BAB 1
PENGERTIAN ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ
1. ARTI ISRĀ’ DAN MI‘RĀJ.
Sebelum berbicara tentang Isrā’ dan Mi‘rāj, perlu dikemukakan dulu apa arti Isrā’ dan Mi‘rāj yaitu sebagai berikut:
Isrā’ menurut bahasa berarti “berjalan di waktu malam.” Sedang Isrā’ menurut istilah ialah: Perjalanan Nabi Muḥammad s.a.w. di waktu malam dari Masjid al-Ḥarām (Masjid-ul-Ḥarām) Makkah ke Masjid al-Aqshā (Masjid-ul-Aqshā) Palestina, bertepatan malam 27 Rajab satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.
Mi‘rāj menurut bahasa berarti “alat untuk naik (tangga)” Sedangkan Mi‘rāj menurut istilah ialah: Naiknya Nabi Muḥammad s.a.w. dari Masjid-ul-Aqshā ke langit sampai ke Sidrat-ul-Muntahā, terus sampai ke tempat yang paling tinggi untuk menghadap kepada Allah s.w.t. juga pada malam 27 Rajab. Jadi Mi‘rāj adalah sebagai kelanjutan Isrā’ yang dikerjakan oleh Rasūlullāh s.a.w., kedua-duanya dalam waktu satu malam.
Peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj Nabi Muḥammad s.a.w. ini terjadi pada tahun ke-12 dari kerasulannya atau satu tahun sebelum Nabi hijrah, tepatnya tahun 622 Masehi. Peristiwa tersebut merupakan bagian paling rumit, unik dan sangat sulit otak manusia untuk menerimanya, lebih-lebih pada saat itu. Taraf pemikiran manusia pada saat itu masih sederhana, belum maju seperti sekarang. Jalan pikiran mereka baru sampai kepada masalah-masalah yang sederhana, yang dangkal yang bersifat spekulatif belaka. Kecerdasan mereka masih sulit dinilai. Kesederhanaan hidup mereka dirasakan sudah cukup, sehingga tidak perlu mengerahkan potensi akalnya untuk menganalisis masalah-masalah yang rumit itu.
Dapat dikatakan bahwa kehidupan pada awal abad ke-7 tersebut masih bersifat food gathering people, artinya kebutuhan hidup sehar-hari masih menggantungkan pada pemberian alam. Mereka merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh alam. Akibatnya jalan pikiran mereka lamban dan sangat mendewasakan sikap tradisional.
Berangkat dari alam pikiran manusia yang masih bersifat sempit itu, bagaikan anak-anak kecil yang tidur pulas dibentak oleh suara keras, sehingga ia terbangun. Setelah mereka bangun, belum sempat cuci muka, ayah bercerita tentang perjalanan menuju ruang angkasa. Karuan saja mereka menduga bahwa ayah itu sekarang sudah tidak waras lagi, sebagian yang lain ragu-ragu terhadap keterangan ayahnya, dan sebagian lagi percaya sepenuhnya terhadap cerita ayat itu.
Mereka ini masing-masing beralasan, dan dapat dianggap sebagai hal yang wajar terjadi, apalagi kondisi dan situasi waktu itu kurang mendukung. Akan tetapi sangat tercela dan kurang kritis apabila sikap serupa itu masih terjadi di abad modern ini. Sebab penyelidikan-penyelidikan ilmiah sudah cukup luas serta kenyataan-kenyataan yang kita tangkap dengan indra kita benar-benar sudah luar biasa.
Tanggapan masyarakat modern terhadap peristiwa Isrā’ Mi‘rāj ini tidak luput dari sikap ragu-ragu, dongeng masa lalu, dongeng pengantar tidur, tidak ada gunanya dipersoalkan dan sebagainya. Namun demikian tidak sedikit pula sekelompok ahli pikir yang mendekati keagungan perisitwa itu, ingin membuktikan secara ‘ilmu pengetahuan guna mempertebal iman mereka.
Jadi terdapat 3 kelompok dalam peristiwa ini ya‘ni:
– Kelompok yang membenarkan sepenuhnya peristiwa itu.
– Kelompok yang ragu-ragu terhadap peristiwa itu.
– Kelompok yang terang-terangan menolak.