Hakikat Tasawwuf: Arti Kata Dzikir

Dari Buku:
Hakikat Tasawwuf
(Judul Asli: Haqa’iq-ut-Tasawwuf)
Oleh: Syaikh ‘Abdul-Qadir ‘Isa
Penerjemah: Khairul Amru Harahap, Lc., MHI dan Afrizal Lubis, Lc.
Penerbit: Qisthi Press

Rangkaian Pos: Hakikat Tasawwuf - Bab Tentang Dzikir | Syaikh 'Abdul Qadir 'Isa

Bab II Bagian ke 4.
Dzikir

Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi menyebut kata dzikr dalam beragam makna. Kadang dzikr (dzikir) diartikan sebagai al-Qur’an, sebagaimana terekam dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (al-Hijr: 9).

Kadang yang dimaksudkan adalah shalat Jumat, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian menuju dzikr kepada Allah.” (al-Jumu‘ah: 9).

Kadang dzikr diartikan sebagai ilmu, sebagaimana terekam dalam al-Qur’an:

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (orang-orang yang berilmu), jika kalian tiada mengerti.” (al-Anbiya’: 7).

Dan dalam mayoritas teks, kata dzikr dimaksudkan sebagai tasbih, tahlil, takbir dan shalawat kepada Nabi. Allah berfirman:

“Apabila kalian telah menyelesaikan shalat, maka berdzikirlah kalian kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (an-Nisa’: 103).

Dia juga berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (yakni: berdzikirlah dengan menyebut) (nama) Allah sebanyak-banyaknya.” (al-Anfal: 45).

Sebutlah (yakni: berdzikirlah dengan menyebut) nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (al-Muzzammil: 8).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah telah berfirman:

أَنَا مَعَ عَبْدِيْ إِذَا هُوَ ذَكَرَنِيْ وَ تَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ

Aku bersama hamba-Ku selama dia berdzikir kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.(H.R. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, dan al-Hakim).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Bisr bahwa seorang laki-laki berkata:

إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam itu terlalu banyak bagiku. Maka beritahukanlah kepadaku sesuatu yang aku dapat berpegang teguh dengannya.” Beliau menjawab: “Selama lisanmu masih basah menyebut Allah.” (H.R. Tirmidzi, 3297, Hadits Ḥasan Gharīb; namun Syaikh al-Albani men-shaḥīh-kannya).

Sebagian ahli tafsir berkata: “Yang dimaksud dari dzikir adalah ilmu tentang yang halal dan yang haram.”

Jawaban dari pernyataan ini adalah bahwa lafal dzikr adalah lafal musytarak (memiliki lebih dari satu makna), mencakup ilmu, shalat, al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Tetapi yang dijadikan sebagai patokan dalam lafal musytarak adalah makna yang paling banyak digunakan berdasarkan kebiasaan. Sedangkan makna selain itu harus disertai dengan petunjuk keadaan atau lafal. Lafal dzikr paling banyak digunakan dalam arti dzikir kepada Allah. Jarang sekali lafal ini dimaksudkan sebagai ilmu sebagaimana dalam firman Allah:

“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikr (orang-orang yang berilmu).”

Maksud dari dzikir di sini adalah ilmu, karena adanya petunjuk, yaitu pertanyaan.