4 Menuhankan Harta Kekayaan – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Menuhankan Harta Kekayaan

Seseorang, terkadang justru menganggap sebagian harta itu – apa pun bentuknya baik berupa pekerjaan, bisnis, usaha, dagangan atau yang lain – sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Artinya, ia merasa jika tidak karena pekerjaan dan usahanya itu, tak akan bisa hidup. Sikap tersebut – menganggap pekerjaan dan bisnis tertentu sebagai penentu hidup dan mati, bahagia dan sengsara – mengesampingkan atau bahkan melalaikan peran Allah dalam proses penerimaan rezeki. Sedangkan, tauḥīd rubūbiyyah menuntut manusia untuk Allah minded. Artinya, sekecil dan sesepele apa pun nikmat yang kita terima, Allah harus kita yakini sebagai sumbernya.

Tapi terkadang fakta bicara lain, ketika manusia sudah cocok dengan suatu sumber rezeki – baik berupa binatang ternak yang menghasilkan daging, atau karier yang menaikkan derajat dan harga diri, atau pabrik yang menghasilkan produk laris – ia akan buru-buru “menyembahnya”, menjadikannya “berhala” untuk dipuja. Mereka lupa bahwa yang menjadikan seekor binatang menjadi tunduk dan menghasilkan daging adalah Allah. Mereka lupa bahwa karier yang terus meningkat tidak lain adalah atas idzin-Nya. Mereka juga lupa bahwa produknya laris adalah atas kehendak-Nya.

Allah s.w.t. berfirman:

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami Sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh darinya manfaat-manfaat dan minuman. Tapi mengapa mereka tidak bersyukur?” (QS. Yāsīn [36]: 71-73).

Pertanyaan terakhir pada ayat di atas digarisbawahi karena di situlah intinya. Dalam term (istilah) Islam, lawannya syukur itu hanya satu yakni kufur. Sehingga, kalimat terakhir dari ayat di atas bisa diungkapkan dalam bentuk lain yakni, “tapi mengapa mereka kufur?

Kekufuran semacam itu, disebut kufur nikmat dan sering kali muncul akibat manusia mudah tercengang oleh keindahan dunia yang secuil. Sehingga, kalaupun ada rasa syukur, itu hanya sebatas mengucap hamdalah yang menggantung di tenggorokan, tidak sampai ke hati. Syukur mestinya menafikan kufur, tapi syukur dalam kondisi itu sering kali terucap seiring dengan kekufuran.

Manusia di muka bumi ini, banyak yang sudah mengingkari janji fitrahnya. Dahulu, di dalam rahim manusia berikrar tulus bahwa Allah s.w.t., sebagai Dzāt Yang Maha Pemelihara, mereka bersaksi akan hal itu. (141) Tapi kenapa ketika tumbuh dan mulai bisa menginjakkan kaki di dunia, mereka menjadi “beralih keyakinan”?

Mereka berbondong-bondong untuk mengagungkan kekayaan, mengagungkan jabatan dan meyakini bahwa hal-hal itulah yang akan memelihara dirinya untuk tetap survive (bertahan) menjalani hidup di dunia. Hal-hal duniawi yang semula diciptakan hanya sebagai sarana, justru membuat banyak manusia silau dan akhirnya menjadikannya tujuan utama.

Allah s.w.t. berfirman:

Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. ar-Rūm [30]: 40).

Tujuan sejati hidup ini, bukanlah untuk sekadar menikmati kehidupan. Hidup adalah untuk sesuatu yang sangat agung dan mulia, bukan untuk foya-foya dan meraih kepuasan dunia. Dunia hanyalah tujuan terkecil, yang utama tetap hidup dengan memaksimalkan fungsi akal, hati dan akhlak untuk kemuliaan beragama. Itulah tujuan yang sebenarnya dan agar manusia tetap konsisten pada janji fitrahnya.

Jika kita mau memaksimalkan dzauq tauḥīd (sense of tauhid) maka ke arah mana pun mata memandang dan ke tempat mana saja kaki melangkah, pasti ada sesuatu yang dapat kita ambil hikmah dan pelajaran akan kekuasaan Allah s.w.t. Semua yang ada di bumi ini – mulai dari makhluk yang paling kecil hingga kejadian-kejadian alam yang luar biasa – hakikatnya diciptakan agar manusia waspada dan hatinya terjaga untuk selalu “dekat” dengan Rabb.

Memang, macam dan varian fisik makhluk yang luar biasa banyak ini, membuat manusia terkadang lupa mengenai kebenaran sejati yang ada di baliknya. Sehingga banyak yang berlomba untuk mendapatkan “kulit” dan lupa akan “isi’ sebagai tujuan hakikatnya. Manusia yang tujuan awalnya dicemplungkan ke dunia untuk menyembah dan menemukan Tuhan, (152) justru setelah besar mereka terlena oleh indahnya fisik dunia dan melupakan tugas utama.

Tapi, manusia yang hati dan akalnya kokoh (beriman), akan melihat semua yang ada di dunia ini sebagai tanda kekuasaan dan bukti keberadaan Allah s.w.t. Bagi mereka, bukanlah iman jika ikrar hanya cukup mengakui keberadaan-Nya. Iman adalah pengakuan yang dibarengi dengan bukti kata, laku fisik, laku hati dan laku pikiran.

Semua manusia sebenarnya diciptakan agar mereka sampai pada tujuan yang sama yakni ma‘rifatullāh (mengenal Allah s.w.t.). Tapi, sebagian menemukan-Nya dan sebagian yang lain terlena oleh isi dunia. Hanya manusia yang mengasah batin dan jiwanya saja yang dapat menangkap pesan di balik “kemolekan” dunia ini.

Manusia, secara perlahan tapi pasti, telah bergerak menuju kemusyrikan atau penyekutuan Tuhan. Mereka menyembah Allah s.w.t., sekaligus juga menyembah jabatan, menyembah karier, menyembah harta dan kekayaan. Berhala-berhala semacam Lāta, ‘Uzzā, dan Manāt yang dahulu dihancurkn Ibrāhīm a.s., kini menjelma menjadi succes goals yang bersifat duniawi. Bahkan pada titik tertentu, manusia tidak hanya menyekutukan Allah tapi juga melupakan-Nya. Waktu, tenaga dan pikirannya habis untuk memerah sumber kekayaan duniawai, hingga hatinya menjadi dangkal dan keruh. Bibirnya tak kenal dzikir, pikirnya tak pernah tafakkur dan langkahnya lebih banyak untuk kemaksiatan dan foya-foya. Oleh sebab itu, Nabi Ibrāhīm a.s., harus tetap kita kenang sebagai “bapak tauhid” yang semangatnya menghancurkan berhala, mampu menginspirasi kita di zaman baru ini untuk menghancurkan berhala yang abstrak, tak berbentuk, namun nyata dalam hati.

Efek Negatif Kapitalisme

Itulah efek negatif dari kapitalisme yang memotivasi individu untuk bersaing bebas mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Dalam situasi itu, orang akan bekerja keras dan fokus pada pekerjaannya melebihi apa pun. Dilihat dari kaca mata industri, hal tersebut sangat baik karena dapat meningkatkan kesuksesan dan pretasi perusahaan. Tapi, pada saat yang sama ada hal penting yang luput dari perhatian kaum industrialis yaitu kebutuhan rohani mereka. Sehingga ibarat koral yang terendam air, luarnya mereka basah, tapi dalamnya kering.

Islam tidak pernah melarang umatnya berjuang mencari nafkah, bahkan menganjurkannya. Dalam sebuah riwayat bahkan disebutkan bahwa kematian yang dicintai Abū Bakar setelah mati di medan jihad adalah mati di medan dagang. Ini, membuktikan bahwa Islam mencintai kesejahteraan umatnya dalam hal materi. Tidak hanya itu, dalam riwayat al-Baihaqī, Rasūlullāh s.a.w., pernah ditanya mengenai aktivitas yang paling mulia dan beliau menjawab: “Orang yang bekerja dengan jerih-payahnya sendiri dan semua bentuk aktivitas niaga yang dilakukan dengan jujur dan bersih.

Intinya, Islam menganjurkan umatnya bekerja keras dan berjuang mencari materi. Hanya saja, dengan syariat dan qudwah yang dibawa Rasūlullāh, seorang muslim tidak seharusnya memisahkan aktivitas duniawi dengan aktivitas ukhrawi. Tapi, menggabungkan keduanya dengan tolok ukur utamanya kebutuhan ukhrawi. Sehingga, semangat kerja yang tinggi tidak semata-mata untuk meraup kesenangan dunia, tapi merupakan ekspresi penghambaan pada Allah dalam menunaikan amanah dan tanggung-jawab. Seperti tersirat dalam pesan Muḥammad bin ‘Ubaidillāh al-‘Atbīy pada anaknya: “Wahai anakku, jadikanlah dunia sarana untuk kesempurnaan agamamu. Lihatlah pamanku (‘Amr bin ‘Utbah), ia bersedekah seolah harta adalah musuhnya.” (163).

Jadi, mencintai harta, jabatan dan karier secara berlebihan, dilihat dari kaca mata apa pun, tetap tidak baik. Justru orang-orang yang tak lagi mendapati masalah keuangan, bersikap acuh tak acuh pada harta yang mereka miliki. Kekayaan dan jabatan bagi mereka adalah hal sepele dan bukan segalanya. Oleh sebab itu, dari kalangan mereka banyak yang memiliki jiwa kedermawanan melebihi rata-rata orang pada umumnya. Donasi mereka untuk orang yang membutuhkan terkadang di luar dugaan. Nominalnya membuat kita berdecak (membuat bunyi “cek” dengan mulut menyatakan kekaguman atau keheranan mengenai sesuatu).

Ini, mengingatkan kembali ungkapan Muḥammad bin ‘Ubaidillāh al-‘Atbīy bahwa di antara orang-orang kaya, banyak yang menganggap harta mereka adalah musuh yang harus dibuang (baca: disedekahkan). Dan, fenomena semacam ini, hampir ada di setiap generasi tanpa memandang apa agama mereka. Pada masa sahabat, orang yang terkenal bederma tanpa perhitungan adalah Abū Bakar, ‘Umar bin al-Khaththāb dan ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf.

Ada juga beberapa nama yang baru-baru ini hangat diperbincangkan, seperti Karl Rabeder yakni seorang pebisnis sukses yang merasa lega setelah meninggalkan seluruh hartanya, senilai 50 miliar. Ia juga berkata bahwa ia tidak akan menghakimi orang kaya yang terus menumpuk kekayaan: “Saya tidak punya hak untuk menasihati orang lain. Saya hanya mendengarkan suara hati saya.” (174).

Karl Rabeder adalah satu dari sekian banyak industrialis sukses yang merasakan hampa dengan gelimang harta. Ini, sekaligus menjadi bukti bahwa kesuksesan duniawi adalah kepuasan kosong yang nikmatnya hanya sementara. Sehingga al-Qur’ān menyebutkan bahwa kesibukan mencari kemegahan hidup di dunia adalah permainan (lā‘ibun) dan senda gurau (lahwun). Jadi, kepuasan-kepuasan yang dicapai saat meraih sukses duniawi, sama halnya dengan kepuasan saat orang menang dalam permainan.

Hanya kesuksesan ukhrawi saja yang dapat memberikan kepuasan yang sebenarnya pada manusia. Kesibukan-kesibukan yang bersifat ukhrawi, akan memberikan ketenangan batin dan jiwa. Allah s.w.t. berfirman:

Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda-gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS. al-An‘ām [6]: 31).

Catatan:

  1. 14). Dalam sebuah ayat, Allah s.w.t. berfirman:

    أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا.

    Bukankah Aku Tuhan yang memelihara kalian? Manusia menjawab: “Benar, kami bersaksi atas hal itu.” (QS. al-A‘rāf [7]: 172).

  2. 15). Dalam sebuah ayat Allah s.w.t. berfirman:

    وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ.

    Aku tidak ciptakan jinn dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 56).

  3. 16). Abū Ḥayyān at-Tauḥīdīy, al-Bashā’iru wadz-Dzakhā’ir. Jil. I, hal. 287.
  4. 17). Kompas.com

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *