RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS
Imam Sayid Abdul Husain Syarafuddin Musawi dilahirkan pada tahun 1290 H di kota Kazhimiyah (Irak), dari kedua ibu-bapaknya yang silsilah keturunannya bersambung sampai kepada Rasulullah saw.
Ketika mencapai usia 8 tahun ia dibawa oleh ayahnya ke kota Amil, sebelah selatan Lebanon, tempat asal keluarga sang ayah. Di sana dia belajar berbagai ilmu tentang bahasa Arab, balaghah, logika, fikih, usul fikih dan lain-lainnya. Sejak kecil sudah tampak bakat dan kecerdasannya yang amat menonjol di kalangan kawan-kawannya yang sebaya.
Pada usia 17 tahun, dia pergi ke kota-kota Najaf, Samarra dan lain- lain di Irak untuk melanjutkan pelajarannya. Tak lama kemudian ia pun dikenal sebagai seorang pemuda yang disegani di kalangan kaum terpelajar karena pengetahuannya yang luas, kecerdasannya yang memikat, ketelitiannya dalam pembahasan, keunggulannya dalam berdiskusi, di samping watak sopan santun dan akhlaknya yang mulia.
Atas perintah ayahnya-ketika dia telah menginjak usia 32 tahun- dia kembali ke Amil di Lebanon. Kedatangannya disambut secara amat meriah oleh penduduk termasuk para alim ulama dan para pemuka daerah itu. Di sana dia memangku jabatan sebagai seorang mujtahid besar dan membina lingkungannya yang baru itu dengan cara hidup yang ketat dalam urusan agama, lunak dalam hubungannya dengan masyarakat sekitarnya, tegas dalam membela kebenaran, kasih sayang pada kaum duafa, teguh dalam amar makruf dan nahi mungkar, dan tawaduk di hadapan para ulama.
Dia adalah seorang ahli khotbah yang fasih dan lancar. Ucapan- ucapannya sangat berpengaruh dan selalu diikuti dengan saksama oleh pendengarnya. Di bidang politik, dia amat aktif berjuang menentang pemerintahan kolonial Perancis yang ketika itu masih menjajah negeri Lebanon, dan dengan khotbah-khotbahnya yang berapi-api membangkitkan semangat para pejuang untuk mengusir para penjajah. Hal tersebut menyebabkan pemerintah yang berkuasa berusaha menangkap atau membunuhnya. Beberapa antek-antek mereka berusaha menyerbu rumahnya, namun gagal mencapai tujuannya. Akhirnya, dia terpaksa mengungsi bersama keluarganya ke Damaskus, setelah rumahnya di kota Shuhur dibakar habis oleh musuh-musuhnya, kemudian diikuti pula dengan membakar dan memusnahkan rumahnya yang lain di Shuhur setelah merampas dan merampok semua isinya. Semuanya musnah, namun yang amat menyakitkan hatinya ialah terbakarnya perpustakaan pribadinya bersama seluruh buku berharga di dalamnya, termasuk 19 buah buku karangannya yang masih ditulis tangan dan belum sempat dicetak. Inilah kerugian terbesar yang tidak mungkin dinilai harganya.
Pada saat memuncaknya tekanan-tekanan yang ditujukan pada dirinya oleh pemerintah kolonial yang kejam, ia memutuskan untuk pergi ke Mesir di akhir tahun 1329 H dalam suatu wisata ilmiah, di mana dia disambut oleh para ulama dengan sambutan yang meriah sekali. Dia juga bertemu dengan Rektor Al-Azhar pada waktu itu, yaitu Syekh Salim Bisyri al-Maliki. Dalam beberapa pertemuan yang berlangsung, mereka berdiskusi mengenai keadaan kaum muslim, tentang perpecahan dan permusuhan antara mereka terutama antara kelompok Sunnah dan Syi’ah, dan bagaimana hal tersebut bisa ditanggulangi. Sebagai salah satu hasil kunjungannya itu, ialah berlangsungnya dialog-dialog di antara kedua tokoh besar itu, yang membahas beberapa pokok masalah penting dalam ikhtiar mendekatkan pandangan kedua kelompok tersebut dan pada akhirnya membuahkan kitab Al-Muraja’at yang di hadapan kita sekarang ini.
Delapan tahun kemudian ia kembali ke Mesir, dengan menyamar dalam pakaian seorang Arab Badui penghuni padang pasir, setelah dia merasa tidak aman lagi tinggal di daerah Syam, dalam pengejaran pemerintah kolonial yang, telah menjatuhkan hukuman mati in absentia atas dirinya. Dia juga berpindah-pindah dari Palestina, Suriah dan sekitarnya.
Sekalipun dia selalu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang bertumpuk di bidang kemasyarakatan, namun dia tidak pernah meninggalkan kegiatannya di bidang ilmu pengetahuan. Setiap hari dia menyibukkan diri dengan mengajar, membahas, membaca, menulis, berceramah dan berdiskusi dengan murid-murid dan kawan-kawannya. Dalam saat-saat istirahatnya, dia sering menyendiri di ruang perpustakaannya, membaca buku-buku yang digemarinya dan melupakan sejenak beban hidupnya, yang amat melelahkan itu.
Berpuluh-puluh buku yang telah dikarang dan diterbitkannya, antara lain: Al-Muraja’at ini, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Urdu dan Inggris (pada saat ini versi Arabnya sudah mencapai cetakan ke-18). Buku-buku lainnya adalah: Al-Fushul al- Muhimmah fi Talif al-Ummah [Buku ini membahas isu-isu ikhtilaf antara Sunni dan Syi’ah dalam pandangan kalam, akal, deduksi dan analisis), Ajwibat Masail Musa Jarullah [buku kecil ini membahas dua puluh pertanyaan yang diajukan oleh Musa Jarullah kepada ulama Syi’ah], Al-Kalimah al-Gharra’fi Tafdhil al-Zahra a.s. [sisipan sekitar 40 halaman pada buku Al-Fushul al-Muhimmah], Al-Majalis al-Fakhirah fi Ma’atim al-Itrah al-Thahirah [risalah sekitar 72 halaman ini menjelaskan falsafah memperingati kesyahidan Imam Husain], Al-Nash wa al-Ijtihad, Abu Hurairah [karya ini menguraikan biografi Abu Hurairah, situasi zamannya, para sahabatnya, riwayat-riwayatnya dan lain-lain), Masail Fiqhiyah dan masih banyak lainnya. Banyak pula naskah karangannya yang telah musnah sebelum sempat dicetak seperti yang telah disebutkan di atas.
Di antara tema pembahasan, ceramah-ceramah dan buku-buku karangannya yang paling diutamakan ialah upaya mempersatukan ataupun mendekatkan antara kelompok-kelompok yang saling berbeda paham dalam soal-soal ushul dan furuk di antara kaum muslim, terutama antara kelompok Sunnah dan Syi’ah. Tak bosan- bosannya dia memberi penjelasan dan imbauan agar kedua kelompok ini dapat saling memahami pendirian lainnya, dengan dada lapang dan didasari semangat toleransi dan ukhuwah Islamiyah.
Dia juga telah berhasil membangun dan menyelenggarakan sekolah- sekolah dari tingkat dasar sampai ke Perguruan Tinggi, masjid dan gedung pertemuan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan agama, dan juga mendirikan lembaga yang menyantuni kaum fakir-miskin dan kaum lemah lainnya.
Dia meninggal dunia dalam usia 87 tahun, pada tanggal 8 Jumadil Akhir 1377 H, atau 30 Desember 1957, di Amil, Lebanon. Jenazahnya kemudian diterbangkan ke Baghdad, dan dari sana dibawa ke Karbala dan Najaf untuk dimakamkan di sana, di tempat pemakaman keluarganya.
(Dikutip dari tulisan Syekh Murtadha Yasin dan Muhammad Shadiq Shadr)
DIALOG NOMOR 1
6 Zulkaidah 1329 Η
1. Ucapan salam.
2. Memohon izin untuk berdialog.
1. Salam sejahtera, serta rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan atas diri Yang Mulia Allamah, Syekh Abdul Husain Syarafuddin Musawi.
Di waktu-waktu yang lalu, saya belum pernah mengenal sifat dan perangai kaum Syi’ah secara mendalam. Hal itu disebabkan saya belum berkesempatan bergaul secara akrab dengan para pemukanya maupun dengan kaum awam di kalangan mereka. Padahal sungguh besar keinginanku untuk itu agar dapat memahami pendirian mereka dan meneliti keinginan-keinginan dan aspirasinya. Oleh karenanya, ketika Allah Swt berkenan mengizinkanku untuk memperoleh kehormatan, bertemu muka dengan Anda, menikmati ilmu dan keutamaan sifat-sifat Anda; sungguh puaslah hati ini sepuas- puasnya, hilang pula rasa dahaga yang kualami selama ini.
Demi Kota Ilmu Allah-Al-Musthafa datuk Anda – dan demi Pintu Kota itu-Al-Murtadha ayah Anda – sungguh belum pernah sebelumnya, saya merasakan kepuasan dan kebahagiaan seperti ini).1
Sudah sejak lama saya mendengar kabar-kabar tentang kebiasaan kaum Syi’ah yang selalu mengisolasi dirinya dari saudara-saudara mereka, Ahlusunnah; dan bahwa mereka itu selalu bersifat murung; lebih suka hidup menyendiri, bersunyi dalam uzlah, dan seterusnya… dan seterusnya.
Namun semua prasangka itu telah hilang semenjak saya berhasil berkenalan dengan Anda. Kutemukan dalam diri Anda pribadi yang begitu lemah lembut dalam percakapan, amat teliti dalam pembahasan, pandai menarik hati, kuat dalam beragumentasi, sopan dalam bersenda gurau, menyenangkan dalam pergaulan, kesatria dalam pertentangan, dan menjaga kebenaran dan persaingan! Tiba-tiba saya menyadari bahwa seorang Syi’ah adalah mitra berbincang yang amat berharga, idaman setiap insan yang halus perasaannya.
2. Sekarang saya berdiri di pantai lautan ilmu Anda yang mahaluas, mengharapkan izin untuk mengarunginya; menyelam untuk memperoleh mutiara-mutiara yang berharga di kedalamannya. Sekiranya Anda mengabulkan permohonan ini, kita akan bersama- sama menyelami dan membahas masalah-masalah yang rumit dan berbelit belit, yang sejak lama sekali mencari cari jawaban dalam hatiku. Tetapi jika tidak, semuanya terserah kepada Anda juga.
Percayalah, semua yang akan kukemukakan pada Anda ini sekali-kali bukanlah kumaksudkan untuk mencari kesalahan lawan, ataupun ingin membongkar rahasia kekurangannya. Bukan pula saya ingin mendustakan seseorang atau mencemarkan namanya. Namun sesungguhnya saya tidak lebih dari seorang yang ingin menyelidiki sesuatu yang berharga yang selama ini telah hilang, dan demi mencari kebenaran.
Dan bila nanti, kebenaran itu yang tampak bagiku, itulah yang lebih layak untuk diikuti, Jika tidak, maka seperti yang dikatakan orang, Kami puas dengan yang ada pada kami, begitu pula Anda dengan yang Anda miliki, sedangkan pndirian kita tetap berbeda.”
Sekarang, jika Anda mengizinkan, saya akan membatasi diskusi kita ini pada dua pokok persoalan:
1. Tentang kepemimpinan mazhab dalam soal-soal ushul (akidah) dan furuk (cabang-cabang hukum syariat).
2. Tentang kepemimpinan umum, yaitu tentang soal khilafah (pengganti Rasulullah saw) sebagai pemimpin di bidang agama dan pemerintahan).2
Saya akan membubuhkan paraf yang ditandai dengan huruf (S) di bawah setiap surat dalam dialog ini; maka hendaknya paraf Anda ditandai dengan huruf (SY).
Sebelumnya, saya mohon maaf atas segala kelalaian.
Wassalam,
(S)
DIALOG NOMOR 2
6 Zulkaidah 1329 H
1. Membalas ucapan salam.
2. Izin untuk memulai diskusi.
1. Salam sejahtera, rahmat Allah dan berkah-Nya semoga dilimpahkan atas Yang Mulia Maulana Syekhul Islam.
Telah Anda limpahkan segala kebaikan dan kebahagiaan atas diriku dengan surat Anda yang demikian lemah lembut, yang mustahil saya mensyukurinya dan membalasnya sepanjang masa.
Anda telah menunjukkan harapan kepadaku, padahal Anda adalah “kiblat” bagi setiap yang berpengharapan, tempat aman bagi yang berlindung.
Saya datang dari negeri Suriah membawa cita-cita dan harapan, untuk kemudian berhenti di halaman Anda semata-mata ingin memperoleh manfaat ilmu dan sifat-sifat keutamaan Anda. Sungguh besar harapanku dan sungguh kuat keyakinanku untuk mendapatkannya. Insya Allah.
2. Anda telah meminta izin untuk memulai percakapan antara kita- padahal Anda lebih berhak memerintah atau melarang!
Tanyakanlah apa yang Anda inginkan. Katakanlah apa yang Anda kehendaki. Dengan itu Anda telah berjasa atas diriku. Dengan ucapan Anda yang benar dan penilaian yang adil.
Wassalam,
(SY)
Menarik pula usul beliau agar masing-masing pihak memaraf pembahasannya dengan huruf S dan SY. Huruf (S) adalah huruf pertama dari nama beliau (Salim), dan juga merupakan huruf pertama dari nama mazhab yang dianutnya (Sunnah). Adapun huruf (SY) ialah huruf pertama dari nama julukanku (Syarafuddin), dan bahwa aku adalah dari kelompok Syi’ah (SY).