Taqwā yang Mendatangkan Rezeki
Dalam hidup ini, manusia tidak pernah lepas dari lingkaran rezeki. Dari pagi hingga malam, hampir semua makhluk di belahan dunia, bergerak mencari rezeki. Semua jalan dan pintu rezeki terbuka lebar-lebar, macam dan caranya ribuan. Namun, dari macam dan cara yang banyak itu, pada akhirnya rezeki akan mengerucut pada tiga sifat yakni haram, syubhat (441), dan halal.
Banyak rezeki haram yang serupa dengan halal, yang syubhat tampak jauh dari haram, tapi yang halal kadang justru tak kelihatan. Dalam situasi semacam itu, maka tidak ada bekal (zād) yang bisa menjamin keselamatan seseorang, terutama untuk kehidupannya di akhirat, selain taqwā dalam hati.
Kita hidup di dunia adalah seperti musafir yang berteduh sejenak untuk minum karena kehausan. Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Di dunia ini aku tidak lain hanyalah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon untuk istirahat sejenak kemudian pergi meninggalkannya.” (452).
Sebuah perumpamaan yang menunjukkan bahwa hidup itu sangat singkat, dan justru setelah kematian itulah manusia menjalani hidup yang sebenarnya. Hidup dalam rentang waktu yang sangat lama, bahkan abadi selamanya. Maka di dunia ini, hakikatnya kita adalah musafir yang sedang bergerak menuju kehidupan lain. Lantas, bekal apa yang paling baik untuk kita miliki? Bekalnya adalah taqwā. Bukan kekayaan, bukan kecantikan, bukan popularitas, bukan jabatan ataupun takhta. Sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwā….” (463).
Berbekal taqwā, musafir tak akan lalai beribadah. Berbekal taqwā, musafir tak akan tergiur kenikmatan sesaat yang diharamkan. Berbekal taqwā, musafir akan selamat dari jalan berliku. Berbekal taqwā, musafir akan menemukan hakikat perjalanan dan sampai pada tempat tujuan dalam keadaan sehat dan selamat.
Dan, jangan pernah takut, karena selama menempuh perjalanan di dunia, musafir tidak dibiarkan kelaparan oleh Allah s.w.t. Bahkan jauh-jauh hari sebelum mereka mengawali perjalanan itu (dalam rahim), Allah s.w.t., telah menetapkan jatah rezeki untuk semua musafir (manusia). Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكًا يَقُوْلُ: يَا رَبِّ نُطْفَةٌ يَا رَبِّ عَلَقَةٌ يَا رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْضِيَ خَلْقَهُ قَالَ: أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى، شَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ، فَمَا الرِّزْقُ وَ الْأَجَلُ فَيُكْتَبُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ. (البخاري).
“Sesungguhnya Allah, untuk urusan rahim, menunjuk wakil sesosok malaikat yang berkata: “Ya Tuhanku, ciptakanlah benih. Ya Tuhanku, ciptakanlah segumpal darah. Ya Tuhanku, ciptakanlah segumpal daging, dan ketika malaikat itu hampir selesai mengemban tugas pembentukan janin, malaikat bertanya tentang jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, sedih atau bahagia, bagaimana rezeki dan ajalnya. Semua itu ditentukan dalam perutnya ibu dari janin itu.” (HR. al-Bukhārī).
Jumlah dan jatah rezeki itu disesuaikan dengan taqdir umur yang sudah digariskan bagi mereka. Selama umur yang ditentukan itu belum habis, rezeki mereka selama menjadi musafir di dunia tidak akan habis. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian memburu-buru rezeki karena seorang hamba itu tidak akan mati hingga menghabiskan seluruh jatah rezeki yang digariskan untuknya, maka bertaqwalah pada Allah s.w.t., dan carilah rezeki itu dengan cara yang baik.…” (474).
Setiap manusia memiliki catatan taqdirnya sendiri. Baik itu terkait dengan umur atau jatah rezeki yang akan menjadi bekal fisik manusia dalam menempuh perjalanan singkat di dunia. Jatah rezeki yang di-taqdīr-kan Allah s.w.t., pasti akan diberikan, bahkan tanpa diminta. Oleh karena itu, untuk apa melakukan cara-cara haram dalam memperolehnya?
Kalau mau sabar menunggu jatah rezeki itu turun, sambil mencarinya dengan cara halal, Allah s.w.t., pasti akan memperhatikan kita. Dia akan memberi jalan keluar dan rezeki yang lebih barakah.
Tapi, jika tidak sabar menunggu jatah rezeki yang sudah di-taqdīr-kan itu, dengan cara mencari yang haram, sangat sulit rasanya untuk mendapat rezeki tambahan yang lebih barakah. Memang, siapa pun tetap mendapatkan rezeki yang sudah digariskan. Jatah yang sudah di-taqdīr-kan Allah s.w.t., tidak akan Dia kurangi, sekalipun seseorang menodainya dengan cara yang haram. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya rezeki (yang sudah di-taqdīr-kan) itu (secara jumlah) tidak dapat berkurang karena perbuatan dosa, dan tidak dapat bertambah karena perbuatan baik.” (485) Namun, orang itu akan mendapat rezeki sebatas ketentuan yang ditulis dalam rahim, tidak lebih sedikit pun.
Tidak hanya itu, balasan lain atas tindakan haram dalam memperoleh rezeki adalah hilangnya keberkahan. Sehingga seseorang merasa rezeki yang diterimanya seperti angin lalu, tak berbekas, dan habis dalam waktu singkat. Bahkan, saat hendak menikmati rezeki tersebut, orang lain datang mengganggu, akhirnya berebut, kalut, dan tidak tenang.
Hanya karena tidak punya bekal taqwa dan sabar, seseorang bisa kehilangan keberkahan rezekinya. Dan, karena itu pula ia tidak dapat menikmati rezeki. Padahal, mulanya ia mencari rezeki agar bisa menikmatinya.
Intinya, kita sudah punya bekal taqwā, kita juga sudah punya jatah rezeki. Dan, semoga dengan kita tambah derajat dan nilai ketaqwāan, Allah memberikan rezeki lebih selain dari jatah yang sudah ditentukan, sebagai bonus dari i‘tiqad baik kita sebagai hamba yang taat mengabdi.
Catatan:
- 44). Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa syubhat itu sejatinya tidak ada, terutama bagi orang-orang yang mengetahui agama secara mendalam. Syubhat, dalam arti tidak ada kepastian antara halal dan haram, pada hakikatnya adalah termasuk suatu yang haram atau halal.
- 45). HR. at-Tirmidzī, hadits ḥasan shaḥīḥ, dari Ibnu Mas‘ūd.
- 46). (QS. al-Baqarah [2]: 197).
- 47). HR. al-Baihaqī, Sunun-ul-Kubrā, Kitāb-ul-Buyū‘, Bāb-ul-Ijmāli fī Thalab-id-Dunyā wa Tarki Thalabihā bimā lā Yaḥill.
- 48). HR. ath-Thabrānī dari Abū Sa‘īd (al-Mu‘jam-ush-Shaghīr).