutnya terseret di tanah saking panjangnya.”
“Bagaimana tentang tangan dan kaki kalian?”
“Tangan kami seperti tangan kalian. Cuma, dari segi panjang lengan dan kuku, agak berbeda. Lengan kami, dalam bandingannya dengan tubuh kami, terbilang sangat panjang, bila dibandingkan dengan lengan kalian terhadap tubuh kalian. Demikian pula halnya dengan kuku-kuku kami. Sebab, jari-jari kami pun panjang-panjang. Sedangkan kaki kami, berbeda dengan kaki kalian dalam hal letak tumit dan keruncingan jari-jarinya.”
“Apakah kalian juga punya tulang, jantung, organ pernapasan dan pencernaan?”
“Ya, persis seperti kalian, sekali pun tulang kami, dibandingkan dengan kulit atau daging kami, terbilang besar. Sekarang ini, kami memiliki kelenturan yang tak mungkin bisa kalian bayangkan. Organ-organ kami yang selebihnya, terbilang kecil-kecil. Semuanya berfungsi seperti tubuh kalian, sekalipun kami tidak membutuhkan oksigen untuk bernapas sebanyak yang kalian butuhkan. Begitu pula dengan alat pencernaan yang mencerna segala yang kami makan. Sisa-sisa pencernaan kami juga keluar dari lubang-lubang pencernaan seperti yang kalian alami, sekalipun kotoran kami tidak berbentuk kasar, melainan lebih mirip dengan uap yang sangat pekat. Sedangkan air kencing, juga berbentuk gas yang sangat kuat tekanannya, tetapi sangat ringan dan mirip aliran air mancur di kalangan kalian. Itu sebabnya, maka ada syaithan yang bisa mengencingi telinga seorang Muslim yang ketika tidur tidak menyebut nama Allah, (203) dan yang di malam harinya tidak pernah berniat untuk menunaikan kewajiban kepada Allah, Tuhan semesta alam.”
“Apakah kalian punya alat kelamin?”
“Persis seperti manusia. Hanya saja terbilang kecil bila dibandingkan dengan yang ada kalian, dan dalam bandingannya dengan tubuh kami. Kaum laki-laki kami seperti kaum laki-laki kalian. Mereka punya dorongan birahi dan kemampuan untuk bersenggama, dan mengeluarkan sperma. Wanitanya pun seperti kaum wanita kalian. Mereka mempunyai selaput dara yang pecah ketika terjadi hubungan seksual. Suatu bentuk kehidupan yang, wahai saudaraku, betul-betul kehidupan biasa.”
“Kembali pada persoalan kepala. Nabi pernah berkata: “Sesungguhnya matahari, ketika terbit, ia membawa tanduk syaithan. Ketika ia naik, dilepaskannya tanduknya. Kemudian ketika ia tepat di tengah ufuk, dikenakannya kembali tanduknya. Namun ketika tergelincir tanduk itu ditanggalkannya, untuk kemudian dikenakannya lagi ketika ia mendekati tenggelam. Ketika betul-betul tenggelam, tanduk itu ditanggalkannya. Karena itu, janganlah kalian shalat pada tiga waktu tersebut. (214) Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya matahari terbit di antara dua tanduk syaithan, dan tenggelam di antara dua tanduk syaithan pula. (225) Seterusnya beliau juga mengatakan “Janganlah kalian mendekatkan shalat kalian dengan waktu terbit dan tenggelamnya matahari. Sebab, ia terbit di antara dua tanduk syaithan, dan tenggelam di antara dua tanduk syaithan pula. (236) Kalau demikian, apakah syaithan atau jinn mempunyai tanduk dalam bentuk nyata, ataukah itu hanya merupakan kiasan saja?” *7
“Itu adalah ucapan Muḥammad s.a.w., dia mengatakan yang benar. Setiap jinn punya dua tanduk. Tetapi kedua tanduk tersebut sangat kecil, bahkan bila dibandingkan dengan tubuh kami yang kecil ini.”
“Apakah itu berarti engkau juga punya dua tanduk?”
“Ya, ya…. Akan tetapi sangat kecil, seperti huruf “Nūn”, kecil, kecil sekali, dan tidak panjang seperti yang digambarkan manusia.”
“Apakah tanduk Iblīs kecil atau besar?”
