Adab (Etika/Tatakrama) Dalam Thariqah – Kenapa Harus Berthariqah?

KENAPA HARUS BERTHARIQAH?
Oleh: Abul-Fadhl ‘Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari al-Idrisi al-Hasani
 
Penerjemah: Muhammad Fahruddin
Penerbit: Yayasan ar-Raudah Ihsan Foundation

ADAB (ETIKA/TATAKRAMA) DALAM THARĪQAH

 

Dalam kitab “Ad-Durr-un-Naqiyyah” karangan Abul-Fadhl Sayyid ‘Abdullāh Bin Muḥammad Shiddīq al-Ghumarī r.a. dikemukakan bahwa adab seorang murid dalam suluk tharīqah terbagi pada empat bagian yaitu adab kepada Allah s.w.t. dan Rasūlullāh s.a.w., adab kepada Syekh tharīqah yang menjadi mursyid pembimbingnya, adab kepada sesama ikhwan sesama tharīqah dan adab kepada sesama kaum muslimin secara umum.

Adab Seorang Murid Kepada Allah s.w.t.:

Seorang murid wajib menjaga adabnya terhadap Allah s.w.t. dengan tidak melanggar ataupun meremehkan batasan-batasan larangan yang telah ditetapkan oleh syarī‘at bahkan seorang murid harus senantiasa mengerjakan amalan-amalan sunnah dan nawāfil secara rutin.

Sehingga dengan demikian keridhaan dan kecintaan Allah s.w.t. akan ia dapatkan sebagaimana keterangan dalam Ḥadīts Qudsī yang shaḥīḥ:

وَ مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَ مَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَ بَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَ يَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَ رِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَ إِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ وَ لَإِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري).

Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Kuwājibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan nawafil/sunnah (selain fardhu), hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya.

Seorang murid hendaklah memiliki sifat ridha atas suratan takdir yang telah Allah s.w.t. tetapkan untuknya sebagaimana wasiat Nabi s.a.w. kepada Ibnu ‘Abbās r.a.:

وَ اعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. (رواه الحاكم).

Ketahuilah, wahai Ibnu ‘Abbās, bahwa setiap apa saja yang tidak ditetapkan Allah untukmu, maka tidak akan pernah menimpamu, dan setiap apa saja yang (ditetapkan) menimpamu maka tidak akan pernah terluput darimu.” (HR. al-Ḥākim).

Apabila keyakinan dan pemahaman tersebut telah tertanam di dalam hati seorang murid, niscaya hatinya akan menjadi tenang dan ridha atas apapun ketentuan Allah s.w.t. untuknya.

Seorang murid hendaklah mengutarakan permintaannya kepada Allah s.w.t. dalam segala hal, sebagaimana firman-Nya:

وَ اسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ.

“…. dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya….” (QS. an-Nisā’: 32).

Dan sabda Nabi s.a.w.:

وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. (رواه الترمذي).

Jika engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah.” (HR. Tirmidzī).

Dalam Ḥadīts yang lain, Beliau s.a.w. juga bersabda:

لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا، حَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذِ انْقَطَعَ. (رواه الترمذي).

Hendaklah salah seorang di antara kalian memohon kepada Tuhannya untuk setiap apa yang ia hajatkan tak terkecuali ketika tali sandalnya terputus.” (HR. Tirmidzī).

Dihikayatkan pernah terjadi di kalangan ‘ulamā’ salaf seseorang yang mengalami kesulitan dalam hidupnya sehingga dia sempat berangan-angan untuk meminta bantuan kepada saudara-saudaranya, kemudian ia bermimpi dan di dalam impiannya tersebut dia melihat seseorang berkata kepadanya: “Jika seorang murid bisa mendapatkan setiap apa yang diinginkannya dari Allah s.w.t., apakah pantas hatinya berpaling kepada seorang hamba?”, lantas ia terbangun dari tidurnya dan tersadar hingga menjadi orang yang berhati sangat kaya.

Adab Seorang Murid Kepada Baginda Rasūlullāh s.a.w.

Seorang murid hendaklah berperilaku mulia, menjunjung tinggi Sunnah Nabi s.a.w. dalam segala hal dan memuliakan keluarga serta para sahabatnya.

Hal tersebut merupakan suatu kewajiban mutlak bagi setiap muslim dan tidak perlu diperdebatkan lagi, sebab dalam beberapa ayat al-Qur’ān Allah s.w.t. telah menegaskan tentang kewajiban mengagungkan dan menghormati Nabi s.a.w. sebagaimana mestinya bahkan ketaatan atas Nabi s.a.w. dijadikan tolak ukur ketaatan seorang hamba kepada Allah s.w.t.

Barang siapa yang tidak rela dan patuh atas ajaran dan perintah Nabi s.a.w., maka ia termasuk orang-orang yang tidak beriman dan mendapatkan ancaman siksa yang yang sangat pedih.

Adab Seorang Murid Dengan Syaikhnya.

Seorang murid wajib menghormati dan mengagungkan sosok yang ia jadikan sebagai syaikhnya. Di hadapan syaikhnya seorang murid tidak diperkenankan berucap dan bersikap lancang, kehadiran seorang murid di suatu majelis tidak untuk mencari perhatian syaikhnya dan apabila hendak keluar dari majelisnya harus meminta idzin terlebih dahulu, tidak boleh menentang arahan syaikhnya dan mengambil arahan lain yang ia dapatkan di tempat lain.

Adab ini diberlakukan oleh para ahli tashawwuf sebagai pengamalan atas bimbingan Allah s.w.t. dalam al-Qur’ān tentang bagaimana caranya agar para sahabat Nabi s.a.w. dapat berinteraksi dengan Nabi s.a.w. dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan para Masyā’ikh tharīqah, tidak diragukan lagi, mereka adalah para pengganti nabi yang memerankan tugas kenabian dalam hal memberikan arahan pelajaran serta bimbingan, sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ.

Sesunggguhnya ‘ulamā’ adalah pewaris para Nabi.” (HR. Tirmidzī, Abū Dāwūd, Ibnu Ḥibbān dan Aḥmad).

Dengan demikian tatakrama yang dianut kaum shūfī pun diterapkan secara turun-temurun (warisan dari zaman sahabat Nabi s.a.w.).

Oleh karenanya sebelum masuk thariqah, seorang murid hendaklah memantapkan diri terlebih dahulu dan memilih sosok syaikh yang dianggap sebagai pewaris Nabi, yang menguasai ilmu al-Qur’ān dan Sunnah, memahami hukum-hukum syarī‘ah dan mengamalkannya. Karena sesungguhnya arahan dan bimbingan yang benar hanya akan didapat dari seseorang yang berkepribadian sesuai dengan tuntunan hukum syarī‘ah.

Bagaimana mungkin seorang yang tidak memiliki kemantapan ilmu dan kesinambungan dalam beramal shalih (istiqāmah) bisa dikatakan layak untuk memberikan pencerahan, karena seseorang tidak mungkin dapat memberikan sesuatu yang hilang darinya.

Adab Seorang Murid Dengan Muqaddam

Merupakan kewajiban seorang murid adalah memuliakan Muqaddam (orang yang dipercaya oleh Syaikh sebagai khalīfahnya) dan tidak mendahuluinya, mendengarkan nasihatnya, serta menjadikannya pengganti dari syaikh.

Dan diharuskan bagi seorang Muqaddam untuk memperhatikan permasalahan-permasalahan ikhwān, selalu mengingatkan mereka dari waktu ke waktu yang lain, mencari tahu siapa yang tidak hadir dari mereka, lemah-lembut dalam bersikap dan menyamakan satu sama lain dalam ber-mu‘āmalah.

Adab Seorang Murid Dengan Ikhwān Tharīqah.

Seorang murid wajib menghormati ikhwānnya dan tidak boleh merasa dirinya lebih unggul dari mereka.

Bilamana ada di antara ikhwānnya yang sedang sakit wajib ia tengok, yang bodoh mesti ia ajari, berbaur bersama mereka dalam pelaksanaan syiar thariqah.

Kesalahan yang ikhwān lakukan atasnya jangan terlalu dihiraukan dan berupaya untuk memaafkannya, menjaga sikap sebaik mungkin, membantu mereka, apabila bertemu dengan salah seorang dari mereka maka hendaklah memulai dengan sapaan dan jabat tangan, jika ada ikhwān yang terjerumus dalam dosa nasehatilah dengan cara yang sangat santun tanpa mencemoohkan atau menjelek-jelekkannya.

Adab Seorang Murid Terhadap Sesama Kaum Muslimin

Seorang murid wajib menghormati kaum muslimin. Dalam pergaulan di masyarakat umum, seorang murid hendaklah mengedepankan kejujuran dan tawādhu‘, tidak berangan-angan pada siapapun, tidak pula mempunyai perasaan takut kepada orang lain.

Berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin dan senang memberikan kebaikan bagi mereka sebagaimana menyenangi datangnya kebaikan untuk dirinya sendiri sesuai dengan sabda Nabi s.a.w.:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخاري و مسلم).

Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhārī dan Muslim).

Apabila seorang murid dapat memelihara tatakrama tersebut di atas serta melanggengkannya dengan yakin dan tulus, niscaya dia akan mendapatkan dari Allah s.w.t. setiap apa yang ia cita-citakan.

Semoga Allah s.w.t. memberikan taufik kepada kita semua.

1 Komentar

  1. Lexi berkata:

    Terima kasih guru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *