“‘Alam semuanya adalah gelap-gulita dan bahwasanya yang mengadakannya ialah Allah s.w.t. dengan zhahirnya pada ‘alam itu sendiri. Maka barang siapa yang melihat ‘alam padahal ia tidak melihat Allah dalamnya atau disampingnya atau sebelumnya atau sesudahnya, niscaya sungguh telah luput padanya ada segala nūr Ketuhanan dan terdinding daripadanya ma‘rifat dengan sebab bekas-bekas ‘alam (bahkan alam itu sendiri).”
Pengertian dari Kalam Hikmah ini dalam sekali. Karena itu kita harus memahaminya dengan mendalam dan jangan kita lihat maksudnya menurut lahiriyyah dan sepintas lalu saja. Untuk itu marilah kita fahami sebagai berikut:
الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ
Maksudnya bahwa ‘alam mayapada ini, segala makhlūq sekaliannya pada hakikatnya merupakan gelap-gulita tidak ada padanya sinar cahaya yang dapat memberi petunjuk kita kepada sesuatu. Sebab ‘alam, pada hakikatnya menurut pandangan hamba-hamba Allah yang selalu mata hatinya melihat Allah, adalah nihil dan tidak ada apa-apanya. Artinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa, api tidak membakarkan, nasi tidak mengenyangkan, pisau tidak memutuskan dan lain sebagainya kalau tidak dikehendaki oleh Allah s.w.t. pada waktu bersentuh antara sebab dengan musabbab. Bahkan ‘alam itu sendiri, langit dan bumi dan isi keduanya tidak ada apa-apa bila tidak diadakan oleh Allah s.w.t.
‘Alam semuanya ini baru ada adalah dengan diadakan oleh Allah s.w.t. terbagi kepada beberapa hal:
Hal keadaan ini disebabkan oleh karena ia melihat pekerjaannya, usahanya, kepandaiannya dan lain sebagainya tanpa melihat kepada yang telah menggerakkan semuanya itu yaitu Allah s.w.t.
Tidak ada tempat berpegangnya selain dari Allah, dan tidak ada pada ‘alam yang dilihatnya itu hatinya selalu melihat, bahwa semuanya itu adalah dari Allah, karena Allah-lah yang menjadikan segala-galanya. Karena itu, maka dalam ia melihat Allah dengan bekas-bekas kekuasaan-Nya dan sifat-sifatNya yang Maha Suci dan Maha Agung. Apabila sebagian manusia belum dapat melihat dan merasakan keyakinan ini maka tidak ada sebabnya terkecuali karena ia masih melihat bahwa segala sesuatu itu dapat tercapai atau tidaknya adalah dengan usaha tanpa ada perhatian kepada Allah yang telah menciptakan usahanya itu.
Apakah yang diatur oleh Allah itu sesuai dengan kehendak ‘alam atau tidak. Karena itu demi melihat Allah dalam arti ini maka ia harus bersyukur kepada-Nya apalagi apabila apa yang ia dapatkan sesuai dengan apa yang dicintainya. Itulah yang menyebabkan pula ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya.
Sebab itu maka berkumpullah padanya dua sifat yang terpuji yaitu:
Inilah yang dimaksud dengan Hadits yang telah diriwayatkan oleh Abū Hurairah r.a. Berkata Abū Hurairah, bersabda Rasūlullāh s.a.w.: Berfirman Allah s.w.t.:
أَنَا عِنْدَ طَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَ أَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ وَ إِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَ إِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَ إِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَ إنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً.
“Aku adalah di mana sangka hamba-Ku pada-Ku, Aku beserta dia apabila dia mengingat-Ku. Jika ia ingat Aku dalam dirinya, Aku ingat padanya pada diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di tengah jamā‘ah (manusia ramai) maka Aku mengingatnya dalam jamā‘ah yang lebih baik dari mereka. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku mendekatinya sehasta. Dan jika dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku mendekatinya sejengkal dan jika ia mengdatangi-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku datang kepadanya berlari.”