“Besar, sesuai dengan tubuhnya. Iblīs sangat tua usianya, jauh lebih tua daripada manusia yang pertama. Kami adalah makhluk-makhluk yang bertubuh lemah, seperti tubuh manusia yang mengalami proses kelemahan sejalan dengan perjalanan waktu.”
“Tentang warna kulit kalian, bagaimana?”
“Berbeda-beda seperti kalian. Akan tetapi galibnya kami lebih hitam daripada manusia yang berkulit hitam. Sebab, kulit kami hitam pekat dan melekat dengan daging kami, sebagaimana halnya dengan kulit dan daging kalian. Warnanya mirip dengan warna kerbau kalian. Hanya saja sangat tebal bulunya, seperti orang yang paling tebal bulunya di antara kalian. Di antara kami ada jinn-jinn yang lebih tebal lagi bulunya. Juga ada yang putih, (248) dan merah. Subḥānallāh, banyak sekali warnanya.”
“Apa kalian juga berpakaian?”
“Ya, ya…. Kami mengenakan pakaian yang berbeda-beda dan indah-indah. Kaum wanitanya mengenakan pakaian yang sesuai dengan kewanitaannya: yang Muslimah mengenakan kerudung atau jilbab seperti kaum wanita kalian. Akan tetapi saya lebih menekankan jubah, sebab ia lebih dekat dengan firman Allah yang berbunyi: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka. (Qs. al-Aḥzāb: 59). Kaum laki-lakinya mengenakan pakaian yang sesuai, lazimnya semacam kemeja. Sebagian besar jinn menyukai warna merah, kemudian kuning, dan selanjutnya hitam.”
“Bagaimana dengan lidahmu yang sekarang berkata-kata ini, apakah ia betul-betul lidah, ataukah kalian berbicara dengan cara yang tidak kami ketahui?”
“Tidak, tidak. Ini betul-betul lidah dan bukan sekadar kiasan. Akan tetapi sangat kecil, sesuai dengan kecilnya tubuh kami. Singkatnya, kami juga mempunyai organ-organ seperti kalian, segalanya, segalanya seperti kalian.”
“Juga punya gigi?”
“Tentu saja. Hanya saja bila dibandingkan dengan tubuh kami ia terbilang panjang, atau besar, dibandingkan dengan gigi kalian terhadap tubuh kalian.”
“Kendati begitu, kami tetap tidak bisa melihat kalian?”
“Ya, wajar saja. Sebab, asal kami adalah api yang bersifat gas yang ringan, sekalipun dalam kondisi-kondisi tertentu kami bisa dilihat.”
“Kondisi yang bagaimana?”
“Ya, ketika kami menampakkan diri dalam bentuk fisik dan materi, (259
) atau dalam kondisi sihir atau ketika seseorang minum air sihir. Atau, bisa saja, melalui kemauan jinn itu sendiri, dan dalam kondisi-kondisi lain yang tidak bisa tidak, kami pasti bisa dilihat.” (2610).
“Apa yang kalian kenakan di kaki kalian? Apakah kalian berjalan dengan telanjang kaki, atau mengenakan sepatu atau terumpah?”
“Ya, ya, ada sesuatu yang kami kenakan. Tetapi berbeda antara jinn Muslim dengan jinn Syaithan.”
“Apa bedanya?”
“Kalau jinn syaithan, mengenakan satu terumpah di kaki kirinya, (2711) sedang kaki kanannya dibiarkannya telanjang.”
“Kalau yang Muslim?”
“Tidak seperti itu. Alḥamdulillāh, aku mengenakan dua terumpah di dua kakiku.”
“Terbuat dari apa terumpah kalian?”
“Terbuat dari daum papirus.”
“Daun papirus biasa, yakni daun yang digunakan sebagai alat tulis oleh para Fir‘aun, ataukah daun papirus lain yang kalian tanam dan tidak kami lihat?”
“Tidak, ya, daun papirus yang itu-itu juga. Akan tetapi, biasanya sangat kecil, sesuai dengan kecilnya tubuh kami. Apalagi ia kami kenakan demikian rupa, sehingga ia mengikuti kekhususan-kekhususan kami, sehingga tidak bisa dilihat oleh siapa pun.”
