Beberapa Keraguan Seputar Syafa‘at – Mengetuk Pintu Syafa’at

Mengetuk Pintu Syafā‘at
Oleh: Syafiqul Anam al-Jaziriy
 
Penerbit: Pustaka Group

Beberapa Keraguan Seputar Syafā‘at

 

Sehubungan dengan adanya masalah syafā‘at, banyak sekali keraguan dan kritik yang telah dilontarkan oleh sebagian orang. Sebagian orang ada yang meragukan apakah syafā‘at itu nanti benar-benar ada ataukah hanya sebatas teori tanpa ada pelaksanaannya. Bahkan ada yang mengira bahwa syafā‘at itu hanya berlaku di akhirat saja sedangkan di dunia tak berlaku apa-apa.

Kaitannya dengan masalah keraguan tersebut, berikut ini beberapa keraguan yang ada dalam masyarakat berikut dengan jawaban-jawabannya:

Keraguan Pertama:

Sebagian ayat al-Qur’ān menjelaskan bahwa kelak di Hari Kiamat, syafā‘at siapapun tidak akan diterima oleh Allah.

Takutlah kalian pada hari yang seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit puu, sebagaimana pula tidak diterima syafā‘at dan tebusan daripadanya, tidak pula mereka itu akan ditolong.” (QS. al-Baqarah: 48).

Sesungguhnya ayat-ayat semacam ini diturunkan untuk menafikan syafā‘at yang bathil, yaitu syafā‘at yang tidak memenuhi syarat, seperti yang diyakini oleh sebagian orang. Di samping itu, ayat-ayat itu bersifat umum yang ditafsirkan secara spesifik oleh ayat-ayat yang menyatakan diterimanya syafā‘at yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan atas dasar idzin Allah s.w.t.

Berikut ini kami ulas seputar beberapa keraguan tentang syafā‘at, di antaranya:

Keraguan Kedua:

Syafā‘at melazimkan ketaklukan Allah s.w.t. di bawah pengaruh para pemberi syafā‘at. Dengan kata lain, syafā‘at mereka mengharuskan pengampunan, padahal pengampunan ini merupakan urusan Allah s.w.t.

Allah s.w.t. menerima syafā‘at tidak berarti Dia takluk dan tunduk di bawah pengaruh para pemberi syafā‘at, sebagaimana menerima taubat dan mengabulkan doa seorang hamba tidak menunjukkan adanya konsekuensi bāthil semacam itu. Sebab, semua perbuatan hamba-hamba dalam hal-hal tersebut pemberi peluang dan kelayakan untuk menerima rahmat Allah. Secara teknis dinyatakan bahwa “Syafā‘at adalah syarat kelayakan sesuatu itu sebagai penerima, bukan syarat kelayakannya sebagai pemberi.”

Keraguan Ketiga:

Syafā‘at berarti bahwa pemberi syafā‘at itu lebih banyak rahmat dan belas-kasihnya daripada Allah Yang Maha Penyayang. Karena itulah timbul asumsi bahwa seandainya tidak ada syafā‘at mereka, pasti orang-orang yang pernah berbuat maksiat itu akan mendapatkan siksa atau akan menetap kekal di dalam neraka.

Sesungguhnya belas-kasih para pemberi syafā‘at merupakan limpahan dari rahmat Allah s.w.t. yang tak terbatas. Dengan kata lain, syafā‘at itu sebagai perantara dan jalan yang Allah jadikan untuk memberikan ampunan kepada hamba-hambaNya yang beriman. Justru pada hakikatnya, syafā‘at mencerminkan keagungan rahmat Allah yang tampak pada hamba-hambaNya yang shalih dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana juga doa dan taubat itu merupakan wasīlah dan jalan lain yang telah Allah tetapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, atau untuk memaafkan segala dosa hamba-hambaNya yang beriman.

Keraguan Keempat:

Apabila menjatuhkan siksa ke atas orang-orang yang berbuat maksiat adalah keputusan Allah yang sejalan dengan keadilan, maka adanya syafā‘at bagi mereka bertentangan dengan keadilan tersebut. Dan apabila selamatnya mereka dari siksa itu dengan diterimanya konsep syafā‘at sesuai dengan keadilan, maka keputusan yang dijatuhkan sebelum terjadinya syafā‘at itu merupakan keputusan yang bertentangan dengan keadilan.

Setiap keputusan Allah, baik keputusan siksa sebelum adanya syafā‘at, ataupun keputusan selamat dari siksa setelah adanya syafā‘at sejalan dengan hikmah dan keadilan Ilahi. Kesesuaian dua masalah ini dengan hikmah dan keadilan Ilahi itu tidak berarti semacam bertemunya dua kontradiksi. Karena, objek keduanya berbeda.

Penjelasannya: keputusan siksa itu merupakan akibat dari maksiat, tanpa bergantung pada terpenuhi atau tidaknya hal-hal yang membuat pemaksiat berhak di-syafā‘at-i. Dan keputusan selamat dari siksa itu akan dijatuhkan lantaran terpenuhinya hal-hal tersebut. Dalam tata penciptaan ataupun tata syarī‘at Islam, kita dapati begitu banyak fakta bahwa perubahan suatu hukum cipta atau syarī‘at mengikuti perubahan ciri-ciri objek (qayd maudhū‘). Begitu pula, keputusan suatu hukum yang adil yang telah di-nasakh dan diubah sehubungan dengan masa berlakunya tidaklah tertentangan dengan keadilan suatu hukum yang baru (nāsikh) yang turun di masa setelah terjadinya perubahan itu. Kebijakan ditetapkannya suatu bencana atas seseorang sebelum ia berdoa atau bersedekah tidaklah bertentangan dengan kebijakan diangkatnya bencana tersebut setelah ia berdoa atau bersedekah. Demikian pula, keputusan diampuninya dosa-dosa seorang hamba setelah pemberian syafā‘at tidak bertentangan dengan keputusan dijatuhkannya siksa ke atasnya sebelum pemberian tersebut.

Keraguan Kelima:

Allah s.w.t. menganggap bahwa mengikuti bujukan syaithān akan menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Dia berfirman: “Sesungguhnya engkau wahai Iblīs tidak mempunyai kekuasaan atas hamba-hambaKu, kecuali mereka yang mengikuti kesesatanmu. Sungguh Jahannam adalah tempat yang dijanjikan untuk mereka.” (QS. al-Ḥijr: 42-43).

Pada hakikatnya, menyiksa para pemaksiat di akhirat kelak merupakan bagian dari sunnatullāh yang tidak akan mengalami perubahan:

Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullāh dan engkau pun tidak akan melihat adanya pergantian padanya.” (QS. al-Fāthir: 43).

Jika benar demikian, lalu bagaimana sunnatullāh ini bisa mengalami perubahan dalam perkara syafā‘at.

Diterimanya syafā‘at oleh Allah untuk pemaksiat yang memenuhi syarat-syaratnya merupakan bagian dari sunnatullāh yang tidak akan berubah.

Sunnatullāh itu berdasar pada batasan-batasan riel. Dan setiap sunnah (hukum) ciptaan Ilahi itu tidak akan menerima perubahan sedikit pun jika segenap syarat-syarat ada dan tiadanya terpenuhi. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa pernyataan-pernyataan yang menekankan sunnah-sunnah itu biasanya bukan pada konteks menjelaskan seluruh macam ciri dan syarat suatu objek. Oleh karena itu, kita akan temukan sebagian kasus yang disinggung oleh zhāhir-zhāhir ayat al-Qur’ān dikaitkan dengan sejumlah sunnatullāh. Sementara, wujud konkret di luar dari kandungan ayat-ayat tersebut lebih spesifik dan tunduk pada batasan dan syarat yang lebih dominan.

Dengan demikian, setiap sunnatullāh itu tetap dan tidak akan berubah jika dicermati pula ciri-ciri dan syarat-syarat faktual objeknya, tidak sekedar mengamati ciri-ciri dan syarat-syarat terungkap di dalam ayat-ayat tersebut. Dan, salah satu sunnatullāh ialah syafā‘at. Sebagaimana sunnatullāh yang lain, syafā‘at juga tetap dan tidak akan berubah, diberikan kepada orang-orang berdosa tertentu, yaitu mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula dan ditentukan oleh batasan-batasan yang khas.

Keraguan Keenam:

Adanya janji syafā‘at itu akan membuat manusia berani melakukan maksiat dan menyimpang dari jalan yang lurus.

Keraguan ini juga dilontarkan sekaitan dengan penerimaan taubat dan pengampunan dosa. Jawaban atas keraguan ini adalah bahwa pemberian syafā‘at dan ampunan kepada seseorang bergantung pada berbagai syarat yang tidak dapat dipastikan pemenuhannya oleh pelaku dosa. Di antara syarat pemberian syafā‘at ialah hendaknya ia menjaga imannya sampai akhir hidupnya. Kita sadar bahwa tidak seorang pun dapat memastikan terpenuhinya syarat ini.

Dari sisi lain, kita tahu bahwa jika pelaku dosa kehilangan harapan akan ampunan Ilahi, ia akan dicekam oleh rasa putus-asa. Pada gilirannya putus-asa ini akan melemahkan motifasinya untuk menjauhi maksiat, atau malah mendorongnya untuk berlarut-larut di dalam dosa, maksiat dan penyimpangan.

Oleh karena itu, metode pendidikan para pendidik Ilahi, para nabi dan ‘ulamā’ sejati dalam membimbing umat ialah senantiasa menjaga mereka di atas keseimbangan cemas dan harap. Mereka tidak menanamkan harapan penuh akan rahmat Ilahi dalam diri setiap individu, sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar merasa aman dari murka Allah. Mereka juga tidak menggugah rasa takut seseorang akan siksa Allah sampai-sampai ia putus-asa dari rahmat Allah s.w.t. Jelas bahwa kedua kondisi ini merupakan dosa besar.

Keraguan Ketujuh:

Pengaruh syafā‘at dalam menentukan keselamatan seseorang dari siksa Ilahi berarti adanya pengaruh para pemberi syafā‘at terhadap kebahagiaan dan keselamatan dari kesengsaraan. Padahal, Allah s.w.t. berfirman:

Dan bahwasanya seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39).

Secara tegas ayat ini menerangkan bahwa hanya usaha dan kesungguhan seseoranglah yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan keselamatan.

Untuk sampai kepada tujuan yang diharapkan, terkadang usaha seseorang dapat dilakukannya sendiri dan berlangsung terus sampai akhir perjalanannya. Terkadang juga ia melakukan usahanya secara tak langsung; melalui penyediaan berbagai syarat dan perantara. Seseorang yang akan mendapatkan syafā‘at pun harus berusaha keras untuk mengusahakan syarat-syarat kebahagiaan. Sebab, iman dan kesungguhan memenuhi syarat syafā‘at merupakan usaha-usaha guna mencapai kebahagiaan, walaupun usaha itu masih dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, ia akan mengalami kesusahan dan goncagan di alam barzakh serta di tahap-tahap awal kiamat.

Bagaimanapun, ia telah menaburkan benih-benih kebahagiaan dengan usahanya sendiri, yaitu keimanan di dalam hatinya yang terkadang ia sirami dengan ‘amal-‘amal yang shāliḥ, sehingga tidak kering sampai kematiannya.

Dengan demikian, puncak kebahagiaan seseorang itu dicapai dari usaha dan kesungguhannya sendiri, di samping para pemberi syafā‘at itu mempunyai kekuatan agar ia dapat memperoleh buah dan pohon tersebut, sebagaimana tampak di dunia ini, yaitu sebagian orang yang mempunyai kekuatan dalam mendidik dan memberi hidāyah kepada umat manusia. Tentu saja, kekuatan mereka itu tidak berarti menafikan usaha seseorang dalam mencapai kebahagiaan dan keselamatan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *