Manusia mendapat ketentuan jatah rezeki dari Allah s.w.t., sejak mereka dalam rahim. Tapi, rezeki yang sudah menjadi jatah itu, tidak lantas Allah s.w.t., cairkan seluruhnya setelah mereka lahir ke dunia. Manusia hanya dibekali tools atau alat sebagai modal untuk mengais rezeki yang sudah digariskan itu. Tools tersebut berupa akal, kekuatan fisik, sifat sosial dan segala potensi lain yang beragam dari masing-masing individu. Itulah, modal yang diberikan Allah s.w.t., pada manusia supaya mereka dapat mempergunakannya secara maksimal untuk mengambil jatah rezekinya.
Manusia dalam kehidupan ini, hakikatnya sedang mengais rezeki yang sudah digariskan sejak dalam kandungan, dan itu sudah menjadi haknya. Sistem dan rancangan yang Allah s.w.t., ciptakan ini sungguh menakjubkan – Dia menciptakan makhluk, Dia juga menentukan jatah rezeki, tapi Dia tidak memberikan secara langsung. Dia membekali setiap makhluk-Nya dengan kemampuan untuk mengambil jatah itu, maka terjadilah roda kehidupan. Makhluk-makhluk betebaran menghiasi perputaran bumi, beraktivitas untuk mengisi kehidupanya masing-masing. Ini semua adalah tanda kebesaran Allah s.w.t., bagi manusia, dan manusia adalah makhluk cerdas yang secara sadar dapat menganalisis hakikat ini. Tak terbayangkan, betapa membosankan hidup ini jika rezeki diberikan Allah s.w.t., langsung tanpa melalui usaha dan upaya.
Tapi, sekalipun manusia secara fitrah memiliki tools untuk mendapatkan rezeki, tidak berarti dengan tools itu semua manusia bisa menjadi kaya. Karena, dalam masalah rezeki kehendak Allah s.w.t., adalah mutlak. Dia memiliki peran yang jauh lebih besar daripada kekuatan fitrah manusia dalam mengais rezeki Allah s.w.t. berfirman:
“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya hal itu merupakan tanda bagi orang-orang yang beriman.” (QS. az-Zumar [39]: 52).
Begitulah aturannya, sekalipun jatah rezeki tiap manusia sudah pasti secara nominal, namun Allah s.w.t., tetap yang mengendalikan pembagian dan distribusi rezeki di seluruh alam raya ini. Semua bisa berubah di “Tangan-Nya”. Oleh sebab itu, banyak ulama menyarankan agar dalam mengais rezeki, tidak hanya mengandalkan usaha tapi juga menunjukkan amal baik dan berdoa. Amal baik dan doa tersebut adalah cara lain dalam upaya “merayu” Allah s.w.t., agar ridha dengan pekerjaan dan usaha kita sehingga menjadi pintu rezeki yang barakah.
Sekali lagi, Allah s.w.t., memiliki hak prerogatif atas rezeki manusia, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Atau, siapakah yang akan memberi kalian rezeki jika Allah menahannya? Tapi mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri.” (QS. al-Mulk [67]: 21).
Pesan yang ingin disampaikan ayat tersebut adalah agar manusia memahami bahwa rezeki itu datangnya dari Allah s.w.t., Dialah satu-satunya sumber rezeki. Itulah sebabnya, Rasūlullāh s.a.w. berpesan dalam hadits yang masyhur agar umatnya tidak mencari rezeki dengan cara yang haram karena hal itu dapat menghalangi ridha dan fadhilah dari-Nya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Tidak ada amal yang dapat menyebabkan masuk surga kecual amal yang sudah aku perintahkan pada kalian, dan tidak ada amal yang dapat menyebabkan masuk neraka kecuali amal yang sudah aku larang. Jangan sekali-kali kalian mengharap rezeki datang lebih cepat, karena sesungguhnya Jibril membisikkan: “Siapa pun dari kalian tidak akan meninggal dunia hingga terpenuhi (habis) jatah rezekinya.” Maka bertawakkallah pada Allah wahai manusia! Dan, gunakanlah cara yang baik dalam mengais rezeki. Bahkan, jika di antara kalian ada yang harus memburunya, jangan disertai cara yang berdosa. Karena, dengan begitu Allah tidak akan memberikan fadhilah-Nya.” (HR. al-Bazzār).
Jika Allah s.w.t., tidak meridhai, maka Dia berhak untuk melenyapkan fadhilah rezeki yang dimiliki seseorang. Ketika Allah s.w.t., sudah berkehendak untuk menghilangkan fadhilah itu maka hidup seseorang akan menjadi sempit, sulit, terpontang-panting dan susah mendapat pekerjaan.
Tapi, orang-orang yang kufur nikmat tidak peduli dari mana rezeki itu diperoleh. Dengan rezeki yang dimilikinya, mereka tenang dalam kemaksiatan dan bersikap sombong. Dalam al-Qur’ān, tepatnya pada ayat 22 surah al-Mulk, mereka diibaratkan orang yang berjalan sempoyongan atau tidak stabil, menabrak sana-menabrak sini (nubyak-nubyak), melangkah sedikit jatuh, bangun dan tersungkur lagi. Bangun lagi, menabrak lagi dan tersungkur, begitu seterusnya. Allah s.w.t. berfirman:
“Apakah orang yang merangkak dengan wajah tersungkur yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. al-Mulk [67]: 22).
Kalau disebutkan sosoknya, yang pantas mewakili perumpamaan orang merangkak dengan wajah tersungkur tersebut adalah Abū Jahal. Sedangkan mereka yang beriman, ibarat orang yang melangkah tenang di atas jalan yang lurus, halus dan rata, seperti Rasūlullāh s.a.w., dan para sahabatnya. (181)
Orang-orang yang kufur nikmat, biasanya sangat mencintai harta dan kepemilikan. Memang, fitrah manusia adalah mencintai harta. Tapi, cintanya orang yang kufur nikmat ini melebihi kewajaran sehingga mereka dengan cintanya itu banyak yang lupa diri.
Akhirnya, fitrah yang suci dari Allah s.w.t., tidak disalurkan secara benar. Mereka pun berubah menjadi budak harta, bukan budak Tuhan. Seluruh waktunya, dari pagi hingga malam, hanya untuk mengurusi harta. Tak ada waktu sedikit pun untuk mengikrarkan dirinya sebagai hamba (beribadah). Justru, banyak di antara mereka yang berikrar sebaliknya sehingga kekayaannya menutup hakikat dirinya yang tetap lemah di hadapan Allah s.w.t.
Salah satu sifat mereka yang kufur nikmat adalah jika diberi kelapangan harta akan bangga dan berkata: “Tuhanku telah memuliakan diriku.” Tapi, begitu datang kesulitan rezeki dia akan berkata: “Tuhanku kini menghinakan diriku dengan kefakiran.” Semoga kita semua dilindungi Allah s.w.t., dari sifat buruk ini, dan menyikapi harta layaknya sikap orang-orang beriman.
Allah s.w.t. berfirman:
“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: “Tuhanku telah menghinaku.” (QS. al-Fajr [89]: 15-16).
Orang yang beriman mencintai harta untuk disedekahkan. Mereka menghimpun harta untuk menafkahi keluarga dan orang di sekitarnya yang tidak mampu. Mereka tidak pernah lupa bahwa harta adalah milik Allah s.w.t., yang dititipkan untuk sementara waktu. Maka, orang yang mulia dengan rezekinya adalah orang yang bisa menyambung “Tangan” Allah s.w.t., dengan kembali menyalurkan pada kaum dhu‘afā’. Dengan begitu, Allah s.w.t., tidak akan lagi “segan dan enggan” untuk menambah rezekinya, lagi dan lagi. Karena di tangan orang itu, rezeki menjadi barakah dan membawa maslahat bagi yang membutuhkan.