Tiga
Jujur memang tak semudah mengucapkannya, terutama jika dengan berbohong seseorang dapat meraup kepentingan-kepentingan pribadi yang menggiurkan. Sehingga, banyak orang merelakan kejujurannya, hanya karena secuil rupiah yang menjanjikan. Di dunia modern seperti saat ini, kejujuran adalah barang mahal yang susah didapat. Apalagi, jika kita tahu, sebuah sistem – sebagai produk yang dapat mengawal kebenaran – justru dibuat dengan ketidakjujuran, rasanya makin ciut saja nyali kita untuk menghadapi dunia. Bukan sebab ketidakberanian, melainkan gambaran akan betapa lelahnya menghadapi kebohongan-kebohongan menjadi semakin besar dan mengkhawatirkan.
Tapi, jujur bukanlah sifat yang utamanya kita tuntut dari orang lain, melainkan sifat yang utamanya kita tanam dalam diri. Itu karena, kejujuran lebih mudah dida‘wahkan dengan praktik (lisān-ul-ḥāl) daripada dengan ucapan (lisān-ul-maqāl). Sehingga lebih baik diam disertai aksi jujur yang riil daripada bicara kejujuran di sana-sini, baik itu dalam rangka menda‘wahkan atau disertai menghujat kebohongan.
Jujur adalah sifat yang dapat menyebarkan energi positif hingga menggugah orang lain yang melihatnya untuk melakukan kejujuran yang sama. Oleh sebab itu, sekali lagi, yang terpenting bukanlah kerja keras mengungkap kebohongan, tapi kerja keras menunjukkan kejujuran. Dan itu, akan jauh lebih berhasil dalam mewujudkan budaya transparansi dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasūlullāh s.a.w. dalam riwayat al-Bukhārī dari Ibnu Mas‘ūd pernah bersabda:
“Kejujuran akan mengarahkan pada kebajikan, dan kejujuran akan menggiring ke dalam surga. Seseorang yang memperjuangkan kejujuran akan dianugerahi sifat jujur oleh Allah. Sementara itu, bohong akan mengarahkan pada perbuatan dosa, dan bohong akan menggiring ke dalam neraka. Dan, seseorang yang berjuang untuk berbohong akan dianugerahi sifat pembohong oleh Allah.”
Secara tersirat, pada hadits di atas Rasūlullāh s.a.w., mengajarkan bagaimana cara menjadi pribadi yang jujur yakni dengan gigih untuk berbuat jujur. Dalam banyak kesempatan, hati kita bertekad untuk menjadi orang jujur. Bahkan sering kali dalam doa, kita memohon pada Allah agar dijadikan hamba yang jujur. Lantas, kita pun menunggu sifat jujur yang kita pinta dalam doa itu, hadir dalam diri kita.
Hadits di atas, meski dengan redaksi yang singkat, telah mengajarkan banyak hal tentang hakikat kejujuran. Menurutnya, jujur bukanlah anugerah yang datang dari satu pihak saja. Artinya, untuk menjadi orang jujur, kita tidak bisa menunggu sampai Allah menganugerahkan sifat jujur. Harus ada aksi konkret untuk mewujudkannya. Aksi itulah amal sekaligus doa. Dan, melalui cara itupula Allah akan menganugerahkan sifat jujur. Jadi, tidak perlu menunggu dijadikan Allah sebagai orang jujur. Tapi, wujudkanlah kejujuran dengan gigih, penuh perjuangan, maka Allah pada waktunya akan menancapkan sifat itu ke dalam diri kita.
Kegigihan dan perjuangan dalam upaya mewujudkan kejujuran sangat penting ditegaskan, mengingat “bohong” sering kali datang mengekang diri kita dengan sangat kuat. Jika kita tak mampu melepas kekangan itu, maka kita akan kalah dan menuruti kemauan “bohong”. Suasana semacam itu, bisa jadi hadir setiap hari dalam kehidupan kita, dalam bekerja, menjalankan bisnis maupun saat bergaul dengan teman atau saudara.
Pengalaman sehari-hari dalam hidup kita, mengajarkan banyak hal. Di antaranya, bahwa jujur itu menghasilkan rezeki. Tapi, kadang justru sebaliknya, bahwa dengan berbohong orang bisa meraup banyak uang. Ini, biasanya menjadi godaan besar, yang sering kali mengaburkan kegigihan dan perjuangan seseorang untuk berlaku jujur. Tapi, bagaimanapun bohong adalah “borok” yang cepat atau pun lambat akan menginfeksi penderitanya alias ketahuan. Allah s.w.t., juga telah mengingatkan:
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung.” (QS. Yūnus [10]: 69).
Bagaimanapun, rezeki dan kejujuran jaraknya hanyalah setipis kulit bawang. Ini, berdasar pada ayat di atas karena jika kita pahami sebaliknya, menurut surah Yūnus tersebut, orang yang jujur pasti beruntung. Dan, banyak sekali peristiwa atau kasus yang dengan kejujurannya seseorang mendapat balasan yang melimpah, di luar yang dibayangkan.
Secara batiniah, kejujuran juga mampu menghasilkan efek tenang dalam jiwa seseorang. Tapi sebaliknya, kebohongan melahirkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran yang terus-menerus. Imām at-Tirmidzī meriwayatkan dari Abū Muḥammad al-Ḥasan bin ‘Alī r.a., yang mengatakan: “Aku selalu menjaga pesan Rasūlullāh s.a.w.: “Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu (dan beralihlah) untuk melakukan sesuatu yang tidak membuatmu ragu karena jujur berarti ketenangan, sementara dusta berarti keragu-raguan”.”
Jika hipotesis yang didasarkan pada hadits di atas benar – bahwa bohong menimbulkan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran – maka pebisnis mana yang bisa konsentrasi mengembangkan usahanya dalam kondisi mental semacam itu? Karyawan mana yang dapat fokus menyelesaikan pekerjaannya dalam kondisi bathin yang tidak menentu seperti itu? Bahkan seorang CEO pun akan “goyang” jika kekhawatiran-kekhawatiran menyelimuti jiwa dan pikirannya, hingga akhirnya sebuah perusahaan pun tutup buku di usia produktif.
Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim meriwayatkan dari Abū Khālid Ḥakīm bin Ḥizām r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Penjual dan pembeli boleh khiyār (melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan terbuka, jual-belinya diberkahi. Apabila keduanya bohong dan menyimpan (kecacatan), keberkahan jual-belinya akan hilang.”
Jujur adalah hak lisan dan hati setiap manusia, yang merupakan bawaan sejak lahir atau fitrah. Kejujuran juga tidak musti dimulai dengan menguak skandal atau rahasia besar. Jujur adalah sifat yang muncul akibat tekad kuat untuk mewujudkannya dari hal yang paling kecil. Jujur adalah amanah Allah yang harus kita tunaikan tanpa banyak pikir dan pertimbangan karena jujur adalah kita bukan hal di luar diri kita.
Allah s.w.t. menyebutkan sepuluh golongan orang yang berhak mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya, salah satunya adalah orang yang jujur. Allah s.w.t. berfirman:
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyū‘, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 35).