Menurut ‘Abd-ur-Ra’ūf al-Minawī, shalat memiliki banyak manfaat dan keutamaan, di antaranya adalah mendatangkan rezeki, menjaga kesehatan badan, menyembuhkan penyakit, dapat menjadi obat, menjadikan hati kuat dan tegar, mendatangkan kebahagiaan dalam hati, menghilangkan rasa malas, menumbuhkan rasa semangat, menenangkan roh, menerangi hati, menyegarkan paras wajah, mendatangkan ni‘mat dan menjauhkan diri dari balak, mendatangkan barakah, menjauhkan diri dari syaithan, dan mendekatkan diri pada Tuhan. (491).
Secara keseluruhan, manfaat dan keutamaan tersebut adalah kebutuhan primer bagi jasmani dan rohani umat manusia. Dengan shalat manusia menjalin hubungan yang erat dengan Tuhan, yang akhirnya dapat menjadi pembuka kebaikan. Berupa keni‘matan berlimpah, dan jauhnya diri dari segala merabahaya yang mengancam.
Ketika hari-hari yang dijalani begitu kusut dan hati terasa sempit, maka obat yang paling mujarrab bagi seorang muslim adalah shalat. Dalam sebuah ayat Allah s.w.t., memerintahkan umat Islam agar mereka memohon pertolongan pada-Nya dengan sikap sabar dan menjalankan shalat. Pertolongan dari segala macam masalah, baik kebutuhan jasmani ataupun ruhani. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153).
Rezeki yang menjadi jatah kita sudah pasti akan turun, hanya sabar dan menjaga peningkatan ketaqwāan saja, yang perlu kita butuhkan untuk menunggunya. Dan, pada hakikatnya rezeki tidak harus berupa materi. Rezeki dari Allah s.w.t., dapat berupa apa saja yang mendatangkan kebahagiaan karena kebutuhan manusia terhadap dirinya sangat banyak serta beraneka ragam. Yang sedang kelaparan maka sepiring nasi adalah rezeki. Yang tertimpa cobaan sakit maka kesehatan adalah rezeki.
Dalam sebuah hadits, Abū Hurairah mengisahkan:
“Pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w., pergi berhijrah, dan aku juga mengikutinya. Kemudian aku menunaikan shalat dan setelah itu aku duduk memandang ke arah Nabi s.a.w. Lantas, Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apakah perutmu sakit?” Aku menjawah: “Benar, Rasūlullāh.” Beliau kemudian bersabda: “Berdirilah dan tunaikan shalat, sesungguhnya dalam shalat itu terdapat obat.” (HR. Ibnu Mājah).
Dari hadits di atas, tidak bisa serta-merta dipahami bahwa shalat menghilangkan sakit perut. Tapi, shalat pada kondisi tertentu, yang dijalankan dengan ikhlas dan khusyū‘, mampu memberikan inspirasi, psikoterapi dan motivasi bagi pelaku untuk kembali sehat. Adapun mengenai shalat Dhuḥā, pada dasarnya tidak ada hadits yang secara jelas mengatakan bahwa ia dapat mendatangkan kekayaan duniawi. Tapi, shalat Dhuḥā dikatakan sebagian orang sebagai shalat rezeki karena beberapa alasan. Pertama, adalah karena waktunya bertepatan dengan saat rezeki dibagi-bagi. Sebagaimana ungkapan Ibnu ‘Abbās kepada anaknya, yang pada saat ia menjumpai putranya tidur di pagi hari, berkata: “Bangun! Bagaimana kamu bisa tidur pada saat rezeki sedang dibagi-bagi?” (502).
Itulah, perkataan yang dikenang umat Islam dan akhirnya kini membentuk pemahaman bersama bahwa shalat Dhuḥā mendatangkan rezeki bahkan menjadi cikal-bakal tradisi dan budaya. Yang di beberapa masjid di negeri ini, diramaikan dengan jamā‘ah shalat Dhuḥā.
Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa shalat Dhuḥā adalah shalatnya orang kaya. Itu karena, di dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa dengan dua rakaat shalat Dhuḥā, seseorang mampu mengeluarkan sedekah wajib untuk 360 persendiannya. Padahal, kewajiban sedekah tersebut harus dijalankan setiap pagi hari. Dari pemahaman ini, sebagian orang memahami, bahwa orang yang menjalankan shalat Dhuḥā tidak hanya kaya tapi juga dermawan karena mampu bersedekah wajib setiap hari untuk 360 persendiannya.
Adapun hadits yang dimaksud adalah riwayat dari Abū Dzarr, sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:
“Seluruh persendian kalian wajib untuk bersedekah pada setiap pagi hari. Sedekahnya bisa berupa kalimat tasbīḥ (subḥānallāh), bisa berupa kalimat taḥmīd (alḥamdulillāh), bisa berupa kalimat tahlīl (lā ilāha illallāh), dan bisa dengan kalimat takbīr (Allāhu akbar), bisa juga dengan menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran. Tetapi, hanya dengan dua rakaat shalat Dhuḥā semuanya sudah terpenuhi.” (HR. Muslim).
Ketiga, shalat Dhuḥā dikatakan sebagai shalat rezeki karena ia merupakan sunnahnya nabi terkaya yakni Sulaimān a.s. Kesimpulan ini, diambil setelah membandingkan antara surah Shād ayat 30 dengan hadits shaḥīḥ riwayat Imām Muslim. Adapun bunyi ayat tersebut adalah:
“Dan kepada Dāwūd, Kami karuniakan (anak bernama) Sulaimān; dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat kepada Allah (awwāb).” (QS. Shād [38]: 30).
Sedangkan hadits riwayat Imām Muslim menyatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w., suatu ketika dalam perjalanan melihat penduduk di sekitar masjid Quba’ sedang menunaikan shalat Dhuḥā. Melihat itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Inilah shalatnya orang-orang yang taat dan suka bertobat (awwāb), ketika anak onta merasakan panasnya pasir akibat terpanggang cahaya matahari.” (HR. Muslim).
Setelah membandingkan ayat di atas dengan hadits riwayat Imām Muslim tersebut, terdapat dua lafazh yang sama yakni awwāb yang berarti orang yang taat. Pada surah Shād lafazh tersebut berbentuk mufrad atau tunggal, sedangkan pada hadits riwayat Muslim berbentuk jama‘ atau plural, al-awwābīn.
Pada ayat ke-30 surah Shād disebutkan dengan jelas bahwa orang yang mendapat gelar awwāb adalah Nabi Sulaimān a.s. Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imām Muslim tersebut, menegaskan bahwa orang-orang yang menjalankan shalat Dhuḥā mendapatkan gelar awwāb, layaknya gelar yang diterima Nabi Sulaimān a.s.
Itulah, kiranya tiga alasan kenapa banyak orang menganggap shalat Dhuḥā dapat memudahkan terbukanya pintu rezeki. Dan, itu sudah terlanjur menjadi keyakinan banyak orang, meskipun tidak ada nash yang menjelaskan secara tegas. Dan, shalat sebagai ruh ibadahnya umat Islam, yang sudah ditetapkan kewajibannya bahkan kepada nabi-nabi sebelum Muḥammad s.a.w., tentu memiliki banyak sekali manfaat selain mencegah perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana sudah disebutkan di awal.
Tapi, tentu saja kita menjalankan shalat, apa pun itu, wajib ataupun sunnah, bukan untuk mendapatkan manfaat-manfaat tersebut. Biarkan, Allah yang mengatur, akan mendapat manfaat apa dari shalat yang kita kerjakan. Kita hanya pantas membicarakan sejauh mana keikhlasan dan kekhusyu‘an dalam menjalankannya.