19 Kaya Bukan Pertanda Allah Cinta – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Kaya Bukan Pertanda Allah Cinta.

إِنَّ اللهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلَاقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ وَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَ مَنْ لَا يُحِبُّ وَ لَا يُعْطِي الدِّيْنَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ فَمَنْ أَعْطَاهُ اللهُ الدِّيْنَ فَقَدْ أَحَبَّهُ.

Sesungguhnya Allah membagi akhlak pada kalian sebagaimana Dia membagi rezeki. Allah memberikan kekayaan dunia kepada orang yang Dia cintai juga kepada orang yang tidak Dia cintai. Tapi, Dia tidak memberikan agama kecuali kepada orang Dia cintai. Maka, siapa yang dianugerahi pengetahuan agama dia pasti karena Allah mencintainya.” (HR. Aḥmad).

Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa secara eksplisit, kaya dan kekayaan itu bukan pertanda cinta Allah pada hamba-Nya. Itu, bukan ukuran untuk menilai kasih-sayang Allah karena Ia menunjukkan cinta dengan menganugerahkan ilmu agama. Jadi, tidak ada anggapan bahwa Tuhan berpihak pada orang kaya.

Dalam satu riwayat shaḥīḥ dikisahkan bahwa suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththāb bertandang ke rumah Nabi s.a.w., lantas dia masuk ke dalam kamar beliau. ‘Umar menemukan Nabi s.a.w. sedang berbaring di atas tikar berbantal kulit berisi sabut, kedua kaki beliau disangga tumpukan kulit yang dilipat, tepat di atas kepala beliau banyak digantung kulit-kulit yang sudah disamak. Ketika Nabi s.a.w., bangun, ‘Umar melihat bekas-bekas tikar di punggung beliau. Melihat itu, ‘Umar menangis dan Nabi s.a.w. pun bertanya:

Kenapa engkau menangis?

“Wahai Rasūlullāh! Kisra dan Kaisar memiliki segalanya, tapi engkau tidak. Padahal, engkau adalah utusan Allah.” Jawab ‘Umar sambil terisak.

Tapi bukankah kamu ridha jika mereka mendapat bagian dunia dan kita mendapat bagian di akhirat?” jawab Nabi s.a.w. (381)

Allah juga berfirman dalam surah az-Zukhruf ayat 32 sampai ayat 35:

  1. Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
  2. Dan sekirannya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki.
  3. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar.
  4. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Tuhanmu disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.

Banyak orang yang tidak beriman meyakini bahwa mereka kaya karena Tuhan memiliki kehendak baik atas kehidupan mereka. Padahal Allah, dengan kekayaan dunia yang Dia anugerahkan, hendak menyegerakan nikmat pada mereka yang mana kelak di akhirat, mereka tidak mendapat kenikmatan melainkan siksa, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi hamba-Nya yang beriman. Satu kebaikan yang dilakukan orang beriman akan dibalas dengan rezeki di dunia dan pahala kebaikan di akhirat. Sedangkan orang kafir, dia akan diberi banyak nikmat di dunia, tapi sesampainya di akhirat dia tidak memiliki satu pun pahala kebaikan.” (HR. Ibnu Ḥibbān).

Sekiranya kita memahami tujuan ini, maka melihat orang kaya yang tidak beriman, tidak akan menimbulkan prasangka buruk kepada Allah tentang kasih-sayangNya. Yang ada, justru rasa syukur karena nikmat yang kelak kita petik di akhirat tidak disegerakan sebagai cobaan dari Allah di kehidupan dunia. Apalagi, nikmat dunia jauh berbanding dengan nikmat di akhirat, yang sehari saja sama dengan hitungan sepuluh abad di dunia. Allah berfirman:

Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 55-56).

Jadi, melihat realitas hidup ini, di mana persaingaan untuk meraih kesejahteraan dunia semakin tajam dan bahkan “vulgar”, kita harus tetap teguh berpegang pada anjuran syariat yang berlaku. Kita harus fokus dengan kemampuan kita dalam mengais rezeki, dipadu dengan kehati-hatian kita untuk terus meniti kekayaan yang halal. Sikap semacam ini tidak semudah yang dibayangkan. Butuh komitmen dan iman yang kuat. Apalagi, melihat perkembangan saat ini, di mana bisnis haram yang mudah dan nilai keuntungan tinggi ditawarkan tanpa malu-malu. Godaan-godaan itulah yang sering kali membuat orang yang berpikir pendek dan tak kuat iman, tergoda hingga akhirnya terjerumus.

Rasūlullāh s.a.w., pernah memprediksi dalam haditsnya:

Sungguh akan datang suatu masa, saat manusia sudah tidak lagi peduli dari mana harta yang ia dapatkan, apakah halal ataukah haram?” (HR. al-Bukhārī).

Bisa jadi, masa yang dimaksud Rasūlullāh itu adalah saat ini. Meskipun pada teks hadits tersebut tidak terdapat perintah ataupun larangan yang tegas, tapi kontennya menganjurkan kita untuk waspada. Jadi, kita harus keluar dari kategori orang-orang yang abai pada halal-haramnya harta. Dengan semakin jeli dan teliti menurut asal-usul atau riwayat rezeki yang akan kita jemput. Kita harus bisa, secara sadar mengeliminasi diri dari hiruk-piruk duniawi yang membabi buta. Baik itu dalam gaya hidup maupun pola pikir-pikir memaknai harta kekayaan.

Di dunia ini, menurut Rasūlullāh dalam hadits yang diriwayatkan Imām Aḥmad, ada empat macam orang yakni; Pertama, orang yang dianugerahi harta dan ilmu oleh Allah, yang dengan anugerah itu seseorang justru bertambah taqwa dan gemar menjalin silaturahmi. Ia juga menunaikan hak yang harus ia sisihkan dari hartanya. Inilah, derajat orang yang paling mulia. Kedua, orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah tapi tidak dianugerahi harta. Meskipun begitu, ia memiliki i‘tiqad, jika diberi kekayaan akan berinfak sebanyak atau bahkan mengalahkan dermawan yang di kagumi. Orang ini, derajatnya sama dengan orang yang pertama. Ketiga, orang yang dianugerahi harta oleh Allah, namun tidak dianugerahi ilmu. Dia menghabiskan kekayaannya tanpa pertimbangan ilmu dan iman, ketaqwaannya merosot dan menjadi sombong terhadap sanak saudaranya. Bahkan, ia tidak peduli bahwa pada hartanya ada hak yang harus ia tunaikan. Inilah, orang yang paling rendah derajatnya. Keempat, orang yang tidak diberi ilmu, juga tidak diberi harta oleh Allah. Tapi, dalam hati ia bertekad akan memanfaatkan harta dan ilmunya semaksimal mungkin untuk kebaikan, jika Allah memberinya. Orang ini, sama dengan derajat orang pertama dan kedua.

Pernyataan hadits tersebut mencerminkan bahwa Islam tak pernah membedakan antara orang satu dan yang lain karena harta dan tingkat pendidikan, tapi dari ketulusan hati. Bahkan, hanya dengan berkhayal menjadi orang pintar yang baik atau orang kaya yang dermawan saja, Allah sudah memberikan apresiasi pahala kepada kita. Apalagi, jika mimpi menjadi kenyataan dan niat baik konsisten dijalankan, maka kita akan menjadi orang paling mulia di sisi Allah, di dunia maupun di akhirat. Semoga, dari keempat macam orang tersebut, kita menempati golongan yang pertama. Amin.

Catatan:

  1. 38). HR. al-Bukhārī dan Muslim.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *