2-1 Allah Pemelihara Alam Raya – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Allah Pemelihara Alam Raya

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوْلٍ حَسَنٍ وَ أَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَ كَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ إنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakariyyā. Setiap kali Zakariyyā masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapat makanan di sisinya. Dia berkata: “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab: “Itu dari Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa diduga-duga”.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 37).

Ada secarik kisah legendaris dari tanah ‘Arab dan telah menyebar ke penjuru bangsa tentang seseorang yang bernama Maryam. Wanita salehah yang sengaja hidup menyendiri untuk menggapai ibadah sempurna. Ia mengurung diri dalam mihrab (51) kecil di lingkungan masjid. Tertutup rapat dan tak seorang pun berani masuk selain seorang “pemelihara” yakni Nabi Zakariyyā a.s.. Itu pun tidak sering, hanya sesekali saja pada saat jam makan tiba. Namun, Nabi Zakariyyā a.s., selalu saja dikejutkan oleh nampan lain yang sudah tersedia sebelum dia datang. Nampan-nampan itu berisi makanan lezat, bahkan di antaranya adalah buah yang belum musimnya di tanah ‘Arab. Atau dalam redaksi ath-Thabarī: “Buah musim kemarau ada di nampan Maryam di saat musimnya hujan, buah musim hujan ada di nampan Maryam di saat musim kemarau.” (62).

Nabi Zakariyyā a.s. pun bertanya takjub pada Maryam: “Dari mana makanan itu berasal?” “Makanan ini dari Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa terduga,” jawab Maryam. Walaupun seorang nabi, bagi Zakariyyā a.s., fenomena yang dialami Maryam merupakan hal menakjubkan, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya.

Keajaiban yang diterima Maryam bukan tanpa sebab. Umat pada saat itu sulit untuk percaya bahwa harta adalah pemberian sang Maha Kuasa. Umat tidak yakin, harta yang konkret bisa dianugerahkan oleh Dzāt yang abstak. Tapi, Maryam mengenalkan istilah yang mengguncang, “makanan dari Allah” dan “rezeki yang datang tanpa diduga”. Kabar menyebar dan manusia dibelalakkan untuk melihat mu‘jizat yang memaksa akal mereka berpikir ulang tentang hakikat harta yang sebenarnya. Jawaban Maryam atas pertanyaan Zakariyyā a.s., itu, telah menyingkap fakta bahwa pada masa itu manusia memahami bahwa harta hanyalah harta, yang cukup dapat diraih dengan perniagaan atau bekerja sehingga sama sekali tak ada hubungannya dengan Tuhan.

Dalam kondisi itu, Maryam telah menyebarkan keyakinan baru pada umatnya bahwa ada korelasi yang kuat antara harta dan kehendak yang Maha Kuasa. Bahkan, di antara sebagian harta yang manusia terima, menurut Maryam ada yang datangnya tidak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Ia datang di luar perhitungan atau tak terduga. Biasanya, rezeki semacam itu datang secara mengejutkan dan orang merasa bahwa rezeki itu datang bukan dari jerih-payah yang diusahakan. Rezeki semacam itu datang secara khusus atas idzin Dzāt yang Maha Kuasa, sebagaimana yang dialami Maryam sendiri. Kita, saat ini, secara latah sering menyebutnya dengan rezeki min ḥaitsu lā yaḥtasib.

Dialog antara Maryam a.s. dan Zakariyyā a.s., pada ayat di atas adalah dialog yang luar biasa. Dialog yang mampu mengungkap kondisi spiritual kaum Nabi Zakariyyā a.s., saat itu yang perspektif keberagamaannya belum utuh. Agama, mereka perluka hanya pada saat melakukan ritual suci saja. Setelah itu, hanya ada dunia dan manusia dengan segala kehendaknya. Semua yang berkaitan dengan materi adalah dari mereka, karena mereka dan untuk mereka. Tuhan bagi mereka hanya ada di tempat suci. Abū Bakar al-Jazā’irī dalam kitabnya, Aisar-ut-Tafāsir mengistilahkan kondisi semacam itu dengan jahl billāh (mengenai Allah mereka bodoh).

Dalam kondisi masyarakat yang seperti itu, Maryam a.s., muncul untuk menyebarkan da‘wah dan pencerahan. Awalnya, umat menganggap bahwa apa yang disampaikan Maryam a.s., adalah aneh dan mustahil. Tapi, akhirnya Maryam a.s., justru menjadi sosok iconic yang menginspirasi umat-umat berikutnya untuk melihat rezeki dari sudut pandang teologis. Materi dan kekayaan yang melalaikan manusia – dari kematian juga dari Tuhan – diusung Maryam a.s., menjadi pijakan untuk menemukan hakikat kuasa Allah.

Maryam a.s. dalam dialog singkatnya itu mengingatkan kaumnya, juga mengingatkan umat yang lain bahwa Allah s.w.t., sangat dekat dengan hamba-Nya. Dia adalah Dzāt yang berempati dan memiliki kedekatan “personal” dengan setiap hamba-Nya. Dia tidak akan pernah menelantarkan hamba-Nya dan akan selalu memelihara semua makhluk-Nya hingga binatang melata sekalipun. Dialah Pemelihara sejati.

Pada saat itu, Maryam a.s., telah menda‘wahkan pada manusia tentang satu konsep ketuhanan yang kini kita kenal dengan tauhid rubūbiyyah. Sebuah pemahaman yang mengajarkan bahwa semua manusia pada hakikatnya hidup di bawah pemeliharaan Dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah s.w.t.

Da‘wah tauhid Maryam a.s., sedikit mencapai kesuksesan. Bertahun-tahun bahkan berabad-abad, konsep rezeki “tak terduga” yang diusung Maryam a.s., – anaknya – tumbuh besar dan menjadi nabi, hal itu masih diungkit-ungkit oleh kaum yang bernama Ḥawāriyyūn. Mereka meminta ‘Isa a.s., untuk membuktikan rezeki “tak terduga” dari langit sebagaimana yang dialami Maryam a.s. Permintaan itu, sekaligus sebagai bargaining atas da‘wah kenabian ‘Īsā a.s., terhadap mereka. Karena, hanya dengan cara pembuktian rezeki dari langit, kaum Ḥawāriyyūn akan mengakui ‘Īsā a.s. sebagai nabi yang diutus oleh Allah s.w.t.

Fakta tersebut juga mengungkap bahwa ketika Maryam a.s., menyampaikan konsep tentang “rezeki tak terduga”, kebanyakan umat pada masa itu tidak lantas sadar serta paham akan makna intensitas Allah dalam memelihara makhluk-Nya. Justru mereka menyikapi hal itu dengan canda dan bermain-main. Mereka tidak mau percaya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Maka, ketika ‘Īsā a.s., diangkat menjadi nabi, mereka gunakan kesempatan itu untuk membuktikan pernyataan ibunya tentang rezeki yang turun dari langit.

Inilah, bukti nyata bahwa kaum Ḥawāriyyūn tidak menangkap pesan di balik mu‘jizat rezeki dari langit. Bagi mereka, mu‘jizat yang diberikan Allah s.w.t., adalah magic show, layaknya tontonan sulap yang cukup untuk dijadikan hiburan. Jābir Abū Bakar al-Jazā’irī, dalam tafsirnya menganggap mereka sebagai kaum yang tidak mengerti adab terhadap nabinya.

Dalam al-Qur’ān (QS. al-Mā’idah [5]: 112-115) kisah itu dijelaskan bahwa orang Ḥawāriyyūn bertanya kepada ‘Īsā a.s.:

Hai ‘Īsā putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?

Bertaqwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.” Jawab Nabi ‘Īsā a.s.

Tetapi mereka masih ngotot: “Kami ingin memakan hidangan itu, supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.

Akhirnya Nabi ‘Īsā a.s., menuruti permohonan mereka dan berdoa pada Allah s.w.t.: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu; berilah kami rezeki, dan Engkaulah Pemberi rezeki yang Paling Utama.”

Allah mendengar doa Nabi ‘Īsā a.s., dan Dia menjawab: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, tapi barang siapa kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia”.

Na‘ūdzu billāh. Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang permohonannya dipenuhi Allah s.w.t., namun disertai syarat dan ancaman siksa.

Catatan:

  1. 5). Abū Ja‘far dalam kitab Jāmi‘-ul-Bayāni fī Ta’wīl-il-Qur’ān mengatakan bahwa mihrab adalah tempat paling mulia yang masih termasuk bagian dari masjid. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Adhwā’-ul-Bayāni fī Idhāh-il-Qur’āni bil-Qur’ān karya al-Janki asy-Syanqīthī, mihrab dalam konteks ini adalah ruangan semacam kamar kecil (ghurfat-ul-‘ibādah) yang berada di sering kali letaknya di dataran tinggi semacam bukit. Ini, adalah mihrab di zaman Bani Isrā’īl. Adapun mihrab yang biasa kita kenal sebagai ruang cekung berbentuk setengah kubah yang khusus bagi tempat imam untuk mengimani shalat adalah mihrab di masa Islam. Mihrab semacam itu, menurut Ibnu ‘Asyūr dalam kitab at-Taḥrīru wat-Tanwīr, pertama kali dibuat di masjid Nabawi pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz. Masih menurut beliau, mihrab diambil dari kata al-ḥarb atau perang yang artinya tempat untuk memerangi nafsu syaithāniyyah.
  2. 6). Ath-Thabarī, Jāmi‘-ul-Bayāni fī Ta’wīl-il-Qur’ān, (Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000) Jil. VI. Hal. 358.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *