Sebuah teori temuan Prof. Yohanes Surya Ph.D., meyakini bahwa dalam kondisi kritis, semesta akan bekerja bersama-sama menghasilkan suatu perubahan yang tak terduga. (71) Ini senada dengan ungkapan Paulo Coelho, “When a person really desires something, all the universe conspires to help that person to realize his dream, (ketika seseorang memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu, seluruh alam akan bekerja sama untuk membantu mewujudkan mimpinya).”
Menurut Yohanes Surya, kejadian luar biasa sering kali muncul saat seseorang berada dalam kondisi kritis. Seperti, orang dapat melompati pagar setinggi badannya saat menghindari kejaran banteng atau binatang galak lain. Padahal, dalam kondisi normal, orang tersebut tidak dapat melompati benda bahkan yang hanya setinggi ½ meter. Kondisi kritis karena dikejar binatang galak, telah membuat seseorang bisa lari atau melompat dengan ketinggian di luar kemampuan biasa. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa kondisi kritis membuat seseorang berhasil melakukan hal yang luar biasa.
Poin penting dari teori ini adalah adanya keterkaitan mu‘jizat Maryam a.s., dengan kondisi kritis (critical phenomena) yang diangkat Yohanes Surya. Mu‘jizat Maryam a.s., tentang rezeki – tanpa mengatakan bahwa ini diperoleh akibat adanya dukungan semesta, melainkan langsung dari Allah – dapat dianalisis dengan teori Yohanes Surya ini. Terutama, perihal kondisi kritisnya. Artinya, dalam mu’jizat dan karamah kondisi kritis yang dijalankan secara tulus mampu mengetuk dukungan Allah. (82).
Jika diamati lebih lanjut, rezeki min ḥaitsu lā yaḥtasib (93) yang diterima Maryam a.s., yakni makanan dari langit, terjadi akibat adanya kondisi kritis (critical phenomena). Keberadaan Maryam a.s., yang hidup menyepi di dalam mihrab dan lepas dari hiruk-piruk kehidupan sosial adalah kondisi kritis (critical phenomena). Kesendiriannya itu, membuat Maryam a.s., menjadi apatis terhadap bantuan manusia. Begitu pula sebaliknya, masyarakatnya juga enggan memberi bantuan karena merasa asing terhadap dirinya.
Jika dikaji secara bahasa, kita akan mendapati teori yang mendukung tentang terjadinya kondisi kritis pada Maryam dalam ayat berikut ini:
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا.
“Setiap Zakariyyā masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 37).
Ketika kata dakhala (masuk) bertransitif dengan bantuan huruf isti‘lā, maka hal itu menggambarkan tinggi, terhormat dan mulianya sebuah tempat. Sehingga orang yang masuk ke dalam tempat tersebut (mihrab), dituntut memiliki ketahanan dan kesabaran ekstra terhadap bahaya dan beban. Sebagaimana Imām ath-Thabarī sendiri mengartikan makna mihrab secara bahasa, sebagai tempat termulia dalam suatu majelis. (104).
Tidak hanya itu, huruf ‘alā pada ayat di atas, juga mengindikasikan beratnya Zakariyyā. Beliau adalah orang yang sudah tua ketika itu, sehingga pekerjaan naik turun ke mihrab untuk mengantarkan makanan adalah sesuatu yang memberatkan fisiknya. Mihrab selalu berada di tempat yang tinggi sehingga dalam surah Shād ayat 21 secara eksplisit dijelaskan bahwa di antara cara menuju mihrab Nabi Dāūd adalah dengan memanjat atau menaiki undakan.
Belum lagi, secara ekonomi, Nabi Zakariyyā a.s., bukanlah nabi yang kaya-raya seperti halnya Sulaimān a.s., atau Yūsuf a.s. Beliau adalah tukang kayu, sebagaimana dikatakan Rasūlullāh s.a.w. dalam sabdanya: “Zakariyyā adalah seorang tukang kayu”. (115) Ini artinya, dari segi kemampuan, Zakariyyā tidak memiliki makanan melimpah untuk disuguhkan pada Maryam.
Semua ini, menjelaskan bahwa dalam mihrabnya yang tinggi itu, Maryam beribadah total, sangat terpencil dan mendapatkan makanan seadanya dari Zakariyyā yang sudah tua dan hanya seorang tukang kayu. Inilah, kondisi kritis yang kemudian mengetuk pintu langit hingga Allah s.w.t., dengan kuasa-Nya mengirimkan makanan bagi Maryam.
Maryam a.s., dalam kondisi itu, hanya yakin dan percaya penuh terhadap pertolongan Allah, Dzāt Yang Maha Pemelihara. Keyakinannya tak bercampur dengan ragu sedikit pun. Iman yang sempurna. Ditambah lagi dengan semangat ibadahnya yang tinggi berupa shalat ataupun puasa, bahkan dalam kitab al-Jāmi‘u li Aḥkām-il-Qur’ān, karya al-Qurthubī, disebutkan bahwa Maryam a.s., adalah perempuan yang tidak pernah mengalami haidh. Ini, memperkuat bukti bahwa Maryam a.s., tak pernah putus beribadah akibat haidh.
Saat Maryam a.s., tak mau bergaul dengan orang lain dan bertekad untuk menjalani ibadah dengan ketekunan di atas rata-rata, maka ia dalam kondisi berkonsentrasi penuh. Perjuangan ini akhirnya menghasilkan karamah, yakni diturunkannya secara langsung nampan-nampan buah dan makanan dari langit oleh Allah s.w.t. Sehingga, critical phenomena rezeki min ḥaitsu lā yaḥtasib yang masyhur di setiap generasi muslim selama berabad-abad. Hanya saja, critical phenomena yang dialami Maryam a.s., ini memiliki unsur transendental, baik dari segi pendekatannya yakni berupa ibadah maupun dari sisi targetnya yakni untuk “mendekati” Allah s.w.t., sehingga Dzāt yang memiliki segalanya. Tidak hanya itu, critical phenomena pun pada akhirnya bermakna bahwa yang memberi dukungan bukanlah semesta melainkan Allah ta‘ālā.
Dari kelompok orang-orang shalih, sebenarnya tidak hanya Maryam a.s., saja yang mengalami peristiwa adikuasa dalam kondisi kritis, khususnya dalam mendapatkan rezeki. Rasūlullāh s.a.w. sendiri sering mengalami hal semacam itu. Bahkan, sesuai riwayat yang shahih, dalam kondisi kritis Rasūlullāh s.a.w., mampu memperbanyak makanan atau taktsīr-uth-tha‘ām.
Nabi-nabi lain juga banyak yang mengalami hal luar biasa (mu‘jizat) dalam kondisi kritis mereka. Nabi Mūsā a.s., mampu membelah lautan, juga karena dalam kondisi kristis. Ia menemui jalan buntu, tertutup samudra ketika dikejar-kejar Fir‘aun dan bala tentaranya. Saat itulah mu‘jizat turun dari Allah berupa kekuatan membelah lautan melalui tongkatnya.
Nabi ‘Īsā a.s. mendapatkan manna dan as-salwā (makanan dari langit), juga saat da‘wahnya dalam kondisi kritis karena umatnya menjadikan wujud kedua makanan itu sebagai jaminan bagi iman mereka. Artinya, mereka tidak mau beriman pada ‘Īsā a.s. jika ia tidak bisa mendatangkan makanan dari langit seperti ibunya (Maryam a.s.). Kondisi ini, bagi seorang nabi termasuk kondisi kritis, mengingat tugas nabi adalah berda‘wah dan mengajak kaum untuk beriman. Jika kaumnya meminta sesuatu sebagai jaminan keimanan atas da‘wahnya, berarti itulah jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Ketika seseorang tidak menemukan jalan atau cara kecuali satu, maka ia berada dalam kondisi yang sangat kritis. Apalagi, mengenai manna dan as-salwā itu, ‘Īsā a.s. harus “berhadapan” dengan Allah secara langsung. Maksudnya, ada rasa sungkan saat ia memohon mu‘jizat untuk ditunjukkan pada kaum yang pragmatismenya tinggi. Sedangkan, Allah Maha Tahu atas kondisi dan sifat kaumnya. Secara psikologis, ‘Īsā a.s., pada saat itu, dalam kondisi tertekan. Inilah critical phenomena-nya.
Masih banyak kisah-kisah adikuasa dari para nabi atau orang-orang shalih yang muncul pada kondisi yang kritis. Banyak pula orang sukses yang meyakini bahwa terkabulnya doa mereka adalah berkat upaya-upaya intensif dalam ibadah untuk merasakan “dekat” dengan Allah. Hal itu, mereka lakukan agar permohonannya didengar dan dikabulkan oleh Allah. Baik itu dengan puasa, shalat malam, dzikir ribuan kali, atau ibadah yang lain. Intinya, ibadah-ibadah itu adalah citra dari kondisi kritis yang tanpa sadar telah mereka ciptakan.
Secara prinsip, Islam sebenarnya telah mengenalkan critical phenomena pada umatnya, dan salah satunya adalah critical phenomena dengan cara mengoptimalkan unsur transendental. Yakni menciptakan kondisi kritis untuk memicu kejadian adikuasa, dengan cara gigih menjalankan ibadah seperti puasa, shalat, dzikir maupun doa-doa.