وَ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَ يَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَ مُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ.
“Tiada sesuatu pun dari makhluk-makhluk yang bergerak di bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya dan mengetahui tempat kediamannya dan tempat rezeki di simpan. Semuanya itu tersurat di dalam Lauh Mahfuzh yang nyata (bagi malaikat-malaikat yang berkenaan).” (QS. Hūd [11]: 6).
Ayat di atas, menegaskan bahwa semua makhluk yang merayap, melata, menapakkan tubuhnya di bumi, rezekinya akan ditanggung oleh Allah. Dan, termasuk dalam definisi dābbah pada ayat tersebut adalah manusia.
Sebagai pencipta, Allah bertanggungjawab penuh memelihara ciptaan-Nya. Dialah yang memberi hidup dan penghidupan pada alam raya ini. Makhluk Allah, satu per satu, orang per orang mendapatkan ketentuan rezekinya masing-masing. Sebuah hadits yang sangat masyhur menuturkan, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd r.a., berkata:
“Rasūlullāh s.a.w., sebagai orang yang jujur dan dipercaya, bercerita kepada kami: “Sesungguhnya, masing-masing dari kalian itu mengalami proses penciptaan dalam perut ibu selama 40 hari sebagai nutfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan (sesosok malaikat) diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu, menentukan jatah rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Dzāt yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga hanya tinggal sehasta saja. Namun, karena sudah didahului takdir, akhirnya ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan, sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka hanya tinggal sehasta saja. Namun, karena sudah didahului takdir, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Muslim).
Jelas sudah bahwa setiap orang, apa pun jenis kelaminnya, apa pun status sosialnya, dia mendapatkan ketentuan rezeki dari Allah. Ketentuan rezeki yang dimaksud pada hadits di atas berlaku hingga seseorang menemui ajal karena sebuah hadits menyatakan bahwa nyawa tidak akan dicabut sebelum jatah rezeki yang ditentukan Allah pada seseorang telah dihabiskannya. Haditsnya adalah:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِيْ رَوْعِيْ أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا أَلَا فَاتَّقُوا اللهَ وَ أَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَ لَا يَحْمِلَنَّكُمُ اسْتِبْطَاءَ الرِّزْقَ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهِ فَإِنَّهُ لَا يُدْرِكُ مَا عِنْدَ اللهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ.
“Sesungguhnya Rūḥ-ul-Quddūs (Jibrīl) berbisik ke dalam hatiku bahwa jiwa tidak akan mati hingga jatah rezekinya habis. Maka, bertawakkallah kalian pada Allah dan perbaikilah etika dalam mengaisnya. Jangan sampai kalian berkeinginan mendapat rezeki secepatnya hingga terbebani untuk mencari dengan cara bermaksiat pada Allah. Sesungguhnya, seseorang tidak akan mendapatkan apa pun yang menjadi milik Allah kecuali dengan cara menaati-Nya.” (HR. Abū Nu‘aim dan al-Bazzār).
Karena jelas sudah bahwa rezeki itu jatahnya diberikan dengan takdir pada orang per orang maka seyogianya suami tidak melarang istrinya yang hendak bekerja mencari nafkah. Tujuan istri mencari nafkah, tentu saja mencari jatah yang sudah ditakdirkan untuknya. Istri yang mencari nafkah juga tidak berarti menghapus tanggungjawab suami untuk mencari penghasilan dan menghidupi istri dan anak-anak. Hal itu sudah menjadi kewajibannya, baik itu istri bekerja atau tidak bekerja.
Sungguh sayang, jika istri memiliki keahlian yang dibutuhkan perusahaan atau bakat wirausaha, namun kandas akibat paham bahwa istri cukup mendapatkan pintu rezeki dari satu orang saja yaitu suami. Sekali lagi, Allah memberikan rezeki kepada manusia itu tidak langsung, tapi dirangsang dengan menciptakan bekal akal serta kekuatan fisik agar ia kreatif untuk meraihnya.
Tapi, memang ada beberapa catatan yang harus lebih diperhatikan oleh wanita karier (dalam hal ini adalah istri) jika ia mendapatkan idzin suami dan kesempatan bekerja.
Pertama, jenis pekerjaan. Tidak semua pekerjaan memang layak untuk seorang wanita atau ibu rumah tangga. Ada beberapa pekerjaan yang jika itu tetap diambil justru akan merugikan keharmonisan keluarga. Ini harga yang amat mahal untuk dikorbankan demi harta dan kesejahteraan dunia. Jenis pekerjaan ini bermacam-macam, apalagi di zaman modern yang berbagai macam perusahaan tumbuh pesat seperti saat ini. Oleh sebab itu, diskusi tentang risiko dan jenis pekerjaan yang akan diambil oleh istri, baik itu dengan suami, anak atau keluarga, sangatlah penting. Itu diperlukan, agar hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin muncul belakangan tidak terjadi. Sekaligus bukti bahwa sebagai istri, ia memiliki komitmen yang tinggi terhadap keluarganya, lebih dari apa pun.
Kedua, adalah rasa saling memaklumi. Suami tidak boleh menuntut lebih pada istri untuk memberikan pelayanan layaknya ibu rumah tangga biasa. Hal ini, tentu saja tidak akan terjadi jika sebelumnya sudah diambil keputusan bersama. Namun, istri juga tidak dibenarkan untuk malas-malas melayani suami hanya karena alasan dirinya bekerja. Memang, perihal ini sulit dibuat konsep dan teori yang solusif bagi semua keluarga yang suami maupun istrinya sama-sama bekerja. Tapi, masing-masing keluarga sudah tentu memiliki caranya sendiri.
Ketiga, istri harus tetap memosisikan suami sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya. Masalah ini mungkin terkesan gampang dan mudah dijalankan. Tapi, akan menjadi sulit jika di tengah jalan, ternyata suami menjadi pengangguran atau jika ternyata income suami terhadap keuangan keluarga jauh lebih sedikit dibandingkan income yang diberikan istri. Istri tetaplah istri, sesukses apa pun dia, suami harus menjadi penasihat dan pemimpinnya.
Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa ketika Mu‘ādz bin Jabal tiba dari Syām, ia menghadap Rasūlullāh s.a.w., dengan sembah sujud pada beliau. Melihat diperlakukan berlebihan Nabi s.a.w., pun kaget dan berkata:
“Apa yang kau lakukan ini Mu‘ādz?!”
Mu‘ādz menjawab: “Aku melihat di negeri Syām orang-orang bersujud pada tokoh dan pertinggi mereka dan aku ingin sekali melakukan itu padamu.”
Mendengar alasan Mu‘ādz, Rasūlullāh s.a.w., berkata: “Jangan kalian lakukan itu. Kalaupun aku diidzinkan untuk memerintah orang bersujud pada selain Allah, pasti yang aku perintah adalah istri agar ia bersujud pada suaminya. Demi Dzāt yang jiwa Muḥammad berada dalam genggaman-Nya, seorang istri tidak akan dianggap telah memenuhi hak Allah sebelum ia memenuhi hak suaminya.” (251).
Jadi, istri atau anak yang sudah dewasa, jika memiliki kemampuan mencari nafkah untuk kesejahteraan keluarga, sebaiknya diaktualisasikan dengan baik. Tentu saja, semua itu harus berjalan sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang sudah diatur oleh syariat Islam. Tanpa harus mengorbankan apa pun atau menelantarkan siapa pun. Yang penting adalah tolok ukurnya demi kemaslahatan, kesejahteraan, dan keharmonisan rumah tangga. Bukan sebaliknya.