Rezeki min ḥaitsu lā yaḥtasib itu, basicly sangat bergantung pada cara hidup seseorang dalam menaati dan mematuhi Allah dan Rasūl-Nya. Sehingga, siapa pun yang ingin mendapatkannya harus menjaga ketaqwaannya pada Allah dan Rasūl-Nya. Tapi, karena ini berkaitan dengan rezeki maka ketaqwaan itu harus tetap dibarengi dengan usaha nyata, seperti bekerja menjadi karyawan atau usaha sendiri.
Dalam dunia industri, sebagai karyawan, ada satu syarat untuk mencapai rezeki min ḥaitsu lā yaḥtasib yaitu patuh pada pemimpin. Ini, harus dibedakan dengan menjilat atasan. Patuh itu, menjalankan tugas dan perintah atasan dengan sempurna sesuai keahlian dan berani menolak atau menentang jika pekerjaan yang diperintahkan itu, melanggar syariat atau etika perusahaan. Sedangkan, menjilat adalah melakukan semua perintah atasan meskipun itu di luar bidang keahlian dan melanggar syariat atau etika perusahaan. Rasūlullāh s.a.w., pernah bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَ كَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بَمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَ لَا طَاعَةَ.
“Seorang muslim harus mendengar dan patuh, suka maupun tidak, kecuali bila ia diperintah untuk melaksanakan perbuatan maksiat. Bila ia diperintah untuk melakukan maksiat, maka tidak perlu didengar dan tidak usah patuh.” (HR. al-Bukhārī).
Hadits di atas, konteksnya adalah kepatuhan pada para pemimpin. Sebagian besar cenderung menggunakannya untuk dalil, patuh pada pemimpin pemerintah seperti Bupati, Gubernur hingga Presiden. Namun, pada hakikatnya istilah wulāt-ul-umūr atau orang-orang yang memiliki kendali perintah adalah umum. Bisa pemimpin pemerintah, bisa juga pemimpin perusahaan. Kedua pemimpin tersebut adalah orang-orang yang sama-sama memiliki kendali perintah langsung kepada bawahannya. Oleh karena itu, hadits di atas, menurut saya sah dan layak dijadikan dalil kepatuhan karyawan pada pimpinan perusahaan.
Mematuhi pimpinan, selama bukan perintah untuk berbuat maksiat adalah wajib hukumnya. Pembangkangan, baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak, dapat menyebabkan malapetaka, kekacauan, bahkan pembunuhan. Maka dari itu, tindakan bijaksana dan seimbang adalah dengan menyelesaikan berbagai sengketa lewat cara-cara yang santun dan nasihat baik. Dengan kata-kata yang baik dan terarah yang semula benci akan berubah menjadi ramah, dan yang mulanya bertikai akan menjadi saling sayang. Pada akhirnya, muncul kebaikan dan ketenangan, sekaligus menghilangkan perpecahan dan konflik.
Oleh karena itu, Allah s.w.t. memerintahkan kita supaya patuh kepada pemimpin. Dia berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasūl(-Nya), dan ulil-amri di antara kamu.” (QS. an-Nisā’ [4]: 59).
Berikut ini hadits yang menjelaskan tujuan, cara, dan aturan melaksanakan ketaatan. Sebuah hadits Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi Muḥammad s.a.w., yang bersabda:
“Seorang muslim harus mendengar dan patuh, suka maupun tidak, kecuali bila ia diperintah untuk melaksanakan perbuatan maksiat. Bila ia diperintah untuk melakukan maksiat, maka tidak perlu didengar dan tidak usah patuh.”
Maksudnya, tolok ukur perintah yang patut dipatuhi dan tidak itu terletak pada sesuai dan tidaknya dengan prinsip-prinsip syariah karena pada dasarnya siapa pun tidak boleh menaati makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Sang Khāliq.
Hal ini didukung hadits Muttafaqun ‘alaih yang lain dari Ibnu ‘Umar r.a. yang berkata: “Ketika kami mengucapkan baiat kepada Rasūlullāh s.a.w., untuk selalu mendengarkan dan taat (pada perintah dan ajaran beliau), beliau menyela: “Sesuai kemampuan kalian.” Hal ini menunjukkan bahwa semua perintah dan kewajiban dalam Islam pada prinsipnya adalah mudah, tidak membebani, tidak menyulitkan dan menyusahkan.
Hadits ini merupakan bukti bahwa seorang penguasa harus berbelas-kasih kepada rakyatnya, sebagaimana Nabi Muḥammad s.a.w., berbelas-kasih kepada umatnya. Nabi Muḥammad s.a.w., mengecam pembangkangan kepada pemimpin. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w., bersabda: “Siapa saja yang mencabut sumpahnya dari ketaatan maka ia akan berada di hadapan Allah tanpa memiliki alasan. (521) Dan siapa saja yang meninggal dan tidak terdapat baiat di lehernya maka matinya seperti mati dalam kejahiliahan”.” Dalam riwayat Imām Muslim, (532) “Siapa saja yang keluar dari mayoritas umat muslim dan membangkang terhadap pemimpin maka matinya seperti mati dalam kejahiliahan.” Maksudnya adalah seperti kematian orang jahiliah, yaitu mati dalam kesesatan karena tidak mematuhi pemimpin. Hadits ini menjelaskan kewajiban bagi umat untuk setia pada pemimpin yang adil, bergabung dengan masyarakat muslim, dan larangan membangkang tanpa alasan yang dibenarkan.
Hal ini dipertegas lagi dengan hadits lain yang diriwayatkan Imām al-Bukhārī dari Anas r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w., bersabda: “Dengarlah dan patuhlah, sekalipun kalian dipekerjakan oleh seorang budak Ethiopia berambut keriting.” Penyebutan kata budak dalam hadits tersebut menunjukkan penekanan untuk wajib taat pada pemimpin, siapa pun itu. Hal itu, karena dalam Islam tidak diperbolehkan menjadikan budak sebagai pemimpin karena syarat seorang pemimpin adalah harus merdeka.
Kepatuhan harus dijunjung tinggi dalam segala situasi, walaupun terkadang memberatkan atau merugikan hak-hak pribadi. Kaidah agama menyebutkan: “Melayani kepentingan umum lebih didahulukan dari kepentingan pribadi (taqdīm-ul-mashlaḥat-il-‘āmmati ‘alal-mashlaḥat-il-khāshshah).”
Imām Muslim meriwayatkan dari Abū Hurairah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w., bersabda: “Kamu harus dengar dan patuh, baik ketika kamu dalam kondisi susah maupun senang, baik kamu suka maupun tidak, bahkan ketikan kamu tidak mendapatkan yang seharusnya.” Maksudnya adalah, baik dalam keadaan miskin maupun kaya, dan apa pun kesulitannya, baik terhadap sesuatu yang disukai maupun sesuatu yang dibenci, termasuk ketika egoisme muncul. Contohnya adalah ketika orang lain diberi dan lebih didahulukan dari diri kita, bahkan menyebabkan kita tidak mendapatkan hak sendiri.
Obat dalam situasi seperti itu adalah hadits Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa bahwa Rasūlullāh s.a.w., bersabda: “Siapa saja yang kurang menyukai pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, jika sejengkal saja ia berseberangan dengan pemimpinnya, ia mati dalam keadaan jahiliah.” Begitulah balasan di akhirat. Adapun balasan di dunia, orang yang menentang dan meremehkan perintah penguasa akan dipermalukan, kemudian ditambah lagi dengan siksaan di akhirat.
Imām at-Tirmidzī meriwayatkan hadits hasan dari Abū Bakrah r.a. berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w., bersabda: “Siapa saja yang mempermalukan seorang pemimpin maka Allah akan mempermalukannya.” Maksudnya adalah Allah s.w.t., mempermalukannya di dunia dan menyiksanya di akhirat.