Rezeki yang barakah adalah rezeki yang mendatangkan kebahagian lahir batin. Rezeki semacam itu selalu terasa lebih dari cukup bahkan melimpah untuk kebutuhan sendiri sehingga ringan sekali untuk dibagi dengan orang lain. Maka berkah tidak melekat pada jumlah harta, keberkahan rezeki lebih erat hubungannya dengan keimanan dan ketaqwaan orang yang mencarinya. Secara nominal rezeki barakah bisa jadi jumlahnya tak seberapa, bahkan mungkin orang lain menganggapnya sedikit. Tapi, efek psikologisnya dapat membahagiakan pemiliknya bahkan menciprat pada sekian banyak orang seperti keluarga, kerabat, teman atau tetangga.
Berbeda dengan rezeki yang tidak berkah. Sebanyak apa pun, selalu jauh dari cukup bahkan terasa sedikit untuk dinikmati sendiri, apalagi untuk disedekahkan pada orang. Justru, sedekah akan menyesakkan dada pemiliknya karena secara nominal rezeki tersebut masih terasa sedikit. (261) Alih-alih sedekah, rezeki itu akan habis untuk sesuatu yang tidak penting dan sia-sia.
Naluri kita pasti tidak menginginkan rezeki yang tidak barakah semacam itu. Hanya saja, banyak orang lupa diri hingga mengabaikan cara halal ketika hawa-nafsu, keserakahan, dan cinta dunia yang terlalu tinggi melekat dalam benak. Akhirnya, mereka mengais dengan jalan pintas dan nekat melanggar aturan agama, melakukan tindakan yang bertentangan dengan iman dan taqwa.
Mungkin, dengan cara nekat itu rezeki bisa didapat lebih cepat bahkan dengan hasil yang banyak, tapi keberkahannya adalah nol besar. Bagaimanapun, iman dan taqwa tetap yang paling utama bagi umat Islam untuk dijadikan pijakan. Baik itu, pijakan untuk mengais rezeki, mencari jodoh, memilih lingkungan tempat tinggal, atau mendidik anak, karena iman dan taqwa itulah sumber keberkahan hidup. Allah berfirman:
“Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami limpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi…..” (QS. al-A‘rāf [7]: 96).
Kalau dikaji lebih dalam, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa barakah adalah entitas yang dikaruniakan Allah berdasarkan kualitas iman dan taqwa kita. Jadi, secara lebih rinci dapat diambil kesimpulan bahwa kerja keras saja tidak cukup untuk mendapatkan keberkahan rezeki. Walaupun, kenyataannya rezeki yang didapat dari kerja keras bisa lebih banyak, tapi kriteria rezeki barakah bukan sekadar itu. Rezeki barakah itu dapat mencukupi, membahagiakan, menenteramkan, dan memuaskan hati orang yang mencarinya dan orang-orang yang diberi. Oleh karena itu, jika iman dan taqwa sudah tidak menjadi akhlak dalam berkarya – dengan menjauhi cara haram dan mencari yang halal – maka keberkahan rezeki seumpama peribahasa: “jauh panggang dari api.”
Intinya adalah rezeki barakah itu penting sebagai kriteria yang harus kita cari. Hal itu, karena yang dianjurkan Islam bukan sekadar kaya secara materi saja, melainkan juga kaya hati. Dan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tanpa keberkahan, – walaupun rezeki melimpah – seseorang tidak akan merasakan kaya dalam hatinya. Mengenai kaya hati, Rasūlullāh pernah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَ لكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.
“Yang dimaksud kaya itu bukan hanya karena banyak harta benda, tapi kaya yang sejati adalah kaya hati.” (HR. al-Bukhārī-Muslim).
Saat ini, banyak orang mendadak kaya dari hasil korupsi. Tidak jera akan perbuatan nistanya dan bertobat, malah mereka tingkatkan nilai korupsinya. Fakta ini membuktikan bahwa pertama, semakin banyak harta yang diperoleh dengan cara haram, semakin terasa sedikit yang didapatkan; kedua, kaya harta tidak menjanjikan adanya kaya hati.
Tidak hanya itu, fakta lain juga menunjukkan bahwa beberapa orang kaya justru tidak bahagia saat hartanya melimpah. Harga diri mereka terinjak-injak saat media mengabarkan tindak korupsinya, masuk bui, selanjutnya sakit-sakitan bahkan hingga meninggal di penjara. Kemegahan dunia yang sudah dicari dengan mengorbankan ajaran agama dan harga diri itu telah menipu mereka. Sengsara di ujung, bahagia pun tak dapat.
Bagaimanapun, rezeki yang baik adalah rezeki barakah karena ia adalah sumber manfaat dan maslahat. Banyak orang, secara ekonomi terlihat biasa-biasa saja. Tapi, mereka tidak minta-minta, tidak juga menyuap apalagi korupsi. Justru, rezeki yang mereka dapat dari berdagang di pasar, berkuli, keliling perumahan menjual air bersih, sudah mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bahkan, di antara mereka ada yang bisa naik haji. Kehidupan mereka menengah ke bawah tapi hatinya menengah ke atas. Itulah pertanda rezeki barakah, menjadikan seseorang bahagia lahir-batin walaupun orang lain melihatnya hidup kekurangan.
مَثَلَ الْبَخِيْلِ وَ الْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُنَّتَانِ مِنْ حَدِيْدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيْهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَ تَعْفُوْ أَثَرَهُ وَ أَمَّا الْبَخِيْلُ فَلَا يُرِيْدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا فَلَا تَتَّسِعُ.
“Perumpamaan orang bakhil dan dermawan adalah seperti dua orang yang mengenakan baju besi, melingkar dari dada hingga tulang selangka. Orang dermawan, setiap kali bersedekah baju besinya rata menutupi kulitnya hingga kuku jemarinya tanpa menyakitinya. Sedangkan orang bakhil, setiap kali tidak ingin bersedekah, setiap sisi baju besinya akan menyempit dan dia berusaha untuk melonggarkannya namun tidak bisa.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).