وَ أَلَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَّاءً غَدَقًا
“Dan sekiranya mereka tetap beristiqāmah di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.” (QS. al-Jinn [72]: 16).
Di zaman modern seperti sekarang, menjaga diri untuk tetap berada pada keyakinan yang tulus dan yang benar adalah tantangan terberat dalam beragama. Kebanyakan, godaan terbesar yang dapat membelokkan hati dari trek lurus tersebut adalah godaan duniawi. Gemerlap dunia, telah menggerakkan manusia untuk meraih berbagai kenikmatan fanā’ dengan segala cara, tak peduli halal atau haram.
Maka, dalam hal ini syaithan telah meraup sukses besar karena upayanya menciptakan generasi yang cerdas dalam menikmati dunia. Mereka, dengan karya dan ide kreatifnya akhirnya mampu menginspirasi orang banyak untuk berpikir bahwa dunia adalah segalanya. Menyulap dunia menjadi sangat menggoda hingga wejangan keakhiratan terasa seperti pepesan kosong, terutama dalam hati orang yang lemah iman.
Sikap dunia saat ini, pun sering kali mendiskreditkan orang-orang yang beriman dan bersahaja. Jika mereka bicara tentang wasiat dan nasihat kebaikan, diabaikan bahkan dicemooh. Tapi, giliran orang kaya berkelakar, banyak orang berbondong-bondong menyimak seolah itu adalah sabda. Dan, itu dilakukan atas kesadaran bukan sebab kebenaran kelakarnya orang kaya tersebut, melainkan harapan untuk mendapat imbalan harta. Sungguh mengerikan, peradaban modern telah meluluhlantarkan ulu hati keimanan dan ketaqwaan secara perlahan, di luar batas kesadaran manusia.
Oleh sebab itu, istiqāmah ini menjadi tema yang selalu diperdengarkan Islam pada setiap generasi. Supaya mereka sadar akan gencarnya serangan demi serangan yang dilakukan syaithan, yang perlahan tapi pasti dapat menghancurkan masa depan akhirat manusia beriman. Imām at-Tirmidzī meriwayatkan hadits ḥasan shaḥīḥ dari Sufyān bin ‘Abdillāh r.a., yang berkata:
“Aku pernah berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, sampaikanlah padaku suatu ucapan yang dapat aku jadikan tempat berlindung (dari murka Allah).” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Katakanlah: “Tuhanku adalah Allah.” Setelah itu, beristiqāmahlah engkau”.”
Hadits di atas secara tersirat menyarankan pada kita agar istiqāmah itu diniatkan. Sebab, tanpa ada upaya dan tekad untuk menegakkan istiqāmah, seseorang masih dapat dimungkinkan terjerumus ke dalam jalan sesat meskipun sebelumnya telah beriman. Jadi, memperkokoh bangunan iman agar tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia, tidak hanya dengan memperbanyak ibadah, tapi juga dengan menyatakan niat secara tegas untuk beristiqāmah di jalan Allah.
Dalam hal mengais rezeki, istiqāmah memiliki makna yang lebih luas. Tidak sekadar menjaga trek iman dan taqwa kita berada pada jalan yang lurus menuju ridha Allah, tapi juga konsistensi terhadap profesi yang kita miliki. Menekuni satu profesi hingga benar-benar ahli, merupakan bentuk istiqāmah dalam mengais rezeki. Memegang teguh prinsip dasar mu‘āmalah Islam, juga termasuk istiqāmah dalam mengais rezeki.
‘Abd-ur-Ra’ūf al-Minawī dalam kitab at-Taisīru syarḥ-il-Jāmi‘-ish-Shaghīr menyimpulkan secara sederhana makna istiqāmah yakni konsisten untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Atau Imām ad-Daqqāq pernah berkata: “Jadilah orang yang gigih memperjuangkan istiqāmah (sebagai proses) bukan yang giat mencari kemuliaan (hasil), nafsumu menginginkan kemuliaan tapi Tuhanmu meminta istiqāmah darimu.”
Banyak orang melupakan kemuliaan istiqāmah karena tergiur oleh godaan cara sukses yang instan. Padahal, bagaimanapun juga, upaya seseorang dalam meniti proses secara ulet dan tekun, itu jauh lebih baik ketimbang menerima hasilnya secara dadakan:
Dalam berbisnis saja, kita bisa menggali keunggulan dan kelebihan sebuah usaha setelah menekuninya bertahun-tahun. Memiliki banyak pelanggan setia, juga akibat kegigihan kita untuk tetap konsisten dan tekun menjalani usaha selama sekian tahun. Bahkan beberapa usaha ada yang keuntungannya baru didapat setelah sekian tahun berjalan. Semua itu menjadi lebih baik, jika istiqāmah menjadi prinsip hidup kita dalam upaya menegakkan akhlak mulia seperti kejujuran, keramahan, ketulusan, dan kasih-sayang. Istiqāmah adalah kekuatan dahsyat yang membentuk pribadi utuh sehingga mudah dikenali secara lahir dan bathin, baik oleh Allah sebagai Dzāt Yang Maha Melihat atau oleh manusia yang pandangannya terkadang melebihi jangkauan kasatmata.
Dan lagi, lidah adalah sumber yang mengawali segalanya dari seluruh rentetan dan bentuk istiqāmah yang kita perjuangkan. Sehingga, ucapan terbaik saat kita hendak mengawali aktivitas sehari-hari bekerja, belajar, atau apa pun adalah basmalah disertai niat dan doa. Sepanjang hari, sejatinya hanya pada segelintir kalimat itulah konsentrasi anggota tubuh kita akan mengarah. Inilah pentingnya niat dan doa, untuk memancang diri agar tetap istiqāmah di jalan yang lurus dan yang benar.
Imām at-Tirmidzī meriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a., dari Rasūlullāh s.a.w., yang bersabda:
“Jika seorang anak Ādam memasuki waktu pagi, sesungguhnya semua anggota tubuhnya akan tunduk pada lidahnya. Semua anggota badan itu akan berkata pada lidah: “Bertaqwalah kepada Allah bersama kami semua. Karena sesungguhnya, kami bergantung padamu. Jika engkau bersikap istiqamah, kami juga istiqamah. Sebaliknya, jika engkau menyimpang maka kami juga akan menyimpang”.”
Atau pada hadits lain, Imām Aḥmad dan Ibnu Abī Dunyā meriwayatkan dari Anas bin Mālik r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w., bersabda:
“Iman seorang hamba tidak istiqāmah sebelum hatinya istiqāmah, dan hatinya tidak istiqāmah sebelum lidahnya istiqāmah. Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”
Semoga dua hadits penutup ini menginspirasi kita untuk tidak lupa berdoa saat hendak mengawali hari.