Hati Senang

21 Taqwa – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Dua

AMALAN YANG MELANCARKAN REZEKI

Taqwā

 

وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.

Barang siapa bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2-3).

Taqwā adalah perintah syariat, bahkan kalau dirujuk pada surah Āli ‘Imrān ayat 102, perintah Allah s.w.t., tidak sekadar bertaqwā tapi taqwa yang sebenar-benarnya (ḥaqqa tuqātih). (391) Taqwā semacam itu, pencapaiannya harus melalui proses yang intens dan bertahap, yang tak mungkin sekali cari, sekali dapat. Intinya, taqwā tidak bisa dicari secara sepotong-sepotong hanya saat kita membutuhkan. Taqwā bukan komoditas yang secara pragmatis bisa dimanfaatkan untuk kepentingan duniawi.

Taqwā tak boleh dipermainkan, apalagi dikesankan hanya sebagai “tempat pelarian” saat terpuruk. Tapi, ada sebagian orang yang melakukan itu, justru berangkat dari pemahaman terhadap teks surah ath-Thalaq ayat 1 dan 2, di atas. Mereka beranggapan, rezeki adalah kebutuhan utama dan taqwā adalah sarana praktis untuk meraihnya. Itu tidak benar, dan marilah sejenak mengkaji makna dua ayat tersebut serta memahaminya lebih dalam, hingga tidak menimbulkan anggapan yang salah.

Secara eksplisit, memang surah ath-Thalaq ayat 1 dan 2, di atas, memerintahkan untuk bertaqwā. Tetapi, secara implisit teks tersebut merupakan perintah untuk meningkatkan ketaqwāan pada tahap yang lebih tinggi. Sebab, ḥaqqa tuqātih atau taqwā yang sebenar-benarnya itu bukanlah final destination seperti finish dalam lomba lari, melainkan ruang luas yang di dalamnya banyak derajat yang bertingkat-tingkat.

Artinya, ketika orang sudah bertaqwā tidak berarti kerja telah usai. Ada banyak tahapan yang harus ia tempuh untuk mencapai ḥaqqa tuqātih. Dan, setiap orang memiliki tahapan yang berbeda sesuai kemampuan masing-masing, sebagaimana firman Allah: “Bertaqwālah kalian pada Allah sesuai kemampuan kalian….” (402).

Lantas, apakah taqwā dapat memudahkan rezeki? Itu masalah nanti, yang jelas tanpa dikaitkan dengan keuntungan duniawi, meningkatkan taqwā adalah perintah syariat yang harus dijalankan. Tidak hanya bagi umat Muḥammad s.a.w., tapi juga umat-umat terdahulu. Mohon perhatikan rentetan ayat di bawah ini, yang membuktikan bahwa taqwā juga menjadi tuntutan bagi umat-umat terdahulu.

وَ إِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوْسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ. قَوْمَ فِرْعَوْنَ أَلَا يَتَّقُوْنَ.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Mūsā (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang zhalim itu, (yaitu) kaum Fir‘aun. Mengapa mereka tidak bertaqwā?” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 10-11).

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحٍ الْمُرْسَلِيْنَ. إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوْهُمْ نُوْحٌ أَلَا تَتَّقُوْنَ.

Kaum Nūḥ telah mendustakan para rasūl. Ketika saudara mereka (Nūḥ) berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwā?”.” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 105-106).

كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِيْنَ. إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوْهُمْ هُوْدٌ أَلَا تَتَّقُوْنَ.

(Kaum) ‘Ād telah mendustakan para rasūl. Ketika saudara mereka Hūd berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwā?”.” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 123-124).

كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ الْمُرْسَلِيْنَ. إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوْهُمْ صَالِحٌ أَلَا تَتَّقُوْنَ.

Kaum Tsamūd telah mendustakan para rasūl. Ketika saudara mereka Shāliḥ berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwā?”.” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 141-142).

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطٍ الْمُرْسَلِيْنَ. إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوْهُمْ لُوْطٌ أَلَا تَتَّقُوْنَ.

Kaum Lūth telah mendustakan para rasūl. Ketika saudara mereka Lūth berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwā?”.” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 160-161).

Ayat-ayat di atas, secara jelas menyebutkan bahwa kaum Nabi Mūsā a.s., Nabi Nūḥ a.s., Nabi Hūd a.s., Nabi Shāliḥ a.s., dan Nabi Lūth a.s., diperintahkan untuk bertaqwā kepada Allah s.w.t.. Hal itu, membuktikan bahwa umat terdahulu sudah dituntut untuk mengekspresikan ketaqwāan kepada Allah s.w.t., sebagai bagian dari fondasi beragama mereka.

Lantas taqwā itu apa? Secara definisi taqwā adalah menjaga diri (takut) dari berbuat sesuatu yang mendatangkan murka Allah s.w.t., baik itu dengan meninggalkan perintah-Nya atau melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya.

Para sahabat membuat ungkapan menarik dalam menganjurkan taqwā. Mereka berkata: “Jangan pernah melihat besar atau kecilnya dosa yang kamu kerjakan. Tapi lihatlah, pada siapa kamu mempertanggungjawabkannya.” (413).

Taqwā itu, sederhananya, adalah banyak takut. Ketika hendak melakukan apa pun, selalu yang muncul pertama di hati adalah rasa takut. Adapun yang ditakutkan adalah Allah s.w.t., dengan segala ketentuan hukum yang diberlakukan-Nya. Jika terkait dengan perintah-Nya maka taqwa yang dimaksud adalah takut untuk melanggar, dan jika terkait dengan larangan-Nya maka taqwā yang dimaksud adalah takut untuk melakukannya.

Pernah, suatu ketika sahabat Ubay ibn Ka‘b ditanya oleh ‘Umar ibn al-Khaththāb mengenai taqwā. Tapi Ubay ibn Ka‘b justru menjawab dengan balik bertanya:

“Apakah kamu pernah ragu atas tindakanmu?”

“Ya, pernah,” jawab ‘Umar.

“Lantas, apa yang kamu lakukan?” Ubay ibn Ka‘b bertanya lagi.

“Aku pun berhati-hati lalu berijtihad,” jawab ‘Umar ibn al-Khaththāb.

“Ya, seperti itulah taqwā.” Tukas Ubay ibn Ka‘b. (424).

Penggalan dialog di atas, walaupun tampaknya sederhana, namun menyingkap kandungan yang dalam. Pada hakikatnya, hati manusia yang beriman itu peka dan mengetahui kebenaran. Oleh karena itu, seharusnya yang namanya ragu itu tidak ada.

Namun, keraguan sering muncul sebab kebenaran yang disuarakan hati dirancukan oleh hawa-nafsu. Jika hati diselimuti hawa-nafsu dan kebenaran menjadi samar, maka jalan terbaik untuk memutuskan masalah adalah bertanya pada logika (ijtihād). Jadi, hati-hati dalam bertindak – dengan banyak mengambil pertimbangan akibat takut terjerumus pada hal yang tidak diridhai Allah s.w.t., – adalah salah satu bentuk taqwā.

Adapun, terkait dengan hati sebagai sumber kebenaran, terdapat hadits yang mengisahkan bahwa suatu ketika sahabat yang bernama Wābishah datang menemui Rasūlullāh s.a.w. Ia, hendak bertanya tentang kebaikan dan dosa. Rasūlullāh s.a.w. pun bertanya pada Wābishah:

Apakah kamu datang hendak bertanya tentang kebaikan dan dosa?

“Benar, Rasūlullāh,” jawab Wābishah.

Kemudian Rasūlullāh meletakkan tangannya di dada Wābishah seraya berkata: “Wahai Wābishah. Tanyalah tentang kebaikan pada hati dan jiwamu karena kebaikan adalah segala hal yang untuk melakukannya jiwa merasa tenang. Sedangkan dosa adalah segala hal yang untuk melakukannya jiwa merasa tidak tenang dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun kamu sudah meminta pertimbangan pada banyak orang atau bahkan mereka telah menyuruhmu untuk melakukannya.” (435).

Intinya, setiap orang sudah memiliki bekal taqwānya masing-masing. Tinggal, yang sudah ada itu dirawat sebaik apa? Ditingkatkan setinggi apa? Semua, bergantung pada masing-masing orang yang bersangkutan. Tapi, jika benih taqwā yang ada itu ditelantarkan maka kepekaan jiwa dan hati pada kebaikan pun akan menurun. Sehingga banyak orang tersadar dirinya melakukan dosa, setelah semuanya terjadi dan selesai dikerjakan. Padahal, jika taqwā yang ada dalam dirinya “dipupuk” tiap waktu, maka suatu dosa akan disadari sebelum dilakukan hingga akhirnya seseorang menjauhi. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu meningkatkan ketaqwāan. Amin.

Catatan:

  1. 39). Ayatnya adalah:

    يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ.

    Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah pada Allah dengan sebenar-benarnya taqwā.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 102).

  2. 40). Ayatnya adalah:

    فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

    Bertaqwālah kalian pada Allah sesuai kemampuan kalian…..”

  3. 41). Al-Qurthubī, al-Jāmi‘u li Aḥkām-il-Qur’ān, Tafsīr surah an-Nisā’ ayat 31.
  4. 42). Ibnu Katsīr, Tafsīr Ibnu Katsīr, dalam Tafsīr surah al-Baqarah, ayat 3.
  5. 43). HR. Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad Aḥmad.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.