Terkait dengan harta ini, banyak orang mengalami kesulitan dalam memposisikan diri, bahkan merasa serba salah. Dilematis memang, ketika dijelaskan bahwa umat yang terbaik adalah umat yang kuat secara materi karena tangan di atas lebih utama ketimbang tangan di bawah, tapi di sisi lain dijelaskan pula bahwa harta adalah fitnah (231) dan sumber segala kelalaian terhadap ibadah. Namun, jika dikaji lebih dalam, sebenarnya solusi dari dilema ini bermuara pada dua hal, yakni cara mendapatkan harta dan cara membelanjakannya. Dua hal ini jika dipraktikkan secara baik, sesuai dengan anjuran syariat maka tidak ada lagi dilema sehingga menjadi kaya bukanlah hal yang menakutkan karena miskin pun bukanlah anjuran Islam. Sejatinya, Islam menganjurkan kesederhanaan dan keseimbangan, bukan kemiskinan.
Islam secara eksplisit tidak pernah melarang umatnya kaya, bahkan Islam menganjurkan umatnya agar menjadi kaya. (242) Tapi, kaya seperti apa? Kaya yang hartanya membawa keberkahan, dicari dengan cara yang halal dan dibelanjakan untuk kemaslahatan bersama.
Jika dua cara itu diterapkan, dijamin hati akan merasakan damai dengan kekayaan. Dan, tidak akan putus asa jika akhirnya tetap miskin meskipun telah berusaha.
Adapun dalil yang menguatkan prinsip dasar bahwa mengais dan membelanjakan rezeki harus dengan cara yang benar adalah sebagai berikut:
وَ إِنَّ هذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ وَ نِعْمَ صَاحِبِ الْمُسْلِمِ لِمَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ فَجَعَلَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْيَتَامَى وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ مَنْ لَمْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ فَهُوَ كَالْآكِلِ الَّذِيْ لَا يَشْبَعْ وَ يَكُوْنُ عَلَيْهِ شَهِيْدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya harta itu hijau dan manis (menggiurkan). Orang Islam yang paling beruntung adalah yang mendapatkan harta dengan benar lalu membelanjakannya di jalan Allah, untuk anak yatim dan orang miskin. Tapi, jika orang mendapatkan harta itu dengan cara yang tidak benar maka ia tampak seperti orang makan yang tidak pernah kenyang dan kelak hartanya itu akan menjadi saksi di hari kiamat.” (HR. al-Bukhārī).
Secara garis besar, dapat disimpulkan dari hadits di atas bahwa seorang muslim yang mencari rezeki dengan cara yang benar atau halal, akan giat menginfaqkan untuk kaum dhu‘afā’. Sebaliknya, seseorang yang mencari rezeki dengan cara yang tidak benar atau haram, akan enggan berbagi. Ia menumpuk harta bagai tak kenal kenyang.
Terdapat kata bijak untuk menggambarkan dua tabiat di atas: “pagar nasi jauh lebih kuat ketimbang pagar besi”. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat jumpai dua tipe orang kaya. Ada orang kaya yang memagari hartanya dengan “nasi” – untuk mengistilahkan sedekah – dan ada pula yang menjaga hartanya dengan pagar besi, dalam arti menjaganya agar tidak dicuri. Dua pagar tersebut secara fungsi sama-sama memiliki kekuatan. Bedanya, secara fisik besi lebih kuat daripada nasi. Namun, hakikatnya pagar sedekah atau “nasi” jauh lebih kuat dalam memberi keamanan bagi orang kaya ketimbang pagar besi yang dibuatnya menjulang tinggi karena takut dicuri. “Nasi” mampu memagari kekayaan seseorang, sebab orang-orang yang menerimanya akan menaruh simpati pada pemberi “nasi”. Mereka akan menjadi security power.
Sebaliknya, orang kaya yang hanya memamerkan harta kepada tetangga tanpa mau bersedekah, akan meningkatkan kecemburuan sosial. Maka setinggi apa pun pagar yang ia buat untuk menjaga rumahnya, masih akan bisa disatroni pencuri. Dan, tetangganya akan menjadi acuk untuk menjaga keamanannya.
Intinya, rezeki yang halal dan baik – dari cara mendapatkannya dan memanfaatkannya – dijamin tidak akan membawa bahaya bagi pemiliknya. Tapi, rezeki yang didapat dan dibelanjakan dengan cara yang buruk pasti akan mendatangkan petaka, karena Allah s.w.t., mengangkat keberkahannya.
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ إِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِيْ الْمَالُ.
“Sesungguhnya setiap umat itu mendapat ujian, dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. Aḥmad).
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِ(يْفِ
“Orang mu’min yang kuat (secara materi) itu lebih baik dan lebih dicintai Allah ketimbang orang mu’min yang lemah.” (HR. Muslim).
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:
فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
“Sesungguhnya tangan di atas (memberi) itu lebih mulia daripada tangan di bawah (menerima).” (HR. Muslim).