Kita perlu tenang karena Allah, yang membuat kita mengada di dunia, telah menjamin rezeki setiap ciptaan:
اللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki.” (ar-Rūm [30]: 40). Allah telah mengaitkan rezeki dengan penciptaan. Allah yang menciptakan, Allah pula yang memberikan rezeki. Tak cukup memberi petunjuk bahwa rezeki berasal dari-Nya, Allah pun berjanji bahwa Dia Maha Pemberi Rezeki. Tak cukup menyatkan sebagai Sang Maha Pemberi Rezeki, Allah pun memberikan jaminan bahwa Dia memberikan rezeki kepada semua:
وَ مَا مِنْ دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَ يَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَ مُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِيْ كِتَابٍ مُّبِيْنٍ
“Tidak ada makhluk melata di muka bumi kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis di Lauh Mahfuzh.” (Hūd [11]: 6).
Alam binatang menyuguhkan banyak sekali contoh betapa Allah telah mengatur rezeki setiap ciptaan. Ada binatang merayap yang mangsanya adalah binatang yang bisa terbang. Ada binatang yang bisa terbang namun makanannya adalah binatang yang bisa menyelam. Ada binatang yang hidup di semak-semak namun mangsanya bergelantungan di pepohonan. Ada binatang yang mangsanya bisa lari lebih kencang darinya. Ada binatang yang mangsanya justru pandai menipunya. Dan lain sebagainya.
Sebagai hamba-Nya, kita telah mendapatkan rezeki bahkan sejak kita terlahir dalam keadaan sangat lemah dan tiada berdaya, atau bahkan sebelum itu. Allah mengurus kita sekalipun kita tak bisa atau tak pernah menyadarinya.
Rezeki kita sudah ada. Sudah dijatahkan. Maka sebenarnya kita tidaklah sedang mencari rezeki, karena rezeki itu sudah ada. Bila dikatakan mencari, tentu ada kemungkinan ia tidak ada. Tapi ia ada. Maka tugas kita hanyalah menjemputnya. Tapi rezeki pun bahkan tidak sedang diam, sehingga kita tak harus berlelah-lelah menjemputnya di tempat yang sangat jauh. Rezeki telah atau sedang bergerak mendatangi kita. Rezeki seseorang umumnya bergerak lebih cepat untuk menghampirinya daripada ajalnya. Bayangkan saja, berapa kali rezeki menghampiri sebelum ajal seseorang mendatangi.
Orang mudah risau soal rezeki bila ia memandang rezekinya bergantung pada usahanya atau usaha orang lain. Ini memang soal cara memandang, bukan soal cara hidup. Anjuran untuk yakin bahwa Allah sudah menjamin rezeki bukanlah berarti anjuran untuk tidak berusaha. Seseorang akan lebih murni tauhidnya, lebih tenang dan optimis hidupnya, bila memandang rezekinya bergantung sepenuhnya pada Allah. Temanilah setiap usaha dengan cara pandang ini. Kalau tidak, kita akan mudah cemas, pesimis, dan putus asa.
Banyak orang tak sadar bahwa sikap mereka terhadap rezeki berkaitan erat dengan tingkat kemurnian tauhid dan tingkat kesempurnaan iman mereka. Meragukan jaminan rezeki dari Allah bukanlah sesuatu yang sepele. Ini masalah besar. Sebuah masalah yang bisa menodai ketauhidan kita.
Kita bahkan lebih percaya pada diri sendiri ketimbang pada Tuhan. Lebih percaya pada kemampuan diri dan alat bantu ketimbang pada Tuhan. Tidaklah ini salah?
Bersyukur berarti bersenang hati ketika mengenali, mengetahui, melihat, mendapati, atau merasakan nikmat Allah. Kita bersyukur, itu artinya kita puas dengan nikmat yang dianugerahkan kepada kita.
Mensyukuri, dalam ungkapan lain, berarti “menikmati” nikmat. Nikmat (pada masing-masing) kita sendiri sebetulnya tak bisa kita hitung. Alias berlimpah. Sayangnya, di tengah samudra nikmat itu, sepertinya tak banyak orang yang bisa “menikmati”. Yakni, merasakan kenikmatan dengan nikmat-nikmat, atau merasakan nikmat betul-betul sebagai nikmat.
Ketika kita senang, puas, atau mencecep kenikmatan dengan pemberian Tuhan, kita pun akan langsung tulus memuji-Nya: alhamdulillah. Kita berharap Dia akan terus ulurkan rahmat-Nya kepada kita. Dan itu pasti. Kita bersyukur atas suatu nikmat, itu berarti kita tengah mencoba menjadikan nikmat itu sebagai “pemancing” nikmat yang lain. Rasa puas, qanā‘ah, lega, atau gembira dalam hati, itu pun sebetulnya nikmat tersendiri. Mengetahui bahwa kita perlu bersyukur, itu pun nikmat tersendiri. Kalaupun kita mendistribusikan suatu nikmat ke orang lain, doa untuk – dan rida kepada – kita dari orang yang kita santuni pun merupakan nikmat tersendiri.
Bersyukur itu juga berarti tidak kesal terhadap apa yang terjadi pada diri kita, meskipun itu sesuatu yang menurut kacamata (masing-masing) kita tidak ideal atau tidak sempurna. Bersyukur adalah tidak menyalahkan keadaan. Bersyukur juga mencakup sikap tidak kesal akan suatu kesempatan-baik yang di luar sepengetahuan atau sekemampuan kita. Dalam hal ini, bersyukur adalah tidak “menyial-nyialkan” diri. Misalnya: “Sial, andai saya tadi tahu itu,” “Sial, mengapa saya tadi tidak ke sana,” “Sialan, bus itu menurunkan saya di sini,” dan sebagainya.
Agar bersyukur kita memang perlu ber-ḥusn-uzh-zhann (berprasangkan baik) terhadap (kehendak) Allah. Janganlah berprasangka buruk karena yang baru kita alami kita anggap kesialan. Coba temukanlah hikmah di balik (atau juga di depan) suatu peristiwa. Dan pujilah (rencana) Allah setelah itu.
Syukur berarti tahu bahwa nikmat itu adalah ujian Allah bagi manusia dan tidak menggunakannya untuk sesuatu yang dibenci-Nya. Mensyukuri karunia bermakna tidak menggunakannya untuk sesuatu yang tak diridai oleh Sang Pemberi. Itu kufur namanya. Sebab, memperbuat maksiat sama saja dengan menginvestasikan penyesalan, kekecewaan, dan kekesalan batin. Ini berarti, dengan modal nikmat, kita justru menabung laknat. Nah, dengan demikian, tiap kali mengerjakan maksiat, kita tak mensyukuri nikmat. Mensyukuri nikmat berubah nikmat. Mengufuri nikmat berbuah laknat.
Siapa bersyukur, ia makmur. Siapa bersyukur, ia menjauh dari zona ‘adzab dan masuk jauh ke zona nikmat.
Tak hanya itu, bila bersyukur, berarti kita masuk jajaran elite hamba-hamba Allah. Bukankah sudah dikatakan: “sedikit sekali di antara hamba-Ku yang bersyukur?