Al Muraja’at | Dialog No.7 s.d No.8 (2/2)

Al Muraja'at
Oleh : Sayyid Syarafuddin Al-Musawi
Penerjemah : Pedar Haidar
Penerbit : Busyra, Kaliurang

(lanjutan)

mutawatir. Lebih dari 20 orang sahabat nabi yang meriwayatkannya. Pada beberapa peristiwa yang berlainan, Rasulullah saw telah menyampaikannya secara terbuka. Sekali di Ghadir Khum seperti yang telah Anda dengar tadi, Juga pada hari wukuf di Arafah pada waktu Haji Wada. Dan pada waktu beliau pulang dari Thaif. Sekali lagi dari atas mimbarnya di Madinah. Dan juga di kamar beliau yang mulia pada saat beliau sakit menjelang wafatnya. Ketika itu kamarnya penuh sesak dengan para sahabat. Beliau berkata, “Wahai manusia semua! Kiranya telah dekat saatnya aku akan dibawa pergi dengan secepatnya, dan aku telah berpesan padamu sebelum ini demi melepaskan tanggung jawabku pada kalian. Ketahuilah! Aku telah meninggalkan bagimu kitab Allah dan itrahku, Ahlulbaitku.” Lalu beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata, “Inilah Ali selalu bersama Alquran, dan Alquran pun selalu bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang menghadap aku di Telaga Haudh.”1

Hal ini diakui oleh banyak sekali di antara tokoh-tokoh penting dari kalangan Jumhur (Ahlusunnah), sehingga Ibnu Hajar ketika meriwayatkan hadis Tsaqalain ini berkata, “Ketahuilah, bahwa hadis tentang kewajiban berpegang kuat pada keduanya (kitab Allah dan Ahlulbait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh lebih dari 20 orang sahabat. Dia menambahkan, “Jalan riwayat hadis itu telah disebutkan secara terperinci pada bab kesebelas (dari kitabnya yang bernama Al-Shawaiq al-Muhriqah). Di antaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah saw di Arafah pada waktu Haji Wada. Dalam riwayat lain, beliau mengucapkan ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang memenuhi kamar beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa beliau mengucapkannya di Ghadir Khum. Ada juga riwayat menyebutkan ucapan beliau itu saat beliau pulang dari Thaif ketika beliau berkhotbah di hadapan para sahabat, sebagaimana telah disebutkan tadi.” Ibnu Hajar melanjutkan, “Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat itu saling bertentangan, karena mungkin saja Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagi tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap Alquran dan dan Ahlulbait yang suci.” (Baca selanjutnya keterangan Ibnu Hajar)2

Cukuplah sudah bagi para Imam dari kalangan keluarga suci Nabi saw, kenyataan bahwa kedudukan mereka di sisi Allah dan Rasul- Nya, telah disejajarkan dengan kedudukan Alquran. “Yang tiada dimasuki kebatilan dari arah depan maupun belakang.” Dan hal itu sudah merupakan hujah (bukti nyata) yang memaksa kita beribadah dengan cara mazhab mereka. Karena seorang muslim tidak sekali-kali bersedia menggantikan kitab Allah dengan sesuatu lainnya. Maka itu, bagaimanakah dia dapat berpaling dari Ahlulbait padanan kitab-Nya!

5. Tentunya yang bisa dipahami dari ucapan Rasulullah saw. “Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang seandainya kalian berpegang kuat padanya, tiada kalian akan sesat, yaitu kitab Allah dan itrahnya“; maksudnya adalah bahwa kesesatan itu akan menimpa orang yang tidak mau berpegang pada keduanya, sebagaimana pasti Anda maklum. Hal itu dikuatkan pula oleh ucapan beliau dalam hadis Tsaqalain menurut versi yang diriwayatkan oleh Thabrani yang kelanjutannya sebagai berikut, …” Maka janganlah kalian mendahului keduanya nanti kalian binasa, Jangan pula kalian ketinggalan dari mereka, nanti kalian celaka. Dan jangan mengajari mereka, karena mereka itu lebih mengerti dari kamu.

