Dalam kalam hikmah yang ketiga ini berkata al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī sebagai berikut:
3. سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَحْرِقُ أَسْرَارَ الْأَقْدَارِ.
“Keputusan-keputusan yang kencang (kuat) tidak dapat memecahkan pagar-pagar qadar Ilahi.”
Pengertian Kalam Hikmah ini sebagai berikut:
Menurut Madzhab al-Asy‘arī atau al-Asy‘ariyyah: al-Qadhā’ dan al-Qadar ialah:
إِرَادَةُ اللهِ الْأَشْيَاءَ فِي الْأَزَلِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْمَا لَا يَزَالُ فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ عِنْدَهُمْ.
“Kehendak Allah s.w.t. pada zaman azal (zaman yang tidak diketahui permulaannya) pada segala sesuatu menurut keadaaannya pada waktu adanya.”
(Misalnya Tuhan berkehendak pada waktu azal akan menjadikan hamba-Nya Fu’ād misalnya menurut apa yang kita lihat pada waktu adanya. Bentuknya begitu, jadi seorang dokter, istrinya dua dan lain-lain misalnya). Oleh sebab itu maka qadhā’ menurut ini adalah sifat dzāt Allah s.w.t.
Dan qadhā’ menurut ini pula adalah “QADĪM” dan bukan “ḤĀDITS (baharu).
إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ عَلَى قَدَرٍ مَخْصُوْصٍ وَ وَجْهٍ مُعَيَّنٍ كَمَا أَرَادَهُ اللهُ وَ هُوَ مِنْ صِفَاتِ الْأَفْعَالِ (لِأَنَّهُ عِبَارَةٌ عَنِ الْإِيْجَادِ).
“Menjadikan Allah s.w.t. akan segala sesuatu menurut ukuran yang telah ditentukan dan rupa yang telah ditentukan pula sebagaimana yang telah dikehendaki oleh-Nya.”
(Maksudnya Tuhan menjadikan sesuatu menurut apa yang telah dikehendaki oleh-Nya pada sebelum menjadikan itu. Hal keadaan ini disebut dengan al-Qadar). Maka al-Qadar adalah sifat perbuatan Allah (MIN SIFAT-IL-AF‘ĀL).
Karena itu, maka al-Qadar adalah baharu (Ḥādits).
Menurut madzhab al-Māturīdī al-Qadhā’ ialah:
إِيْجَادُ اللهِ الْأَشْيَاءَ مَعَ زِيَادَةِ الْإِحْكَامِ وَ الْإِتْقَانِ فَهُوَ صِفَةُ فِعْلٍ عِنْدَهُمْ.
“Allah menjadikan segala sesuatu serta menambah kekokohan dan kebagusan – pada yang dijadikan – (maka al-Qadha’ merupakan sifat perbuatan Allah menurut para ‘Ulama’ Madzhab ini).”
Contohnya ialah, Allah ta‘ala menjadikan langit, bumi dan lain-lain dengan begitu indah, bagus, kokoh, teratur dan lain-lain dari sifat-sifat yang menunjukkan atas keagungan segala sesuatu yang dijadikan oleh-Nya. Karena itu al-Qadha’ menurut Madzhab ini adalah baharu, sebab ia sifat perbuatan Allah s.w.t.
Adapun al-Qadar menurut madzhab ini ialah:
تَحْدِيْدُ اللهِ أَزَلًا كُلَّ مَخْلُوْقٍ بِحَدِّهِ الَّذِيْ يُوْجَدُ عَلَيْهِ مِنْ حَسَنٍ وَ قُبْحٍ وَ نَفْعٍ وَ ضَرٍّ إِلَى غَيْرِ ذلِكَ أَيْ عِلْمُهُ تَعَالَى أَزَلًا صِفَاتِ الْمَخْلُوْقَاتِ فَيَرْجِعُ عنْدَهُمْ لِصِفَةِ الْعِلْمِ وَ هِيَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ.
“Allah menentukan pada azal tiap-tiap makhluq menurut ketentuan-Nya yang diperdapat pada makhluq itu waktu diadakannya berupa kebagusan, kejelekan, manfaat, mudharat, dan lain-lain (artinya ilmu Allah pada masa azal tentang sifat-sifat semua makhlūq maka berkaitanlah al-Qadr menurut mereka para ‘Ulamā’ madzhab ini kepada sifat ‘ilmu, sedangkan sifat ‘ilmu adalah sebagian dari sifat-sifat dzāt)”.
Maksudnya ialah, bahwa al-Qadr menurut madzhab ini ialah ‘ilmu Allah, artinya pengetahuan Tuhan yang tidak ada permulaan tentang sifat-sifat makhluq berupa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada makhluq-makhluq itu, di mana akan diciptakan oleh Allah s.w.t. Umpamanya keadaan kita sekarang baik hidup dan kehidupan, ataupun mati dan sebagainya, sudah merupakan ketentuan dan ketetapan Allah yang telah diketahui oleh-Nya pada masa azal, ya‘ni pada masa yang tidak ada permulaan padanya. Oleh sebab itu maka al-Qadr menurut madzhab ini bertalian dengan ‘ilmu Allah yang merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzāt Allah yang wajib ke atas Allah, ya‘ni sifat-sifatnya yang tidak diterima oleh akal atas tidak adanya sifat-sifat itu.
Perbedaan antara Madzhab Asy‘arī atau al-Asy‘ariyyah dengan Madzhab al-Māturīdī atau al-Māturīdiyyah, adalah pada istilah semata-mata, karena pada hakikatnya al-Qadhā’ menurut Madzhab Asy‘arī adalah al-Qadr menurut al-Māturīdī. Karena itu maka al-Qadhā’ menurut madzhab Asy‘arī adalah Qadīm, karena merupakan sebahagian dari sifat-sifat Dzāt Allah. Tetapi menurut Madzhab al-Māturīdī adalah baharu (ḥādits), karena al-Qadhā’ menurut mereka merupakan sifat perbuatan Allah.
Demikian pula pada istilah al-Qadar, di mana menurut Madzhab Asy‘arī adalah baharu, karena merupakan sifat perbuatan Allah dan menurut madzhab al-Māturīdī, al-Qadar itu ialah al-Qadhā’, karena itu al-Qadar merupakan keadaan yang berhubungan dengan ‘ilmu Allah, sedangkan ‘ilmu Allah merupakan sebahagian dari sifat Dzāt-Nya. Karena itu maka al-Qadar menurut madzhab ini adalah Qadīm.
وَ وَاجِبٌ إِيْمَانُنَا بِالْقَدَرِ – وَ بِالْقَضَاءِ كَمَا أَتَى فِي الْخَبَرِ.
“Kita wajib beriman dengan qadar dan qadhā’ seperti telah datang keterangan di dalam Hadits Nabi, tersebut dalam satu Hadits yang telah sepakat Imām Bukhārī dan Imām Muslim sebagai berikut:
إِنَّ سَائِلًا قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: هُوَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ مَلَائِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ حُلْوِهِ وَ مُرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى.
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Hai Rasūlullāh! Apakah itu Īmān? Menjawab Nabi s.a.w.: yaitu bahwa engkau beriman dengan Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasūl-rasūlNya dan hari kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t.
Dalam al-Qur’ān suraf al-Qamar juz 27 ayat 49:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan sesuatu menurut ketentuannya.”
Banyak Hadits-hadits dan ayat-ayat menerangkan tentang qadhā’ dan qadar. Meskipun di dalam ayat dan Hadits kita hanya menenui perkataan qadar saja, sebab antara keduanya menurut ‘ilmu Tauḥīd tak dapat dipisahkan.
Mitsalnya seseorang bermaksud mencuri maka sebelum ia melakukan perbuatan itu ia mengatakan bahwa Allah mengqadhā’ dan mentaqdirkan ia untuk mencuri. Hal keadaan ini adalah suatu hal yang tidak pantas, di samping ia telah mendahului Allah ta‘ālā apalagi mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Atau kita telah melakukan perbuatan yang mesum, maka demi untuk menghindarkan dari hukum, kita katakan bahwa Allah melakukan qadhā’ dan qadar-Nya atas hal itu. Tetapi apabila seseorang mengatakan seperti itu sekedar untuk menolak celaan orang lain maka tidak apa-apa. Hal keadaan ini berdasarkan kepada Hadits shaḥīḥ, yaitu berkata Nabi Muḥammad s.a.w.:
“Pada suatu kali di zaman dahulu kala bertemu roh Nabi Ādam a.s. dengan roh Nabi Mūsā a.s. Berkata Mūsā kepada Ādam: Tuan adalah bapak manusia di mana karena tuanlah maka keluar anak cucu tuan dari surga, karena disebabkan tuan memakan buah kayu terlarang”. Berkata Ādam: “Hai Mūsā engkau telah dipilih oleh Tuhan bercakap-cakap dengan-Nya dan Tuhan telah berikan kepada engkau kitab Taurāt. Kenapa engkau cela saya atas satu pekerjaan padahal Allah s.w.t. telah menaqdirkan hal keadaan itu atas saya sebelum Tuhan menjadikan saya pada zaman 40.000 tahun sebelumnya.”
Berkata Nabi Muḥammad s.a.w.: “Maka dengan alasan Ādam demikian Nabi Ādam telah mengalahkan Nabi Mūsā tentang persoalan ini.” (Lihat kitab Tuḥfat-ul-Murīdi ‘Alā Jauhar-it-Tauḥīd oleh Ibrāhīm al-Baijūrī, pada halaman 66).
Kita melihat dan berpendapat sesuai dengan ajaran Tashawwuf, bahwa Allah telah memberikan kemuliaan (karāmah) bagi para wali-Nya (auliyā’ Allah s.w.t.). Karena itu maka kita lihat dan kita dengar kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan kepada para wali dengan terjadinya hal-hal aneh-aneh. Hal keadaan ini disebabkan karena kekuatan jiwa Waliyyullāh yang timbul karena keberkatan ‘amal ‘ibādah yang dikerjakannya.
Sungguhnya demikian namun qadar dan qadhā’ Allah tidak dapat terlampaui. Segala sesuatu dalam alam ini adalah menurut kehendak dan keizinan Allah s.w.t.
Berfirman Allah s.w.t. dalam surat al-Baqarah juz 1 ayat 102:
وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ
“Mereka tidak bisa menghilangkan bahaya dari siapa pun terkecuali dengan idzin Allah s.w.t.”
Karena itulah maka pepatah mengatakan: “Sebelum ajal berpantang mata”. Dan kata hikmah orang kita “Langkah, rezki, pertemuan dan maut adalah di tangan Yang Maha Kuasa Allah s.w.t.”
Jawabnya, kalaulah kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-hambaNya yang dicintai oleh-Nya seperti “Mu‘jizat” kepada Nabi-nabi dan Karamah kepada Wali-wali tidak akan jalan kalau tidak dengan idzin Allah (ya‘ni dengan qadhā’ dan qadarnya). Maka apakah lagi pada hal-hal yang datang dari tukang sihir karena kekuatan jiwanya yang didorong oleh maksiat dan mendurhakai Allah s.w.t., lebih-lebih tidak akan jalan kalau tidak berlaku qadhā’ dan qadar Tuhan. Sebab itu harus kita ketahui bahwa hal-hal yang luar biasa dapat kita lihat adakala pada hamba-hambaNya yang shāliḥ maka ini merupakan suatu kemuliaan.
Adapun hal-hal yang luar biasa kita lihat pada hamba-hambaNya yang telah menyimpang dari kebenaran-Nya, seperti Iblīs, syaithān dan anak-anak buahnya, baik dari manusia atau lain-lainnya:
Maka kejadian hal-hal yang luar biasa pada mereka merupakan suatu penghinaan untuk mereka. Sebab pada hakikatnya suatu waktu, apakah di dunia atau di akhirat Allah s.w.t. pasti akan menindaknya. Walhasil, dalam segala sesuatu adalah qadhā’ dan qadar Tuhanlah yang berlaku dengan sebenarnya.
Karena itu kita boleh berikhtiar dan berusaha tetapi jangan lupa tawakkal dan menyerah kepada Allah agar Dia menentukan dengan ketentuan-ketentuan yang baik buat kita, duniawi kita dan ukhrawi kita.
Inilah penjelasan dan syarahan Kalam Hikmah yang telah tersebut di atas. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita, sebagai salah satu pedoman hidup kita di dunia yang fanā’ ini. Āmīn!