Hadits ini menerangkan kepada kita dengan ‘ibārat dan isyārat yang menggambarkan hampir-Nya Allah s.w.t. berlebihan dari hampirnya kita kepada-Nya.
Pengertian kalimat dalam Hadits ini adalah dalam sifat majaz dan kiasan bukan menurut ma‘na secara bahasa. Karena itu, maka maksud Hadits ini ialah: Apabila hati kita dan perasaan kita dekat kepada Allah, maka Allah akan lebih dekat lagi kepada kita. Jadi hamba Allah dalam bahagian ini apabila kita selalu dalam keadaan lalai dan meninggalkan hak-hak Allah ta‘ālā terhadap kita.
Sebagian manusia melihat alam, tetapi sebelumnya telah melihat Allah s.w.t. atau dengan perkataan lain telah lebih duluan menjadi keyakinan dan pengetahuan dalam hatinya, bahwa ‘alam yang ia lihat kemudiannya adalah menurut kehendak Allah dan qudrat-Nya.
Hamba Allah dalam sifat ini baginya Allah sebagai dalīl dan ‘alam sebagai madlūl, ya‘ni ia melihat keadaan ‘alam yang demikian gambarannya berdalīl kepada Allah yang menghendaki sedemikian itu. Maka bagi hamba Allah ini dengan sebab hal keadaan tadi menjadikan ia harus bertawakkal dan menyerah diri kepada Allah s.w.t.
Sebab ia mengetahui, bahwa tiap-tiap sesuatu dari ‘alam adalah datang dari Allah s.w.t. sebagaimana firman-Nya dalam surat asy-Syūrā juz 25, ayat 42, sebagai berikut:
لَهُ مَقَالِيْدُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَ يَقْدِرُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Dia yang mempunyai kunci langit dan bumi, dilapangkan-Nya rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan dibatasi-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Oleh sebab itu, maka hamba Allah yang keadaannya telah sampai ke taraf ini, dengan sendirinya jauh daripadanya kelalaian terhadap Allah. Oleh karena di samping ia selalu bersyukur kepada Allah juga ia dalam segala sesuatu rela dan menyerah ke atas kehendak Allah terhadap ‘alam pada umumnya dan dirinya pada khususnya.
Tetapi apabila ia melihat sesuatu itu terlepas dari Allah dan dirinyalah menentukan segala sesuatu, maka kelezatan melihat Allah seperti tersebut di atas tidak ada padanya, bahkan mustaḥīl secara adat.
Hamba Allah dalam tingkat ini hanya dapat merasakan bahwa ‘alam sebagai dalīl dan Allah sebagai madlūl kebalikan daripada tingkatan sebelumnya.
Tingkatan ini adalah paling bawah dari keseluruhan dan tidak ada di bawah ini selain hanya martabat orang-orang yang selalu bergelimang dengan lumur kelalaian yang membawanya jatuh dalam jurang kerugian.
Berfirman Allah s.w.t. dalam surat al-‘Ankabūt juz 21, ayat 52:
وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالْبَاطِلِ وَ كَفَرُوْا بِاللهِ أُوْلئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
“Dan orang-orang yang beriman dengan yang bāthil dan tidak percaya kepada Allah. Itulah orang yang menderita kerugian.”
Kesimpulannya, 4 golongan seperti tersebut di atas adalah hamba-hamba Allah yang berada dalam tingkatan-tingkatannya adalah mendapat nūr ilahi atau cahaya Allah yang dilimpahkan oleh-Nya ke dalam hati mereka.
Tetapi bagi hamba-hamba Allah di mana mereka tidak dapat melihat Allah s.w.t., oleh karena hatinya telah begitu tebal dengan pengaruh ‘alam duniawi, adalah mereka itu berada dalam kerugian sepanjang masa.
Mudah-mudahan dijauhkan hati kita sekalian oleh Allah s.w.t. dari golongan yang terakhir ini.