Ibnu Hajar berkata: Ucapan Rasulullah saw, “… Janganlah kalian mendahului keduanya…dan seterusnya menunjukkan kepada kita bahwa barang siapa di antara Ahlulbait ada yang memiliki kemampuan untuk jabatan-jabatan yang tinggi atau tugas-tugas keagamaan, hendaknya ia diutamakan dari orang-orang selain mereka (demikian Ibnu Hajar dalam komentarnya)…3

6. Dan di antara hal-hal yang mewajibkan seorang muslim berpegang kokoh pada (tuntunan) Ahlulbait, bahkan memaksanya untuk kembali dalam urusan-urusan agama kepada mereka saja (dan bukan pada selain mereka), ialah ucapan Rasulullah saw, “Sesungguhnya kedudukan Ahlulbait di antara kalian, ibarat Bahtera Nuh. Barang siapa yang ikut berlayar besamannya, dia akan selamat. Dan barang siapa yang enggan atau terlambat, dia akan tenggelam! Dan perumpamaan Ahlulbaitku di antara kalian, sama seperti ‘pintu pengampunan’ bagi Bani Israil. Barang siapa memasukinya maka dosa-dosanya akan terampuni!..4

Sabda Rasulullah saw pula, “Bintang-gemintang (di langit) adalah petunjuk keselamatan bagi penghuni bumi dari bahaya tenggelam. Dan ‘Ahlulbaitku’ adalah penyelamat umatku dari bahaya perpecahan (dalam agama). Jika salah satu dari kabilah-kabilah Arab yang menyeleweng dari mereka (dalam hukum-hukum Allah), niscaya mereka akan bercerai berai dan menjadi ‘partai iblis…”5

Demikianlah apa yang disampaikan tentang kewajiban umat untuk mengikuti (Ahlulbait), dan mencegah daripada penolakan terhadap kepemimpinan mereka. Menurut perkiraan kami, tidak ada satu pun bahasa manusia semuanya, yang lebih terang dalam kesimpulan maknanya menyangkut hal ini.

7. Adapun yang dimaksud dengan Ahlulbait di sini tentunya bukan keseluruhan mereka, tetapi hanya terbatas pada pemuka-pemuka (Imam-Imam) yang berasal dari kalangan mereka. Karena kedudukan yang maha penting ini, baik berdasarkan akal atau berdasarkan dalil-dalil agama, hanya ditujukan bagi mereka yang benar-benar ahli dalam syariat Allah dan melaksanakan perintah- perintah-Nya dengan sebaik-baiknya. Hal ini telah diakui pula oleh sekelompok dari tokoh-tokoh terkenal dari kalangan Jumhur (Ahlusunnah), seperti misalnya yang termaktub dalam kitab Al- Shawaiq al-Muhriqah karangan Ibnu Hajar, Dan sebagian lagi berkata: mungkin yang dimaksud dengan Ahlulbait yang mereka itu (menurut hadis) merupakan jaminan keselamatan dari perpecahan dalam agama, adalah para ulama Ahlulbait. Karena dari merekalah diharapkan petunjuk, seperti halnya bintang-gemintang di langit menjadi petunjuk jalan di malam hari, dan bila mereka tiada lagi berada di antara umat, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan dan mengalami bencana-bencana seperti yang telah diperingatkan Allah kepada mereka…”

Ibnu Hajar meneruskan, “Hal itu akan terjadi pada saat datangnya Mahdi, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Isa as akan bersalat di belakangnya (bermakmum), dan bahwa Mahdi akan menbunuh Dajjal zaman itu, dan setelah itu, bencana-bencana akan berdatangan silih berganti…” -baca keterangan selanjutnya.”6

Pada bagian lain, Ibnu Hajar berkata pula bahwa Rasulullah saw pernah ditanya, “Berapa lama manusia akan bertahan setelah itu?” Nabi menjawab, “Selama waktu bertahannya seekor keledai yang patah tulang punggungnya.7