Dalam catatan pinggir kitab at-Targhību wat-Tarhīb karya Imām al-Mundzirī dicantumkan komentar Muḥammad Khalīl Haras: “Diriwayatkan dari al-Hasan secara mursal bahwasanya Nabi s.a.w. berkata: “Apabila dia tidur (hingga pagi seperti itu), maka syaithan mengangkat salah satu kakinya, dan mengencingi telinga orang itu”.” Lihat at-Targhību wat-Tarhīb, jilid I, Maktabah al-Jumhuriyyah, al-Azhar, Kairo, hlm. 570.
Terhadap hadits di atas Ibn Ḥajar al-Asqalanī memberikan komentar sebagai berikut: “…. Para ulama berbeda pendapat tentang kencing syaithan. Ada yang mengatakan bahwa syaithan memang benar-benar kencing. Al-Qurthubī dan ulama lainnya berpendapat bahwa, tidak ada salahnya mengartikan seperti itu. Sebab, memang telah terbukti bahwa syaithan makan, minum, dan kawin. Dengan demikian, tidak ada larangan untuk mengatakan bahwa dia pun kencing. Ada pula yang mengatakan bahwa kalimat tersebut merupakan kiasan dengan arti bahwa syaithan menutup telinga orang yang tidur dan tidak mau bangun untuk shalat, sehingga dia tidak dapat mendengar adzan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pengertiannya adalah syaithan mengisi pendengaran orang itu dengan berbagai kebatilan, sehingga telinganya tersumbat dan tidak dapat mendengar peringatan.” Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa kalimat tersebut merupkan kiasan tentang perbuatan kotor yang dilakukan syaithan terhadap orang yang tidur itu. Ulama lain mengatakan bahwa pengertiannya adalah “syaithan menguasai dirinya dan menakut-nakutinya, sehingga seakan-akan seperti orang yang nyaris terkencing-kencing. Sebab, lazimnya, orang yang takut itu bisa terkencing-kencing karena takutnya.” Ada lagi yang berpendapat bahwa dia seperti orang yang lupa untuk bangun karena begitu lelap tidurnya, persis seperti orang yang dikencingi telinganya, sehingga telinganya menjadi berat dan rusaklah pendengarannya. Orang ‘Arab mengkiaskan kencing dengan kerusakan. Ar-Rajiz mengatakan; “Suhail kencing di pagi hari, maka rusaklah pagi (oleh kencingnya).” Dengan itu dikiaskan tentang munculnya pagi, karena ia merupakan waktu rusaknya pagi. Dengan demikian, kerusakan itu dikiaskan dengan “kencing”. Ibn Mas‘ūd mengatakan: “Cukuplah keburukan dan kejelekan bagi seseorang yang tidur hingga pagi. Sebab, syaithan telah mengencingi telinganya.” Hadits ini mawqūf, tetapi sanadnya shahih. Ath-Thayyibī mengatakan: “Dalam hadits itu telinga disebut secara khusus, sebab ia merupakan pintu yang paling mudah dimasuki (syaithan) dan paling cepat mengantarkannya hingga ke urat nadi, sehingga menimbulkan kemalasan di sekujur tubuh.” Lihat Fatḥ-ul-Bārī fi Syarḥi Shaḥīḥ-il-Bukhārī, jilid III, hlm. 34-35.
Dari pembicaraan saya dengan Jinn-Muslim sahabat saya itu, kita bisa memahami bahwa tidur yang disertai dzikir kepada Allah dan disertai pula dengan niat untuk bangun guna melaksanakan perintah Allah, merupakan dua hal yang dapat menolak syaithan yang mendatangi seorang Muslim, serta menyebabkan datangnya pertolongan Allah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan-Nya.
Dengan seluruh rasa hormat kita terhadap pendapat para pendahulu kita, yang kadang-kadang mengandung kemungkinan menafikan eksistensi jinn yang menampakkan diri dalam wujud ular putih, Jinn Muslim sahabat saya itu menyatakan tentang shahih-nya riwayat ini. Seandainya pembaca dapat melihat cahaya matanya saat mengatakan: “Jangan engkau bunuh ular tersebut. Cukup gertak saja, pasti dia menghindar, in syā’ Allāh,” niscaya pembaca mengetahui bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Mata, dalam nisbatnya dengan jinn adalah jendela makna yang terkandung dalam hati yang mengucapkannya, persis yang terjadi pada manusia. Dari sorot mata, seseorang dapat menangkap petunjuk tentang benar tidaknya apa yang dikatakan seseorang.