Ibnu ‘Abd-ul-Bārī mengatakan bahwa menurut ahli kalam, jinn terbagi atas beberapa tingkatan:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal penentuan asal-usul jinn. Dikatakan bahwa Iblīs adalah kakek moyang jinn dan ada pula yang berpendapat tidak begitu.
Ibnu Ḥajar berkata dalam bukunya al-Fatḥ 6/397: “Terdapat perbedaan dalam mengklasifikasi asal-usul mereka. Ada yang berpendapat bahwa jinn berasal dari anak Iblīs, maka jinn yang kafir disebut syaithan. Ada pula yang berpendapat bahwa syaithan syaithan secara khusus adalah anak-anak Iblīs dan selain mereka bukanlah termasuk anak syaithan.”
Ibnu ‘Abbās dalam hadits yang akan datang menjelaskan tafsir surah al-Jinn menguatkan bahwa mereka itu adalah sejenis, hanya saja berbeda dalam penggolongannya. Jika kafir, maka disebut syaithan dan jika ia tidak kafir, maka disebut jinn.
Mengenai masalah taklif atau kewajiban mereka kepada Allah, maka mereka diuji baik ia meninggalkan atau mengerjakan sesuai perintah maupun larangan Allah. Bagi mereka, ada hak berkehendak yang bersifat ikhtiyāriyyah “memilih” atas hal tadi dan dengan demikian, maka ia dibatasi dengan adanya pahala dan dosa.
Dalam menafsirkan firman Allah:
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jinn.” (ar-Raḥmān: 31).
Juga firman Allah:
“Katakanlah (hai Muḥammad): “Telah diwahyukan.” (al-Jinn: 1).
Imām al-Qurthubī berpendapat bahwa ayat itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa jinn sama seperti manusia, sebagai objek pembicaraan, diberi tanggungjawab, diperintah, dilarang, diberi pahala dan disiksa. Berimannya bangsa jinn, sama seperti berimannya bangsa manusia, kekufuran mereka, seperti kekufuran manusia. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan sama sekali antara kita dan mereka. Dengan demikian, di antara bangsa jinn, terdapat pula golongan jinn yang beriman, bertaqwa, saleh yang takut kepada Allah dan mengharapkan rahmat dari Allah, serta beramal atas dasar ketaatan kepada Allah.
Dari sekian individu jinn, ada pula jinn yang bertambah nilai keimanannya sehingga melebihi iman kebanyakan bangsa manusia. Walaupun begitu, iman manusia tetap lebih terpilih dan lebih besar nilai kemuliaannya di sisi Allah daripada bangsa jinn. Hal itu merupakan pemuliaan Allah terhadap manusia yang Dia lebihkan atas makhluk-makhluk yang lain, termasuk jinn. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Ādam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (al-Isrā’: 70).
Di antara bangsa jinn, ada pula yang fasik dan yang kafir. Sebagaimana firman Allah s.w.t. mengenai mereka:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (al-Jinn: 11).
Imām as-Suddī berkata: “Jinn itu sama halnya seperti kalian semua, yakni ada yang berpaham Qadariyyah, Murji‘ah, Khawārij, Syī‘ah, dan Sunnī.”
Ibnu Katsīr dalam menafsirkan ayat di atas menjelaskan satu kisah dari al-A‘masy. Suatu ketika dari bangsa jinn mendatangi kami, lalu aku tanyakan kepadanya: “Apakah makanan yang engkau suka?”
“Nasi”, jawabnya.
Maka aku mendatanginya dan melihat satu kepal makanan terbang dan aku tidak melihat seseorang pun. Lalu aku tanyakan lagi: “Adakah kalian memiliki hawa nafsu seperti yang ada pada kami?”
Ia menjawab: “Ya.”
Aku tanyakan lagi: “Apa yang menjadi penolak pada kalian?”
Ia menjawab: “Kejahatan kami.”
Ibnu Katsīr menuturkan bahwa sanad ini aku sampaikan kepada Syaikh kami, Abul-Ḥujjāj al-Mazanī dan ia mengatakan bahwa isnād ini benar dan shaḥīḥ sampai pada al-A‘masy.