8. Tentunya Anda mengerti bahwa diumpamakannya mereka (Ahlulbait) itu laksana Bahtera Nuh, maksudnya adalah barang siapa yang berlindung pada mereka dalam urusan agamanya dan mendasarkan pelaksanaan ushul dan furu syariat sesuai dengan petunjuk para Imam dari kalangan Ahlulbait yang diberkati (oleh Allah), maka dia akan selamat dari azab api neraka. Sebaliknya, siapa yang tidak mau bersama mereka, akan sama halnya seperti mereka yang pada saat mengamuknya air bah di zaman Nabi Nuh as mencoba berlindung di puncak guna mencari keselamatan dari azab Allah. Bedanya hanyalah, jika orang-orang pada waktu itu tenggelam dalam air bah, maka orang-orang ini (yang tidak mau mengikuti petunjuk Ahlulbait as) akan jatuh tenggelam ke dalam neraka (semoga Allah melindungi kita daripadanya)!

Mengenai perumpamaaan mereka itu (Ahlulbait as) seperti Pintu Pengampunan8, adalah bahwa Allah Swt telah menjadikan pintu itu sebagai manifestasi sikap merendahkan diri di hadapan keagungan Allah, serta khusuk dan tunduk terhadap perintah-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datangnya magfirah dan ampunan-Nya. Demikian pula dengan umat ini, apabila mereka dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk para Imam dari kalangan kerabat Rasulullah saw, hal ini pun akan merupakan manifestasi sikap merendahkan diri terhadap keagungan Allah, dan taat serta tunduk pada kehendak-Nya. Sikap seperti ini akan mendatangkan magfirah dan ampunan bagi mereka dari Allah Swt! Di sinilah letak persamaan perumpamaan yang disampaikan oleh Rasulullah saw.

Ibnu Hajar telah berusaha membuat persamaan dalam hal ini setelah ia menukilkan hadis-hadis seperti ini dan lain-lainnya sebagai berikut,9 “Menyamakan mereka (Ahlulbait) itu dengan Bahtera Nuh berarti bahwa barang siapa mencintai dan menghormati mereka sebagai manifestasi rasa terima kasih dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan kemuliaan atas mereka, dan dia juga mengikuti petunjuk para ulama dari kalangan mereka, niscaya ia akan selamat dari akibat melanggar perintah Allah. Sebaliknya, barang siapa yang menjauhkan diri, ia akan tenggelam di lautan “kufur nikmat” (mengingkari nikmat Allah), dan ia akan binasa dalam lembah-lembah kebatilan.”10

Selanjutnya Ibnu Hajar meneruskan, “Arti dari perumpamaan (Ahlulbait) dengan Pintu Pengampunan, ialah bahwa Allah Swt menjadikan cara Bani Israil Ariha atau kota Baitul Maqdis dengan merendahkan diri sambil memohon ampunan Allah sebagai sebab bagi magfirah-Nya atas Bani Israil. Demikian pula Allah Swt telah menjadikan kecintaan kepada Ahlulbait sebagai penyebab dilimpahkan-Nya maghfirah atas umat ini.”

Masih banyak lagi hadis-hadis shahih dan mutawatir tentang kewajiban mengikuti (kepemimpinan) Alhulbait, terutama yang diriwayatkan melalui itrah suci Rasulullah saw. Sekiranya kami tidak merasa Anda akan menjadi bosan, pasti kami akan melepaskan kendali pena ini dalam upaya menukilkan lebih banyak lagi. Namun kami berpandangan, apa yang telah kami sampaikan, sudah mencukupi kebutuan akan hal itu.

Wassalam,

(SY)

(bersambung)

Catatan:

  1. Perhatikan dan baca kembali yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya, Al-Shawaiq al Muhriqah, Bab 9, Pasal 2, halaman 57.
  2. Baca kembali keterangan Ibnu Hajar dalam kitabnya itu, ketika dia menuturkan ayat (QS. al-Shaffat [37]:24), Pasal 1. Bab 11, halaman 89.
  3. Baca kembali keterangan Ibnu Hajar pada halaman 153, dari kitabnya Al-Shawaiq, lalu ditanyakan padanya:  Mengapa (setelah keterangan itu) dia masih saja meninggalkan kupemimpinan Ahlulbait dan bahkan mendahulukan Asyari dalam ajarannya tentang ushuluddin dan para imam dari empat mazhab dari soal-soal furu’ (fikih)? Dan bagaimana pula dia meninggalkan Ahlulbait dalam riwayat hadis, lalu mendahulukan Imran bin Hattan dan sebangsanya dari kaum Khawarij? Dan mendahulukan Muqatil bin Sulaiman dari kelompok Murjiah Mujassimah di bidang tafsir? Dan mendahulukan orang-orang seperti Ma’ruf di bidang ilmu akhlak, etika serta penyakit-penyakit jiwa dan pengobatannya, sambil meninggalkan para Imam duri Ahlulbait? Dan bagaimana dia sampai hati membantah hak ‘kepemimpinan umum’ dan hak untuk ‘menggantikan dan mewarisi kedudukan Nabi saw bagi ‘Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu, pendukung serta pembantu terdekat beliau, satu-satunya yang ditugaskan beliau untuk menyampaikan apa yang tidak boleh disampikan oleh orang lain? Dan bagaimana dia lebih mengutamakan kedudukan kepemimpinan umum (khilafah) itu, bagi anak cucu si cicak (Marwan bin Hakam)? Dan bagaimana dia meninggalkan bak keluarga suci Nabi saw dalam menduduki jabatati-jabatan keagamaan yang mulia itu, kemudian mengesahkannya bagi para penentang merekal Dan mengapa dia dalam hal itu mengikuti jejak lawan-lawan mereka? Apakah gerangan yang dapat dilakukannya ketika berhadapan dengan hadis hadis sahih tentang Tsaqalain dan sebagainya? Bagaimana mungkin (dia bersikap demikian itu), sedangkan dia selalu mengaku sebagai pengikut Ahlulbait yang berpegang teguh pada itrah, berlayar bersama bahtera mereka dan memasuki pintu pengampun bersama mereka (SY).
  4. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath, dari Abu Sa’id. Dan ini adalah hadis ke-18 dari kitab al-Arba’in karya Nabhani.
  5. Diriwayatkan oleh Hakim dan kitabnya al-Mustadrak, jil.3, halaman 149, dari lbnu Abbas Kemudian dia menjelaskan, “Hadis ini sahih sanadnya sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
  6. Al Shawaiq al-Muhriqah, halaman 90, Bab 11, ketika menafsirkan ayat ke-7.
  7. Halaman 143, ketika dia menunjuk pada keterangan Rasulullah saw tentang bencana bencana yang dialami umatnya sepeninggal beliau. Ingin kami bertanya pada Ibnu Hajar, pengarang kitab tersebut, “Kalau sudah jelas demikian itu kedudukan ulama Ahlulbait, mengapa kalian masih saja ragu?” (SY)
  8. Disebutkan dalam Alquran (QS. al-Baqarah [2]:58) bahwa ketika Bani Israil akan memasuki kota Baitul Maqdis, mereka diperintahkan menundukkan wajah-wajah mereka dengan sikap merendahkan diri seraya memohon ampunan Allah dengan berbuat seperti itu, Allah menjanjikan akan pengampunan semua dosa mereka-penerj.
  9. Al-Shawaiq al-Muhriqah, hal 91, Bab 11, tafsir ayat ke-7.
  10. Teliti dan perhatikanlah kata-kata Ibnu Hajar ini, lalu tanyakan padanya mengapa dia sendiri tidak mengikuti petunjuk para Imam Ahlulbait, baik dalam soal ushul fikih dan kaidah-kaidahnya, atau dalam ilmu hadis dan Alquran, maupun dalam runtunan akhiak, tingkah laku dan kesopanan. Dan mengapa dia tidak ikut bersama mereka, agar selamat dari bahaya tenggelam di lautan nikmat Allah, dan terhindar dari kesesatan di lembah kebatilan! Semoga Allah mengampuninya atas segala keterlaluannya dalam menciptakan kebohongan kebohongan di sekitar kami (kaum Syi’ah)! (SY).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *