Al Muraja’at | Dialog No.5 s.d No.6 (1/2)

Al Muraja'at
Oleh : Sayyid Syarafuddin Al-Musawi
Penerjemah : Pedar Haidar
Penerbit : Busyra, Kaliurang

DIALOG NOMOR 5

9 Zulkaidah 1329 H

1. Pengakuan akan kebenaran apa yang tercantum dalam Dialog No.4.

2. Permintaan dalil-dalil yang terperinci.

1. Telah kuterima surat Anda yang amat berharga; dengan untaian kata-kata yang jelas, padat berisi, menarik hati, dengan susunan kata yang indah, argumen yang kuat, bersungguh-sungguh dalam menjelaskan tentang tiadanya alasan wajib mengikuti sesuatu dari mazhab kaum mayoritas, baik dalam ushul ataupun dalam furuk. Dan telah cukup berusaha membuktikan masih tetap terbukanya pintu ijtihad.

Surat Anda itu memiliki hujah-hujah yang kuat dan dengan tepatnya menarik kesimpulan dari dalil-dalil yang ada tentang kedua masalah itu.

Kami tidak keberatan Anda membahas dan menjelaskannya secara mendalam, walaupun kami rasa-bukan hal itu setepatnya apa yang pernah kami tanyakan dan kami singgung. Adapun mengenai kedua masalah yang telah Anda sebutkan, kami sependapat dengan Anda.

2. Sesungguhnya pertanyaan kami ialah apa alasannya kalian (kaum Syi’ah) menolak mengikuti mazhab-mazhab (Ahlusunnah) yang telah diikuti oleh mayoritas kaum muslim? Anda menjawab sebabnya ialah adanya dalil-dalil syar’i yang tegas serta pasti yang mewajibkannya. Adalah lebih tepat seandainya Anda menjelaskan dalil-dalil itu secara terperinci.

Bersediakah Anda kini dengan perincian dari Alquran dan sunah, dengan menunjukkan dalil-dalil yang pasti (qathi); yang jelas, tegas dan tidak mengandung keraguan sedikit pun, dalam hal kewajiban mengikuti Ahlulbait; sehingga seperti yang Anda katakan “telah meniadakan pilihan lain bagi tiap orang mukmin, dan juga menghalanginya dari apa yang menjadi keinginan pribadinya andaikata dia ingin memilih sesuatu yang lain?” Terima kasih.

Wassalam,

(S)


DIALOG NOMOR 6

12 Zulkaidah 1329 H

1. Sebagian kecil dari dalil-dalil tentang kewajiban mengikuti Ahlulbait.

2. Seruan Imam Ali untuk mengikuti Ahlulbait.

3. Kata-kata Imam Zainal Abidin, mengenai itu.

1. Alhamdulillah, Anda tergolong orang yang pandai memahami sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat. Anda tidak memerlukan penjelasan yang panjang lebar, tetapi cukup bagi Anda suatu isyarat sebagai penggantinya.

Adalah suatu yang mustahil-menurut penilaian kami-seorang tokoh seperti Anda akan diliputi kebimbangan dan keraguan sedikit pun, dalam mendahulukan dan mengutamakan para Imam dari keluarga suci Rasulullah saw di atas (para pemuka) yang lain, Jelas mereka itu telah mengungguli siapa pun juga di antara para ahli yang terkemuka. Karena mereka menggantikan kedudukan Rasulullah saw dalam memikul beban ilmu para nabi terdahulu. Dan dari beliaulah (Rasul) mereka memahami hukum-hukum dunia dan akhirat.

2. Karena itulah beliau telah menyejajarkan kedudukan mereka dengan ayat-ayat Alquran yang tegas dan menjadikan mereka itu sebagai contoh teladan bagi manusia yang berakal; bahtera penyelamat tatkala gelombang kemunafikan datang menerjang; tempat berlindung yang aman di saat badai pertengkaran sedang mengamuk; pintu pengampunan bagi yang memasukinya, dan sebagai pegangan yang terkuat demi persatuan!

3. Telah berkata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib1 : “Ke arah manakah kalian akan pergi? Sedangkan panji-panji (kebenaran) telah ditegakkan; bukti-bukti pun telah jelas. Mercu suar telah dinyalakan. Maka bagaimana kalian dapat diselewengkan? Bahkan bagaimana kalian disesatkan, sedangkan kerabat-kerabat nabimu berada di tengah-tengah kalian? Mereka itulah tonggak kebenaran; panji-panji agama; lidah-lidah yang selalu berkata benar! Tempatkanlah mereka itu sebaik kalian menempatkan Alquran. Datangilah mereka dengan penuh perhatian, sebagaimana unta-unta yang haus mendatangi mata air pelepas dahaga!

Wahai manusia! Peganglah erat-erat apa yang disabdakan oleh nabimu, penutup para nabi;Mereka yang telah hancur luluh tulang belulangnya di antara kami, sesungguhnya ia tiada hancur!2 Maka janganlah kalian mengucapkan apa yang tiada kamu mengerti, karena kebenaran yang sejati adalah justru kamu ingkari. Janganlah menyalahkan orang yang kalian tiada memiliki alasan apa pun untuk menyalahkannya, yaitu saya! Bukankah saya (dalam segala perbuatanku), telah berpegang teguh pada peninggalan Rasulullah saw yang terpenting, yaitu Alquran; dan menitipkan kepada kalian peninggalan beliau yang lainnya, yaitu keluarga beliau?3 Dan kutegakkan panji keimanan di antaramu…” dan seterusnya.

Telah berkata pula Imam Ali as, “Jagalah keluarga Ahlulbait Nabimu, tetaplah bersama mereka, ikutilah jejak mereka karena mereka tak akan pernah menyelewengkan kalian dari petunjuk (yang benar). Mereka tak akan mengembalikan kalian ke dalam kegelapan kekafiran. Jika mereka berhenti, berhentilah. Jika mereka bergerak, bergeraklah! Jangan mendahului mereka agar kalian tidak sesat. Jangan pula kalian tertinggal dari mereka, nanti kalian binasa!

Juga beliau telah berkata pula (tentang Ahlulbait), “Mereka itu kehidupan bagi ilmu, kematian bagi kebodohan. Kearifan mereka menunjukkan luas ilmu yang mereka miliki. Zahir mereka (yang tampak dari luar) menjelaskan apa yang ada dalam batin mereka. Pendapat mereka dapat diketahui, sekalipun mereka berdiam diri. Tak akan pernah mereka berlawanan dengan kebenaran, dan tak akan pernah mereka berselisih di dalamnya. Merekalah tiang-tiang Islam yang kokoh dan tempat-tempat berlindung yang aman. Dengan mereka, kebenaran telah dikembalikan ke tempatnya dan kebatilan telah sirna dari kedudukannya, terputus dari sumbernya! Mereka memahami agama dengan pemahaman yang penuh kesadaran dan pengertian; bukan dengan pendengaran dan riwayat semata-mata, karena yang meriwayatkan ilmu itu banyak, tapi yang menjaga kebenarannya sedikit!

Telah berkata pula Imam Ali ra4, “Kami Ahlulbait adalah ‘orang- orang dalam’ dan sahabat terdekat Rasulullah saw. Kami adalah khazanah-khazanah ilmu beliau dan pintu-pintunya. Dan tidaklah patut memasuki suatu rumah kecuali lewat pintunya. Maka barang siapa yang memasuki tidak lewat pintu-pintunya, ia dinamakan pencuri…” Kemudian dijelaskannya lagi mengenai Ahlulbait, “Mereka itulah yang dipuji dalam ayat-ayat Alquran, dimuliakan oleh Allah Yang Maha Penyayang. Jika mereka berkata, pasti dapat dipercaya dan jika berdiam diri, tak seorang pun yang berani berbicara sebelum mereka. Maka hendaknya setiap orang jujur kepada dirinya sendiri. Jangan sekali-kali meninggalkan penggunaan akal sehatnya.

Selanjutnya Imam Ali berkata lagi dalam salah satu khotbahnya,5Dan ketahuilah bahwa kalian tak akan mengenal kebenaran kecuali setelah mengenali orang-orang yang meninggalkannya. Dan tak akan memenuhi janji kalian dengan Alquran, sehingga kalian mengenali orang-orang yang melanggarnya. Tak akan berpegang teguh kepadanya, hingga kalian mengenali orang-orang yang melemparnya. Maka itu carilah kebenaran itu dalam diri mereka, Ahlulbait, yang memang mereka itulah ahlinya. Karena mereka itu adalah kehidupan bagi ilmu, dan kematian bagi kebodohan. Merekalah yang bisa diketahui ilmunya dari hasil penilaiannya. Yang diketahui ucapannya dari diamnya. Batinnya dari lahirnya. Tak akan pernah mereka menentang Alquran dan mereka tak akan berselisih tentangnya. Alquran bagi mereka, merupakan saksi yang benar. Ia diam namun sesungguhnya ia berkata-kata dengan jelasnya…”

(bersambung)

Catatan:

  1. Sebagaimana tersebut dalam kitab Nahj al-Balaghah, jil.1, hal.152, yaitu khotbah ke-83
  2. Yang di maksud dengan sesungguhnya tiada mati, dan seterusnya adalah karena cahaya ruh mereka tetap tampak nyata di dunia ini. Demikian itu seperti yang di jelaskan oleh Syekh Muhammad Abduh dan lain-lain dalam uraian mereka (syarah atas kitab kumpulan khotbah Imam Ali yang bernama Nahj al-Balaghah)
  3. Rasulullah saw telah meninggalkan al-Tsaqal al-Akbar, atau peninggalannya yang besar, yaitu Alquran dan al-Tsaqal al-Ashghar atau peninggalannya yang kecil, yaitu kedua cucu beliau Hasan dan Husain (putra-putra Ali), dan keluarga beliau, untuk suri teladan dan panutan kaum muslim. Demikian penjelasan Syekh Muhammad Abduh dan lain-lain.
  4. Nahj al-Balaghah, jil.2, hal.58, khotbah ke-150.
  5. Nahj al-Balaghah, jil.2, hal.43, khotbah ke-143.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *