وَ لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوْا وَ اتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ وَ لكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A‘rāf [7]: 96).
Ayat di atas, secara tersirat mengajarkan kepada manusia, khususnya umat Islam, agar bisa menciptakan lingkungan yang baik. Mulai dari lingkup yang terkecil yakni keluarga hingga yang terbesar yaitu Negara. Tujuannya, adalah agar dengan lingkungan yang kita bina bersama itu, Allah menurunkan barakah dari langit secara merata kepada semua anggota masyarakat di mana kita tinggal.
Bukan sebaliknya, membiarkan anggota lingkungan kita, satu demi satu dijangkiti penyakit masyarakat hingga pada titik kulminasi, Allah menurunkan siksa. Siksa yang merata kepada semua penduduk, baik yang beriman maupun yang membangkang. Sebagaimana yang terjadi dalam kisah yang disinggung pada ayat di atas.
Atau dalam firman yang lain: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.” (QS. an-Naḥl [16]: 112).
Inilah Islam, agama yang mengajarkan keutuhan dan sinergi antara aktivitas ukhrawi dan kehidupan duniawi. Bahkan secara ekstrem, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa perekonomian penduduk sangat bergantung pada tingkat ketaatan mereka kepada Allah. Itulah, faktor yang mungkin sering dilupakan oleh manusia kapitalis yang meyakini bahwa kekuatan basis ekonomi hanya dari modal dan teori dagang. Dalam arti, Tuhan tidak ikut “campur tangan”.
Sisi terdalam yang menjadi dasar dari semua kegiatan ekonomi manusia di bumi ini, pada hakikatnya adalah ketaatan kita kepada Allah. Taat dalam arti yang luas yakni mematuhi Allah di mana pun dan kapan pun.
Islam dengan syariatnya, hendak mengajarkan pada umat manusia bahwa secanggih apa pun sistem ekonomi, jika di dalamnya tidak ada unsur ketaatan dan kemaslahatan, pasti akan kehilangan barakah. Dan, itu artinya ada potensi hancur atau bangkrut. Dalam sebuah kisah yang singkat, Allah membuat perumpamaan kepada manusia tentang arti penting kemaslahatan bisnis bagi orang yang membutuhkan; yakni pada surah al-Qalam ayat 17 hingga ayat 33:
Itulah, kisah singkat yang mengandung hikmah sangat dalam untuk kita renungkan. Betapa, Allah sangat dekat dengan kehidupan kita, dalam bisnis dan perdagangan, dalam pertanian dan profesi yang kita jalani, Allah mengawasi dan Dia Maha Melihat.
Kepongahan diri pada akhirnya akan berbalas petaka yang datang bagai petir di siang bolong. Membelalakkan. Jadi, dengan berasas pada kemaslahatan dan ketaatan saja, sebuah bisnis dan pekerjaan akan mendatangkan keberkahan, meskipun di dalamnya terdapat kelemahan teori dan modal.
Namun, prinsip ini tidak berarti bahwa dengan ketaatan saja seseorang bisa menjadi kaya. Sebab, kaya itu bagaimana pun erat hubungannya dengan kerja dan bisnis. Tanpa kerja, meskipun dengan ketaatan yang penuh, seseorang mungkin akan mendapat keberkahan, tapi kecil kemungkinannya untuk mendapat jatah kaya. Hanya dengan kerja keras dan kerja cerdas, bisnis yang dibangun dengan ketaatan, yang dapat dipastikan akan berjaya dan membawa keberkahan. Jadi slogannya adalah kerja keras, kerja cerdas, taat dan maslahat.